Site icon Yayasan Sarana Wana Jaya

Agroforestri Eco Win-Win Solution Swasembada Pangan

Penulis: Bambang Edy P (Yayasan Sarana Wana Jaya)

 

Abraham Lincoln mengatakan bahwa tidak ada kegiatan manusia yang lebih komplek dari pertanian terutama dalam pengadaan pangan guna memenuhi kebutuhan utama untuk hidup, karena menyangkut berbagai pengetahuan yang harus dikuasai. Oleh karena urusan pangan memerlukan kecerdasan untuk memanfaatkan berbagai pengetahuan tersebut. Posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis dan sebagai negara kepulauan memiliki karakteristik yang sangat rentan terhadap bencana akibat perubahan hutan dan lahan yang dimanfaatkan usaha pertanian pangan yang tidak adaptif. Swasembada pangan seharusnya tidak menimbulkan bencana dimasa yang akan datang, seperti contohnya yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1930an akibat pembabatan hutan yang sangat luas untuk dimanfaatkan usaha pertanian yang salah berakibat terjadinya bencana badai debu (dust bowl) merupakan salah satu bencana lingkungan terburuk di dunia yang menyebabkan 2,5 juta orang mengungsi.

Sebenarnya di Indonesia pernah terjadi juga kegagalan-kegagalan upaya swasembada pangan mulai era Presiden Soeharto melalui proyek pembukaan hutan gambut 1 juta hektar untuk pencetakan sawah pada tahun 1995 di Kalimantan Selatan yang mengalami kegagalan mengakibatkan sekitar separuh dari 15.594 kepala keluarga transmigran yang ditempatkan pada areal tersebut meninggalkan lokasi. Selain itu, penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam berupa hutan dan dampak negatif dari hidrologi yang disebabkan proyek tersebut.

Latar belakang munculnya proyek pengembangan lahan gambut (PLG) satu juta hektar di Kalimantan Tengah tahun 1995 terjadi karena setelah Indonesia berhasil mencapai swasembada beras tahun 1984 selama lebih sepuluh tahun, produksi beras mulai menurun. Berbagai tanda-tanda rapuhnya ketahanan pangan dengan kembalinya Indonesia menjadi pengimpor beras mulai timbul, ternyata tahun-tahun melimpahnya beras tidak berlangsung lama. Kemarau panjang sekitar tahun 1994 kemudian disusul penurunan kesuburan lahan sawah dan banyaknya alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa, membuat produksi beras nasional merosot tajam, sedangkan konsumsi beras semakin meningkat dengan adanya peningkatan jumlah penduduk. Berdasarkan kerisauan masalah produksi beras tersebut diambil kebijakan secara cepat melakukan perluasan lahan pertanian baru untuk tanaman padi, kemudian dipilih hutan gambut yang cukup luas di Kalimantan Selatan.

Pada era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan program food estate untuk memenuhi kebutuhan melalui proyek Merauke Integrated Food Energi Estate (MIFEE) pada tahun 2008 dengan membuka hutan 1,2 juta hektar di Merauke untuk pencetakan sawah baru dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Seiring jalannya waktu tujuan program MIFEE gagal tercapai. Akhirnya masyarakat yang harus membayar dari kesalahan ambisi tersebut, dengan bahan makanan lokal sagu, daging rusa atau babi menjadi langka karenanya rusaknya hutan sagu yang sangat luas. Presiden Yudhoyono tidak berhenti di situ, pada tahun 2011 menghidupkan kembali program food estate di wilayah Bulungan, Kalimantan Utara dengan membuka hutan seluas 300.000 hektar untuk pencetakan sawah, kemudian tahun 2013 melanjutkan ketahanan pangan melalui program food estate di Ketapang, Kalimantan Barat dengan membuka hutan seluas 100.000 hektar. Sama dengan program food estate Presiden Yudhoyono sebelumnya, program food estate di Bulungan dan Ketapang kembali berujung dengan kegagalan total.

Pengalaman seharusnya menjadi guru terbaik untuk membantu membuat keputusan yang lebih baik di masa depan. Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan kebijakan untuk swasembada pangan dengan melakukan pembukaan lahan pertanian baru di Merauke, Papua Selatan seluas 2 juta hektar. Selain itu, pembukaan lahan untuk pencetakan sawah dilaksanakan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Aceh dan Jambi. Dalam rangka swasembada gula Menteri BUMN berencana untuk melakukan merger PT. Perkebunan Nusantara (PTPN III) dengan Perum Perhutani untuk mendapatkan kawasan hutan untuk tanaman tebu di Pulau Jawa. Kemudian Menteri Pertanian meminta kepada Presiden untuk memberikan kewenangan terhadap lembaga dan BUMN yang terkait dengan urusan pangan termasuk Perum Perhutani dibawah kekuasaannya, dengan dalih untuk mempercepat swasembada pangan.

Melihat hal tersebut, hutan dan kawasan hutan masih menjadi tarik-tarikan kepentingan dan tumpuan dalam upaya swasembada pangan, karena dianggap masih memiliki kawasan yang sangat luas dengan cepat dapat dilakukan alih fungsi dan penguasaan dengan biaya murah, tidak harus melakukan pembayaran ganti rugi.

Pembukaan Hutan untuk pencetaan sawah di Merauke
(Sumber: BSIP Papua, 2024)

Eco Win-Win Solution

Indonesia sebagai kepulauan memiliki perilaku alam yang berbeda dengan benua, jarak antara gunung dengan pantai sangat dekat. Oleh karena itu, apabila tidak ada hutan di gunung dan terjadi hujan akan terjadi erosi yang sangat cepat alirannya menuju ke pantai sehingga terjadi bencana. Contohnya kejadian banjir bandang di kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada hari Rabu tanggal 4 Desember 2024. Terjangan aliran air yang sangat kuat menyebabkan hanyutnya beberapa mobil dan robohnya rumah akibat longsor. Kejadian banjir bandang dan tanah longsor sudah terjadi beberapa tempat di wilayah Indonesia, hal ini menunjukkan tanda atau gejala terjadinya kerusakan alam akibat pembukaan lahan yang tidak terkendali.

Melihat kejadian-kejadian bencana tersebut, dalam upaya swasembada pangan seharusnya ditemukan eco win-win solution, yaitu dengan melihat siklus-siklus alam yang akan membawa era pangan yang tidak linier, misalnya untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak harus membuka lahan jutaan hektar tetapi melakukan rekonstruksi kedalam model-model siklus alam tersebut. Dengan melakukan eco innovation seperti yang dilakukan di Inggris dan Belanda dengan memasukkan insect kedalam siklus-siklus tersebut semuanya akan berubah, kalau insect disetarakan sebagai sumber protein untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa sebesar 80 gram per hari dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 280 juta, maka tidak perlu membuka lahan seluas 100.000 hektar untuk mendapat protein tersebut hanya menambah satu komponen yaitu insect.

Sebenarnya banyak hal dapat dilakukan melalui eco win-win innonation dengan perkebunan, hutan dan pangan hanya sebagai label kemudian dimasukkan kedalam circular economy maka semuanya menjadi sustainable, kuncinya pada design circular economy.

Belajar dari nenek moyang bangsa Indonesia menemukan bahwa untuk memenuhi kehidupannya tidak pernah merusak alam karena melakukan eco innovation dengan diversifikasi pangan yang memanfaatkan sumber pangan berasal dari daerah tropis. Datangnya penjajah merubah pola kehidupan tersebut dengan memasukkan tanaman-tanaman asing sebagai sumber pangan, bahkan pada era pemerintahan yang lama terjadi penyeragaman pangan yaitu “beras-isasi” yang menyebabkan ketergantungan pada satu komoditi pangan berupa beras. Sebagai contoh negara India yang konsumsi pangannya cukup besar karena penduduknya banyak, negara tersebut melakukan diversifikasi pangan dengan tidak tergantung hanya beras tetapi memanfaatkan gandum, biji-bijian dan pangan lokal sebagai sumber pangan, sehingga terjadi surplus produksi berasnya dan diekspor ke Indonesia.

Agroforestri dalam swasembada pangan

Diversifikasi pangan sebagai inovasi sangat penting perannya dalam swasembada pangan, suatu komoditas pangan seharusnya tidak terlalu dominan dan masyarakat tidak tergantung pada komoditas tertentu. Dalam diversifikasi pangan peran hutan sangat strategis karena memilki lahan hutan yang dapat manfaatkan untuk produksi pangan dengan pola agroforestri atau “wana – tani” yang dikenal sebagai pola tumpang sari, yaitu menanam tanaman pangan misalnya padi gogo, ubi kayu, jagung dan sorgum diantara tanaman hutan.

Penyediaan kawasan hutan dalam menunjang swasembada pangan inklusif diversifikasi dalam bentuk food estate, semestinya dilihat sebagai perencanaan untuk land use atau tata guna lahan yang dikenal pengelolaan secara multiguna (compound land utilization type), yang ditanam bukan hanya tanaman secara monokultur, namun juga polikultur. Oleh karena itu, pembangunan food estate seharusnya dilakukan secara terintegrasi yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perternakan, perikanan dan pohon hutan dalam bentuk mozaik yang selama ini dikenal sebagai pola agroforestri dengan melibatkan masyarakat setempat. Dengan demikian pembangunan food estate tidak dipersepsikan merusak hutan, tetapi sebagai upaya rehabilitas hutan, menunjang ketahanan pangan dan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar hutan.

Upaya swasembada pangan apabila dikaitkan dengan Perhutanan Sosial yang merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan sebagai optimalisasi pemanfaatan hutan, dan  masyarakat sebagai pelaku utama dengan pola agroforestri, sebenarnya sudah dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, tidak perlu impor dan tidak perlu membuka hutan secara besar-besaran.

Perhutanan Sosial yang telah disetujui Pemerintah seluas sekitar 6 juta hektar kemudian yang 3 juta hektar ditanami padi dengan asumsi produktivitas padi dari lahan kering  sebesar 4 ton per hektar maka akan menghasilkan padi sebanyak 12 juta ton atau beras sekitar 7,68 juta ton dengan konversi padi ke beras 64%, sedangkan berdasarkan data BPS impor beras tahun 2024  sebanyak 3,48 juta ton. Dari perhitungan tersebut produksi beras dari Perhutanan Sosial saja sudah surplus untuk memenuhi kekurangan kebutuhan beras secara nasional. Sistem Perhutanan Sosial tersebut, apabila dikembang lebih lanjut melalui konsep integrated area development (IAD) atau pengembangan wilayah terpadu sebagai pembangunan yang mengintegrasikan berbagai pihak untuk pengembangan potensi sumber daya alam maka akan menjadi dukungan yang sangat potensial dalam pencapaian swasembada pangan. Potensi sumber daya alam dapat dikembangkan melalui agroforestri, ekowisata, silvopastura dan pengembangan tanaman hutan atau pohon sebagai sumber pangan seperti buah sukun, porang dan sebagainya dengan menanam sumber pangan dari pohon bukan dari grass yang kemudian diolah akan lebih efisien dan berkelanjutan. Ketergantungan agriculture yang permanen sebenarnya lebih pada urusan politik bukan urusan cost efficient untuk mendapatkan pangan. Dalam upaya pencapaian swasembada pangan secara permanen, lebih tepat apabila Perhutanan Sosial dan IAD termasuk sebagai proyek strategis nasional (PSN), dengan didukung pendanaan yang memadai perhutanan sosial dan IAD dapat berkembang secara masif.

Pembukaan hutan dan lahan secara luas untuk pencetakan sawah seperti yang dilakukan di Merauke-Papua Selatan mengandung resiko yang besar terhadap kerusakan ekosistem, sosial dan budaya setempat, apabila tidak dilakukan secara hati-hati. Pengalaman menunjukkan dampak dari kebijakan pangan yang tidak tepat tidak serta merta terlihat, tetapi secara berangsur-angsur akan terlihat kerapuhan dari ekosistem alam setempat dan pada akhirnya datang bencana yang lebih besar. Pembukaan hutan secara luas akan menimbul perubahan iklim mikro, pada saat hutan dibabat bakteri dari hutan yang disebut bio-aerosol akan hilang. Bio-aerosol dapat menurunkan titik beku dari awan menjadi -17 derajat Celsius untuk menjadi hujan, dengan tidak ada bio-aerosol titik beku awan diatas -30 derajat Celsius yang menyebabkan hujan berkurang dan akhirnya terjadi iklim mikro yang semakin kering. Berdasarkan pengalaman proses perubahan iklim mikro tersebut menjadi semakin kering akan berangsur-angsur terjadi selama 10 tahun atau lebih cepat yang akhirnya menjadi bencana kekeringan.

Oleh karena itu perhutanan sosial dengan pola agroforestri dengan menggunakan inovasi-inovasi teknologi yang maju merupakan salah satu eco win-win solution dalam upaya swasembada pangan di Indonesia, sehingga tidak perlu membuka hutan alam secara luas yang menyebabkan risiko bencana dikemudian hari. Pemanfaatan kawasan hutan untuk swasembada pangan selain berasal dari ijin-ijin perhutanan sosial sebenarnya dapat memanfaatkan ijin-ijin HTI yang tidak aktif lahannnya idle diperkirakan seluas 7 juta hektar, dengan menggunakan inovasi teknologi pertanian lahan kering akan dapat memenuhi kebutuhan pangan secara nasional. Dengan skenario pemanfaatan areal HTI yang idle tersebut misalnya seluas 3 juta hektar untuk pangan, 2 juta hektar untuk stock karbon dan 2 juta hektar untuk energi akan dapat menjadi solution tepat untuk menjawab tentang swasembada pangan, swasembada energi dan ketahanan iklim

Rencana pembukaan hutan 20 juta hektar

Akhir-akhir ini media heboh karena adanya pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni tentang rencana pemerintah untuk melakukan pembukaan hutan seluas 20 juta hektar untuk pangan dan energi. Banyak pihak yang menanggapi sepertinya rencana pemerintah tersebut mengingkari janjinya atau komitmennya sendiri kepada dunia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca seperti yang tertuang dalam nationally determined contribution (NDC), ditambah lagi munculnya pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa pohon sawit sama dengan pohon hutan yang menambah kekhawatiran berbagai pihak terhadap nasib hutan di Indonesia.

Kondisi tahun 2022 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar 125 juta hektar yang masih berpenutupan hutan seluas 82,4 juta hektar yang terdiri 42,6 juta hektar hutan primer, 35 juta hektar hutan sekunder dan 4,8 juta hektar berupa hutan tanaman. Sedangkan jumlah luas hutan primer yang hilang sekitar 300.000 hektar setiap tahun, merupakan negara keempat di dunia dengan kehilangan hutan primer terbesar. Berdasarkan studi antara economical reversible (tekanan terhadap sumber daya alam/daya tampung maksimal) dengan adaptability level (daya dukung sumber daya alam minimal) seharusnya luas hutan primer tidak melewati irreversibility line, untuk Indonesia minimal harus memiliki hutan primer seluas 58 juta hektar sebagai batas irreversibility line nya. Membandingkan hasil studi tersebut dengan kondisi hutan primer saat ini hanya 42,6 juta hektar maka sebenarnya saat ini sudah memasuki kondisi sangat kritis dilihat dari daya dukung sumber daya alam berupa hutan akan menuju terjadinya bencana ekologis yang lebih besar yang berdampak pada ketahanan pangan, energi dan air. Dengan adanya rencana pemerintah membuka hutan seluas 20 juta hektar untuk swasembada pangan dan energi akan mempercepat terjadinya bencana ekologis yang dahsyat menuju kiamat. Dengan kondisi seperti ini seharusnya pemerintah saat ini mengeluarkan kebijakan menghentikan pembukaan hutan dengan dalih apapun untuk mengerem laju penurunan daya dukung sumber alam berupa hutan. ***

 
Artikel dapat dibaca pada website Agro Indonesia 
Exit mobile version