Pemerintah dan dunia usaha perkayuan harus bersinergi untuk memecahkan persoalan rendahnya penyerapan industri kayu primer, terutama industri panel kayu (plywood) dan kayu olahan (woodworking). Salah satu persoalan mendesak adalah peremajaan mesin industri yang sudah berumur puluhan tahun guna meningkatkan efisiensi. Kementerian Perindustrian memang punya program restrukturisasi mesin dan peralatan industri pengolahan kayu, namun pengusaha harus berinvestasi lebih dulu sebelum dapat penggantian maksimal 30%. Dukungan dari perbankan juga tidak mudah untuk permodalan, karena industri kayu dianggap sunset industry. Benarkah?
“Mau dibawa kemana industri perkayuan nasional ini?” Pertanyaan itu dilontarkan Ketua Umum Yayasan Sarana Wana Jaya, Dr. Ir. Iman Santoso, MSc saat membuka webinar Pusat Kajian Strategis Kehutanan (Puskashut) bertajuk “Revitalisasi dan Hilirisasi Industri Kehutanan Guna Meningkatkan Daya Saing, Kesempatan Kerja dan Nilai Tambah Yang Tinggi” di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Webinar yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut) kali ini menghadirkan Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ir. Putu Juli Ardika, MA, yang diwakili oleh Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Kemenperin Dr. Setia Diarta, MT, Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Dr. Ir. Bambang Soepijanto, MM serta Ketua Umum Indonesian Sawmill and Woodworking Association (ISWA), Ir. Wiradadi Soeprayogo, yang tak bisa hadir dan diwakili Edi Setiarahman S.Hut, staf ISWA.
Dalam pengantarnya, Iman Santoso menyampaikan keprihatinan setelah melihat data terkait serapan industri kayu berkapasitas di atas 6.000 m3/tahun yang masih sangat rendah. Hal itu memang terlihat dari Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk industri plywood dan LVL, venir, dan kayu gergajian. Tahun 2023, misalnya. Dari rencana serapan 94,9 juta m3, yang terealisasi hanya 62,8 juta m3. Serapan tiga industri pengolahan kayu itu secara total hanya sekitar 6 juta m3. Sisanya? Mayoritas ditelan industri pulp sebanyak 42,2 juta m3.
Lemahnya serapan itu mengemuka dalam diskusi yang dipandu oleh Ketua Puskashut, Dr. Ir. Harry Santoso, IPU. Dalam kesimpulannya, Harry menyebutkan sejumlah masalah umum yang dihadapi industri kayu lapis dan kayu olahan, mulai dari biaya produksi tinggi, aturan yang tak berpihak ke pengusaha sampai masalah paling penting yang belum terpecahkan: usangnya permesinan. Padahal, kata Harry, industri kayu masih prospektif karena bahan bakunya melimpah dan renewable serta peluang pasar ekspor yang masih terbuka lebar.
Data Kemenperin juga menunjukkan bahwa dari tujuh industri yang ada dalam nomenklatur industri agro (industri makanan; minuman; pengolahan tembakau; kayu, barang dari kayu dan gabus; kertas dan barang dari kertas; percetakan dan reproduksi media rekaman; dan furnitur), khususnya utilitas industri kayu, barang dari kayu dan gabus sampai Juli 2024 masih di kisaran 51,38% — jauh di bawah era pra COVID-19 yang mencapai 73,3%.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua Umum Apkindo, Bambang Soepijanto. Realisasi produksi kayu lapis dalam 10 tahun terakhir diakui cenderung menurun. Produksi sampai dengan Juli 2024 tercatat 1,8 juta m3, dan diperkirakan sampai akhir tahun hanya akan mencapai 3,1 juta m3. “Bahkan utilitas kapasitas pabrik turun menjadi 17%, di mana untuk Pulau Jawa 25% sampai Juli 2024,” ujar Bambang Soepijanto.
Dijelaskan Bambang, kondisi industri kayu lapis sekarang ini memang sudah jauh di bawah kinerja industri plywood era Orde Baru. “Pencapaian produksi dan ekspor kayu lapis terbaik terjadi era Orde Baru, yakni tahun 1993. Ekspor saat itu mencapai 9,7 juta m3 dengan raihan devisa 4,5 miliar dolar AS,” ujar Bambang.
Sekarang, kondisinya sudah berbeda. Hal itu terjadi karena harga bahan baku log dari hutan alam makin sulit dan harga pun tinggi. Dulu, katanya, konsep pembangunan industri kayu lapis adalah mendekati bahan baku. “Namun, sekarang konsep tersebut berubah menjadi lebih mendekati fasilitas infrastuktur yang tersedia, sehingga memudahkan untuk mendapatkan energi, pengapalan dan sebagainya,” paparnya.
Kayu dari hutan alam pun semakin mahal dan sensitif terhadap isu lingkungan, sehingga penggunaan kayu tanaman lebih diminati. “Meski secara kualitas lebih rendah, tapi harganya lebih murah.”
Yang menarik, anggota Apkindo yang selama ini lebih banyak mengekspor produk panel kayu mereka karena harga yang lebih mahal, kini juga mulai melirik pasar domestik. Apalagi, pasar dalam negeri juga tidak terlalu ketat mempertimbangkan persyaratan kualitas seperti pasar ekspor. “Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga salah satu peluang,” kata Bambang.
Mesin Faktor Paling Parah
Namun, dari semua faktor yang membuat industri kayu jalan di tempat, bahkan terus menurun, tak lain soal kondisi permesinan yang sudah uzur. Baik, anggota Apkindo maupun ISWA, semuanya mengalami kendala permesinan yang sudah ketinggalan zaman sehingga mempengaruhi tingkat efisiensi.
Persoalan mesin ini menjadi vital ketika bicara revitalisasi dan hilirisasi industri kayu, mengingat saingan Indonesia makin banyak dan kuat, terutama dari Vietnam. Bahkan, jika dibandingkan dengan Vietnam, industri kayu nasional kalah jauh dan itu sebabnya untuk industri panel kayu sangat mendesak untuk dibenahi.
Hal itu dikemukakan David, anggota Apkindo yang juga pengurus Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) saat sesi tanya-jawab. Menurut David, model bisnis industri panel kayu sudah berbeda dengan dulu. “Sudah berubah,” tegasnya. Bahkan, jika bicara tools of management (5 M), mesin adalaf faktor paling parah saat ini.
Dulu, katanya, industri kayu didukung oleh upah tenaga kerja yang “murah”. “Kita masuk pada labour intensive (padat karya). Tapi zaman sudah berubah, sehingga industri kayu ini tidak bisa lagi padat karya tapi berubah menjadi padat modal (capital intensive),” ujarnya.
Dia juga menyoroti industri kayu tersier, yang sangat dekat dengan end user (konsumen), yakni furnitur. Dia menilai sangat ironis Indonesia bisa kalah dari Vietnam, yang ekspornya sudah mencapai 10 miliar dolar AS lebih berkat desain. Padahal, bahan baku Vietnam lebih banyak impor, sementara Indonesia malah melimpah.
Itu sebabnya, David mengingatkan agar pemerintah dan dunia usaha bergerak cepat jika ingin merevitalisasi industri kayu agar tidak kehilangan momentum. Pasalnya, kini sudah ada barang subtitusi untuk kayu, yakni stone plastic composite (SPC), yang mirip dengan wood plastic composite (WPC).
Bukan Sunset Industry
Meski dengan tantangan yang berat, Apkindo sendiri menegaskan industri kayu lapis bukanlah sunset industry. Justru industri ini masih sangat menjanjikan, meski ada produk substitusi sekalipun, kayu tetap dibutuhkan. “Industri kayu lapis bukan merupakan sunset industry,” tegas Bambang Soepijanto.
Banyak alasan memang yang bisa menepis klaim dan stigma bahwa industri kayu adalah sunset industry, industri sudah di usia senja. Setidaknya, untuk panel kayu, Apkindo menilai kayu lapis banyak digunakan sebagai bahan bangunan, sehingga akan terus dibutuhkan sepanjang manusia masih ada.
Bertambahnya jumlah penduduk dunia, juga meningkatkan kebutuhan kayu lapis. Data ITTO (International Tropical Timber Organization) mencatat, produksi kayu lapis di dunia meningkat dari 57 juta m3 di tahun 2001 menjadi 114 juta m3 di tahun 2021, seiring dengan meningkat jumlah penduduk dunia dari 6,19 miliar menjadi 7,80 miliar pada periode yang sama. Pada tahun 2050, jumah penduduk dunia diperkirakan mencapai 9,7 miliar dan kebutuhan kayu lapis diperkirakan juga akan meningkat lebih dari 2 kali dari sekarang.
Impor kayu lapis tropis juga meningkat 46,8% dari 8,25 juta m3 di tahun 2001 menjadi 12,11 juta m3 di tahun 2021, dan Indonesia bermain di segmen kayu lapis tropis.
Selain itu, produk plywood dari hutan alam masih tetap diminati karena kualitasnya yang lebih baik khususnya untuk plywood tipis (2,4 atau usumono untuk pasar Jepang dan 2,7 untuk pasar Amerika) dan plywood untuk penggunaan khusus seperti floorbase untuk pasar Jepang dan Korea. Indonesia masih menjadi pemasok utama untuk jenis plywood tersebut di atas.
Yang menarik, produk plywood dari hutan tanaman, terutama kayu sengon, juga sudah bisa diterima pasar ekspor, termasuk pasar Jepang dan Amerika. Kayu sengon biasanya dibuat menjadi plywood penggunaan umum (general plywood) dan blockboard. Plywood kayu sengon banyak diekspor ke pasar ASEAN dan memiliki daya saing tinggi dan mampu bersaing dengan plywood dari China. Bahkan, saat ini sudah ada produk floorbase yang dibuat dari kayu sengon.
Namun, untuk mencapai semua itu, Apkindo membenarkan pendapat yang disampaikan David, karena untuk bersaing di tingkat global agak sulit jika industri tidak direvitalisasi. Bambang Soepijanto mengaku bahwa Apkindo sebetulnya sudah berhasil merekonstruksi dua kebijakan pemerintah.
“Pertama, menurunkan bea keluar untuk venir dari 15% menjadi 5%. Kedua, tentang impor mesin bekas. Tapi persoalannya, meski sudah dibolehkan impor mesin bekas, ternyata harganya tidak murah juga. Namanya saja bekas, tapi belinya mahal juga,” kata Bambang.
Program Restrukturisasi
Sementara itu, menanggapi persoalan teknologi dan revitalisasi permesinan di industri kayu, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Kemenperin Dr. Setia Diarta, MT menegaskan bahwa pihak Kementerian Perindustrian sudah tiga tahun terakhir ini menjalankan program restrukturisasi permesinan.
“Kami menawarkan ke pengusaha adanya program restrukturisasi dan ini sudah berjalan tiga tahun. Alhamdulillah nilai investasi yang kami tawarkan juga meningkat,” ujar Diarta. Program restrukturisasi ini bertujuan meningkatkan daya saing industri pengolahan kayu berupa pemberian potongan harga melalui penggantian sebagian dari harga pembelian mesin dan atau peralatan.
Potongan harga maksimal 30% dari harga pembelian mesin/alat jika produk dalam negeri dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 25%. Jika tidak ada sertifikat TKDN, maka potongan maksimal 15%. Untuk mesin atau alat impor, potongan hrga diberikan dengan menggunakan kurs pajak yang berlaku saat tanggal pembelian barang sesuai dengan invoice/faktur.
Berdasarkan Permenperin No. 31 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Permenperin Nomor 42 Tahun 2022 tentang Program Restrukturisasi Mesin dan/atau Peralatan Industri Pengolahah Kayu pasal 6 ayat (2), nilai penggantian sebagian dari harga pembelian mesin/peralatan diberikan maksimal Rp.1 miliar untuk masing-masing perusahaan setiap periode tahun anggaran.
Menurut Diarta, industri pengolahan kayu yang dapat mengikuti program restrukturisasi ini juga makin diperluas. Jika semula Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang diberikan hanya tiga, kini ditambah menjadi tujuh KBLI. Awalnya hanya industri kayu lapis, industri panel kayu, dan industri furnitur dari kayu, kini ditambah lagi industri pengawetan kayu, industri venir, industri kayu laminasi dan industri bangunan prefabrikasi dari kayu.
Hanya saja, Diarta mengaku program ini secara sistem memang mengharuskan pihak industri untuk berinvestasi dulu. “Belanja dulu dalam periode tertentu. Misalnya saja, pada Juni 2024 sampai dengan Mei 2025 bisa ikut serta di program retsrukturisasi di tahun 2025. Insya Allah masih ada dasar hukum pelaksanaannya. Nanti bisa menggunakan Permenperin No. 31/2024. Silakan dimanfaatkan dan kalau ada usulan lagi, kita akan terbuka untuk menerimanya,” pungkas Diarta.
Untuk meningkatkan produktivitas, kapasitas, dan kualitas produk, Kemenperin juga mengembangkan konsep desain furnitur, di mana bentuknya adalah workshop kolaborasi antara desainer furnitur dengan pelaku industri. Juga meningkatkan kualitas produk dengan penerapan SNI dan SKKNI.
Yang tidak kalah penting, Kemenperin juga menegaskan komitmennya untuk tetap menjalankan hilirisasi dan membatasi atau mengurangi diekspornya bahan baku mentah, baik untuk log maupun rotan. Dia mengaku ada permintaan dari beberapa industri untuk melakukan relaksasi kebijakan. “Tapi tahun 2024 ini kami tegaskan lagi bahwa relaksasi belum diberikan oleh Kemenperin mengingat kebutuhan bahan baku kayu dan beberapa jenis tertentu masih sangat tinggi di Indonesia,” jelasnya. ***