Dari Redaksi
Seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan pangan, energi dan air terus meningkat. Hal ini dialami oleh hampir seluruh negara di dunia. Pertumbuhan permintaan yang tinggi terhadap pangan, energi dan air, serta pemanfaatannya yang tidak efisien dan ketersediaannya yang tidak terjaga, mengakibatkan terjadinya kelangkaan. Di era perubahan iklim, krisis air menjadi tantangan global seiring dengan intensifikasi pertanian untuk pangan yang membutuhkan air dalam proses produksinya. Sebagai gambaran global adalah 80% air digunakan untuk pertanian dalam memproduksi pangan (Millenium Ecosystem Assesment), dan menurut FAO bahwa 30% konsumsi energi global diperuntukan untuk sektor produksi pangan (Aris Sudomo, https://www.kompas.com). Perebutan antara pangan, energi dan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan industri menjadi permasalahan. Sustainable Development Goals (SDGs) telah mengagendakan pangan, energi dan air untuk ditingkatkan ketersediaan, keterjangkauan dan mutunya di seluruh belahan dunia. Ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan air terkait sangat erat satu sama lain yang diungkapkan sebagai food, energy, water, nexus atau FEW Nexus.
Pendekatan Food, Energy, Water Nexus
Program ketahanan pangan membutuhkan air dalam jumlah besar, yang dapat dipenuhi antara lain melalui pembangunan jaringan irigasi. Demikian pula program peningkatan ketahanan energi mungkin membutuhkan air dalam skala besar untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik, atau membutuhkan biomass maupun komoditas pertanian lainnya yang berpengaruh pada pencapaian program ketahanan pangan. Meskipun permasalahan ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan air merupakan permasalahan lama, namun riset yang mempelajari keterkaitan ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan air baru dimulai sejak awal 2010-an (Simpson & Jewitt, 2019, Endo et. al, 2015).
Nexus Pangan-Energi-Air adalah kerangka konseptual yang mengakui keterkaitan nyata antara sistem pangan, energi, dan air. Menurut FAO (2014) hubungan ini sebagai pendekatan baru dalam mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan serta sebagai sarana untuk memahami dan mengelola interaksi kompleks antara pangan, energi, dan air. Hubungan ini berfungsi untuk menyeimbangkan berbagai tujuan dan kepentingan pihak-pihak yang menggunakan sumber daya Pangan-Energi-Air, sekaligus menjaga integritas ekosistem melalui pengelolaan terpadu.
Nexus Pangan-Energi-Air dibangun atas pilar-pilar disiplin ilmu yang sudah ada dan tidak menggantikan sama sekali Platform Integrated Water Resources Management yang dikembangkan Global Water Partnership (GWP) Bank Dunia dan United Nations Development Programme tahun 1996. Keduanya masih digunakan dan saling melengkapi (UN-DESA 2011) (https://www.instagram.com/siti.nurbayabakar/). Tantangan laten dalam pengelolaan air adalah kurangnya integrasi antar sektor-sektor yang berinteraksi dengan air di seluruh wilayah geografis dan dalam wilayah sungai yang luas, bahkan sering kali bersifat lintas batas, melalui pengelolaan sumber daya air terpadu.
Air merupakan komponen penting untuk memproduksi pangan dan energi. Air penting untuk irigasi pertanian dalam memproduksi pangan dan menghasilkan energi dengan pambangkit listrik tenaga air (PLTA). Di Indonesia air dari kawasan hutan pegunungan di sektor hulu digunakan untuk irigasi pertanian dalam memproduksi pangan dan menghasilkan energi sebagai PLTA. Di negara maju, energi listrik diperlukan untuk irigasi pertanian dan untuk memproduksi ipangan. Bahkan di Afrika keterbatasan air di era perubahan iklim telah menghambat produks pangan sehingga menyebabkan krisis pangan. Hubungan diantara ketiganya sangat penting untuk dipahami. Inisiatif terkait FEW Nexus berkembang pesat mulai tahun 2020 dengan diawalinya program2 pembangunan dalam kerangka RPJMN 2020-2024. Dengan penelaahan lebih lanjut dapat ditemukan bahwa ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan air tidak hanya membentuk nexus yang kuat di antara ketiganya, namun juga terkait dengan sektor2 sumber daya alam lainnya, khususnya hutan dan lingkungan.
Aset utama dari hutan lindung adalah pepohonan yang berdiri sebagai penghalang untuk mengurangi gerakan massa seperti batu karang, erosi, longsoran tanah, aliran puing, dan banjir. Pohon juga dapat menyimpan air dalam jumlah yang bervariasi, tergantung dari jenis pohonnya: usia pohon, serta kondisi tanah dan iklim. Menurut Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng (2019) bahwa selain sebagai sumber oksigen, fungsi pohon yang utama adalah menyerap air dan menguncinya ke dalam akar. Dengan demikian air yang terserap ke dalam akar bisa bertahan di sana dan dikenal sebagai air tanah. Air tanah banyak sekali manfaatnya, selain menyuburkan tanah, juga dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan manusia. Dengan menyerap air ke dalam tanah, maka pohon telah menabung debit air yang ada di bumi. Dengan menguncinya di dalam tanah maka air tidak akan mudah untuk hilang lagi. Dengan demikian, keberadaan pohon sangat penting kaitannya dengan penyimpanan air yang berasal dari hujan. Menurut Ernyasih (2023) bahwa pohon berfungsi meregulasi siklus air. Pohon dewasa dapat menyerap air antara 1.500–2.000 liter per tahun, dan 1 hektar ruang terbuka hijau (RTH) dapat menyimpan 500 m³ air tanah per tahun, selain itu dapat mentransfer air sebanyak 4.000 liter per hari. Akar pohon juga berperan dalam memperlambat proses penguapan atau evaporasi dari tanah. Fransiska Viola Gina (2023) menyatakan bahwa pohon baobab yang berukuran raksasa memiliki lubang pada batangnya. Lubang ini digunakan untuk menyimpan air. Kemampuan pohon baobab dalam menyimpan cadangan air bisa mencapai 120.000 liter. Air ini hanya dimanfaatkan oleh pohon baobab untuk mempertahankan posisinya agar tetap tegak. Selain menyimpan air, akar pohon juga memiliki fungsi lain, yaitu (i) memperlambat penguapan air dari tanah, (ii) menstabilkan tanah sehingga dapat mencegah banjir bandang dan tanah longsor, (iii) menyaring bahan kimia dan polutan berbahaya dari limpasan badai. Pohon menyerap air dari tanah melalui proses osmosis, kemudian air tersebut dialirkan ke daun, menguap, dan dilepaskan ke atmosfer
Salah satu fungsi utama dari hutan lindung adalah sebagai lokasi resapan air yang didukung dengan kondisi banyaknya terdapat pepohonan dengan akar yang besar sehingga mampu menyerap air. Keberadaan hutan lindung sangat berperan dalam meningkatkan resapan air pada daerah sekitarnya, sehingga di daerah tersebut lebih mudah ditemukan sumber air, tidak akan kekurangan air. Fungsi hutan lindung sangat penting sebagai reservoir yang dapat memasok air untuk produksi pangan dan produksi energi. Untuk itu, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), praktik konservasi tanah dan air, pengendalian perubahan penggunaan lahan hutan dan penjagaan Daerah Tangkapan Air untuk tetap menghasilkan air adalah menjadi fundamental untuk produksi pangan dan sumber energi (PLTA) yang saling terkait satu sama lain.
Dalam kategori ekosistem hutan lahan basah, terdapat 3 formasi hutan rawa yaitu hutan mangrove (mangrove forest), hutan rawa gambut (peat swamp forest) dan hutan rawa (freshwater swamp forest) (sylvius et al., 1987). Menurut Jacobs (1988) hutan mangrove selalu berada dalam pengaruh air laut, hutan rawa mendapatkan suplai air yang mengandung cukup hara mineral yang terlarut dari aliran dan sungai (selain dari air hujan), sedangkan hutan rawa gambut hanya mendapatkan suplai dari air hujan yang sangat miskin akan hara (Whitmore, 1991; Whitten et al.,1988). Hutan gambut memiliki lapisan gambut ebalnya mencapai 1-2 m, sedangkan hutan rawa lapisannya hanya sekitar 0,5 m. Tanah gambut adalah tanah yang jenuh air, tersusun dari bahan tanah organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Menurut Suhardjo dan Dreissen, jenis gambut saprik, hemik, dan fibrik dapat menampung air berturut-turut sebesar 451% (empat ratus lima puluh satu per seratus), 450-850% (empat ratus lima puluh hingga delapan ratus lima puluh per seratus), dan lebih dari 850% (delapan ratus lima puluh per seratus) dari bobot keringnya atau hingga 90% (sembilan puluh per seratus) dari volumenya. Karenanya gambut memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau. Kegiatan pertanian di wilayah pasang surut akan memperoleh manfaat besar dari keberadaan rawa gambut di wilayah hulu, sebagai sumber air tawar untuk irigasi dan memasok air tawar secara terus menerus guna menghindari atau mitigasi intrusi air asin. Di beberapa wilayah pedesaan pesisir, rawa gambut bisa menjadi sumber air yang dapat digunakan untuk keperluan minum dan irigasi untuk beberapa bulan selama setahun. Gambut memiliki daya hantar hidrolik (atau daya penyaluran air) secara horizontal cepat, artinya gambut dapat menghantar unsur hara dengan mudah secara horizontal sedangkan daya penyaluran air vertikal yang lambat sehingga gambut lapisan luar (atas) cenderung kering meskipun bagian bawah hutan rawa gambut sangat basah. Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 – 0,9 m3 air/m3 tanah gambut, sehingga lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau (Murdiyarso et al, 2004). Nilai penting inilah yang menjadikan lahan rawa gambut harus dilindungi dan dipertahankan kelestariannya.
Ekosistem gambut dan mangrove memegang peranan penting dalam siklus hidrologi, keberadaan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, dan mitigasi perubahan iklim. Hutan mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan yang didominasi oleh pepohonan yang tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut di wilayah tropik dan sub tropik, tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut Hutan mangrove mempunyai peran penting (1) Menghasilkan berbagai jenis barang bernilai ekonomi tinggi, dan jasa lingkungan : proteksi abrasi, intrusi air laut, dan angin topan, memurnikan air terpolusi, pembentuk sedimen dan penahan unsur hara, habitat satwa liar, penyerap CO2 dan penyimpan karbon yang bermanfaat sebagai penyangga sistem kehidupan, (2) Sebagai salah satu tipe ekosistem pesisir selain padang lamun dan terumbu karang, hutan mangrove mempunyai produkivitas tinggi dibandingkan tipe-tipe ekosistem lainnya, ITTO (2010) menduga nilai ekonomi mangrove US$ 2.000 s/d 9.000 per ha/thn. Simpanan karbon 3-5 kali lipat simpanan karbon hutan daratan, (3).Secara geopolitik mangrove penting untuk mempertahankan keberadaan pulau2 kecil yang menjadi batas terluar dengan negara lain. Mangrove merupakan bagian integral dari ekosistem pesisir dan DAS.
Selain peran hutan lindung sebagai reservoir tersebut di atas, 43 % penduduk Indonesia berada wilayah pedesaan yang tersebar di 83.820 pemerintah desa dengan sumber daya alam yang melimpah. Terkait hal itu, upaya mensinergikan antara sektor energi, air dan pangan potensial dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknik agroforestri (BPS, 2021). Kombinasi berbagai jenis tanaman dapat memberikan multi manfaat yaitu perlindungan ekosistem, sosial dan lingkungan. Fungsi perlindungan ekosistem untuk menjaga kelestarian air diperankan oleh keberadaan pohon sehingga mampu mengairi sektor pertanian (fungsi produksi) dalam bingkai agroforestry. Menurut Ari Sudomo (2023) agroforestri potensial menjadi teknologi untuk mengkolaborasikan dan mensinergikan antar sektor pertanian, kehutanan, sumber daya air dan energi. Kebaradaan pohon-pohon dapat menghubungkan siklus air lokal ke regional dan global melalui modifikasi infiltrasi, penggunaan air, redistribusi hidrolik air tanah dan perannya dalam daur ulang curah hujan.
Bahkan dengan agroforestri multifungsi dapat meningkatkan infiltrasi dan penyimpanan air, mengurangi limpasan, menghasilkan kayu bakar dan makanan, serta mengadaptasi perubahan iklim dalam hubungan air, energi dan pangan. Agroforestri bisa mengintegrasikan produksi pangan dan energi dapat menghasilkan energi (kayu bakar, biji minyak, lignoselulosa, biomassa dan biogas), pangan dan air pertanian dalam hubungan air, energi dan pangan. Bahkan dalam beberpa kasus, agroforestri terbukti dapat menghasilkan konservasi kayu bakar, pangan, tanah dan air (Elagib dan Al saidi, 2020) Singkatnya, dalam perencanaan perdesaan, agroforestri merupakan pemanfaatan lahan strategis yang dapat menghasilkan pangan lokal, kayu energi, jasa ekosistem untuk melestarikan air dan menjaga keanekaragaman hayati. Agroforestri jelas menghasilkan pangan bagi masyrakat pedesaan dengan mengoptimalkan lahan kering/tanpa irigasi di era perubahan iklim. Sehingga agroforestri menjadi solusi dalam mengatasi krisis pangan, air dan energi di era perubahan iklim.