Yayasan Sarana Wana Jaya

Polemik Penetapan Kawasan Hutan dan Implementasi Kebijakan Satu Peta

Polemik antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dua instansi “penguasa lahan” Indonesia, nampaknya masih akan terus terjadi. Wilayah “panas” terjadi di dua provinsi, yakni Riau dan Kalimantan Tengah, yang potensial mengundang masuk tim Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Pasalnya, sampai saat ini revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kedua provinsi itu belum selesai, meski sudah puluhan tahun digarap. Apalagi, kawasan hutan nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah baru 87% dari total 125,5 juta hektare (ha).

Kisruh atau polemik pengurusan kawasan hutan antara Kemenhut dan ATR/BPN selama ini sudah menjadi rahasia umum. Polemik tersebut mendadak mencuat lagi ke permukaan dipicu  pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. Politikus Partai Golkar ini menyatakan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan tetap sah dan berlaku — meski di dalam kawasan hutan — apabila HGU tersebut diterbitkan sebelum areal tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Nusron melontarkan pernyataan itu saat kunjungan ke salah satu wilayah “paling panas” dalam masalah pemanfaatan ruang di negeri ini: Provinsi Riau. Apalagi, orang nomor satu di BPN ini juga menggunakan diksi “kalah-menang”. “Apabila HGU lebih dulu terbit daripada penetapan kawasan hutan, HGU itu yang akan menang,” katanya kepada wartawan.

Mencuatnya polemik ini yang coba dibahas oleh Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut) Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ) dalam webinar bertajuk “Polemik Penetapan Kawasan Hutan dan Implementasi Kebijakan Satu Peta” pada Selasa (29/7/2025) di Jakarta. Dalam diskusi dengan moderator Ketua Puskashut Dr. Ir. Harry Santoso, IPU ini, Puskashut mengundang Badan Informasi Geospasial (BIG) yang bertanggung jawab terhadap Kebijakan Satu Peta (KSP) atau One Map Policy, dihadiri oleh Sekretaris Utama BIG, Ir. Belinda Arunarwati Margono, M.Sc, PhD. Dua pembicara lainnya adalah Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut, berhalangan dan diwakillkan stafnya, Arif Pratisto, S.Hut, M.Sc. — serta Dirjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, juga berhalangan dan diwakili Sekretaris Ditjen Tata Ruang, Renny Windyawati ST, M.Sc.

Dr. Ir. Boen M. Purnama M.Sc. selaku pimpinan webinar berharap BIG bisa menjadi institusi yang akan memediasi dua instansi “penguasa lahan” di Indonesia, yakni Kemenhut dan Kementerian ATR/BPN. “Mudah-mudahan ke depan tidak lagi muncul permasalahan di lapangan karena sudah  ada Kebijakan Satu Peta (KSP) yang akan berjalan dengan baik serta memudahkan pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan kawasan hutan dan/atau lahan.”

Namun dalam diskusi terungkap bahwa pengukuhan kawasan hutan yang ada ternyata masih belum 100%. Menurut data yang disampaikan oleh Arif Pratisto, dari total kawasan hutan seluas 125,54 juta ha, baru 108,85 juta ha atau 87% yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sementara 16,68 juta ha atau 13% masih dalam proses penetapan sebagai kawasan hutan.

Jika suatu areal hutan masih tahap penunjukan, dan belum ditetapkan sebagai kawasan hutan, maka potensi terjadinya masalah di lapangan masih sangat besar. Pasalnya, berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Jadi, yang namanya kawasan hutan belum cukup sekedar ditunjuk saja, melainkan harus ditata batas dan kemudian ditetapkan/dikukuhkan.

Persoalannya, pengukuhan kawasan hutan bukan pekerjaan mudah karena melibatkan sejumlah proses yang makan waktu lama dari daerah hingga tingkat pusat. Setidaknya ada empat tahapan sebelum areal hutan ditetapkan menjadi kawasan hutan yang memiliki kepastian hukum tetap atas status, letak, batas, dan luas kawasan hutan itu sendiri. Pertama, Menteri Kehutanan mengeluarkan SK tentang penunjukan kawasan hutan. Setelah ditunjuk, proses berikutnya adalah penataan batas kawasan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas sementara, pengumuman, inventarisasi/identifikasi serta penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran, pemetaan serta berujung pada pembuatan berita acara tata batas (BATB).

Dalam proses kedua ini, kata Arif, Kementerian Kehutanan tidak bisa bekerja sepihak. “Tapi dibentuk Panitia Tata Batas yang melibatkan multisektoral. Bahkan sebelumnya, Ketua panitia tata batas itu Bupati. Anggotanya ada dari dinas kehutanan provinsi, Bappeda, dan ATR/BPN,” paparnya.

Setelah ditatabatas, maka proses berikutnya adalah pembuatan peta dalam proyeksi yang sesuai untuk menghasilkan peta. Peta ini nantinya akan menjadi lampiran dalam proses terakhir, yakni penetapan kawasan hutan. “Penetapan kawasan hutan ini diwujudkan dalam SK Menteri Kehutanan tentang Penetapan Kawasan Hutan.”

 

Penetapan Kawasan Hutan Baru 87%

Dari proses panjang tadi, Arif mengaku dari luas 120.219.979 ha kawasan hutan daratan atau 125.541.299 ha kawasan hutan daratan dan perairan, terbagi-bagi menurut fungsinya menjadi fungsi konservasi (perairan dan daratan seluas 27,434 juta ha), hutan lindung (29,47 juta ha), hutan produksi terbatas (26,76 juta ha), hutan produksi tetap (29,18 juta ha) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (12,68 juta ha).

Menurut Arif, dari 125 juta ha luas kawasan hutan yang ada, sebanyak 95% sudah dilakukan tatabatas oleh Kementerian Kehutanan, dan masih sisa 5% lagi yang belum ditatabatas. Hanya saja, kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan baru mencapai 87% atau 108 juta ha. “Sisanya seluas 16,6 juta ha (13%) masih dalam proses penetapan”.

Dari 16,6 juta ha areal hutan yang belum ditetapkan ini yang kerap bermasalah di lapangan, terutama di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah. Apalagi, bagi masyarakat umum, yang namanya kawasan hutan dianggap harus berhutan semua. Padahal, dalam definisi UU No. 41 Th.1999, hutan tidak sama dengan kawasan hutan. Hutan itu adalah tentang isinya, tentang pepohonannya, tumbuhan dan fauna di dalamnya. Sementara kawasan hutan lebih banyak berkaitan dengan spasial ataupun keruangan. “Kawasan hutan adalah kawasan yang ditetapkan pemerintah untuk ditetapkan sebagai hutan tetap, apakah areal tersebut kosong ataupun berhutan.”

Anggapan kawasan hutan harus berhutan juga terlihat dari pernyataan Sesditjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Renny Windyawati. Menurutnya, terkait dengan tata ruang, ada beberapa kawasan hutan yang jika dilihat tutupan lahannya ada yang non-hutan. Apalagi, katanya, data yang ada juga berbeda-beda.

“Mohon maaf, dari data yang ada agak berbeda. Ada 31,8 juta ha lahan diklaim sebagai kawasan hutan, tapi ini ternyata tidak berhutan,” ujar Renny.

Untuk itu, dia sangat berharap adanya koordinasi antara Kementerian Kehutanan dengan ATR/BPN untuk menyelesaikan kasus tersebut. “Karena (masalah ini) sangat berdampak terhadap revisi RTRWP. Ada beberapa daerah yang akhirnya kami kembalikan prosesnya agar di-clear-kan lebih dulu di Kementerian Kehutanan,” paparnya.

Menurut dia, melihat kondisi tata ruang saat ini memang diharuskan adanya revisi RTRW. Saat ini, baru ada 23 Peraturan Daerah (Perda) Revisi dari 38 provinsi yang ada. Yang perlu dicatat, berbeda dengan Revisi RTRW yang sudah di-perda-kan menggunakan peta tahun 2021, maka yang sedang berproses untuk revisi masih menggunakan peta yang berbeda-beda. Ada yang tahun 2000, 2012, 2014 dan seterusnya. “Saat ini kita masih menggunakan peta 2021, tapi mungkin ke depan sudah menggunakan peta yang lebih baru dari Kementerian Kehutanan,” katanya.

Renny secara spesifik juga menyinggung soal perbedaan data luas kawasan hutan, yang dinyatakan Kemenhut seluas 120 juta ha. Padahal, jika melihat data KSP tahun 2024, luas kawasan hutan hanya 119,25 juta. Jika dilihat secara rinci, maka data kawasan hutan untuk semua provinsi memang sama, tapi jika dilihat per kabupaten/kota, kecamatan sampai desa/kelurahan tidak sama. “Untuk kecamatan sekitar dua-pertiganya punya kawasan hutan, tapi sepertiganya tidak. Bahkan untuk kelurahan/desa separuh punya kawasan hutan dan separuhnya lagi tidak,” urai Renny.

Kasus Riau

Untuk menunjukkan betapa kisruhnya masalah tata ruang ini, Renny mengambil contoh Provinsi Riau. Dari sisi luas wilayah, Provinsi Riau mencapai sekitar 8,9 juta ha. Dari luas itu, kawasan hutannya seluas 5,376 juta ha (60,16%), sedangkan 3,546 juta ha (39,84%) adalah APL (areal penggunaan lain). Namun, dari data yang ada, ternyata terdapat proses perubahan kawasan hutan dari RTRWP 1994 melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Tahun 2018 serta draft revisi RTRWP tahun 2021.

Yang perlu dicermati dari beberapa pola perubahan peruntukan kawasan hutan, kata Renny, adalah adanya hak-hak atas tanah yang sudah terbit. “Ini perlu diselesaikan dulu, karena jangan sampai hak yang sudah diterbitkan dengan mengacu pada RTRW yang lama, tapi dengan SK Kehutanan yang baru dinyatakan sebagai kawasan hutan. Ini akan jadi potensi masuknya tim Penertiban Kawasan Hutan (PKH) karena ada sertifikat tanah yang ternyata diterbitkan di dalam kawasan hutan, meskipun dulunya wilayah itu bukan kawasan hutan,” tandas Renny.

Dari data RTRWP Riau 1994, memang ada non kawasan hutan seluas 2.973.142 ha yang berubah menjadi kawasan hutan dalam RTRWP Riau 2018 sesuai SK Menteri LHK No. 903 Th.2016 dan draft revisi RTRWP sesuai SK Menteri LHK No. 6612 Th.2021. Begitu juga ada wilayah seluas 8.120 ha yang sebelumnya non kawasan hutan menurut RTRWP 1994 dan 2018, tapi dalam draft revisi RTRWP menjadi kawasan hutan. Namun Renny mengakui ada juga kawasan hutan yang diubah menjadi kawasan hutan.

BPN berharap, dalam empat proses pengukuhan hutan untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan, Kemenhut memperhatikan terkait hak-hak tanah yang sudah terbit. “Karena jika tidak maka akan menjadi polemik ke depannya,” ujarnya.

Itu sebabnya, dia mengaku dengan posisi yang terjadi saat ini, maka RTRWP Riau sampai sekarang belum bisa diselesaikan. “Kami kembalikan ke Pemerintah Provinsi untuk bisa diselesaikan lebih dulu dengan Kementerian Kehutanan. Selain Riau, kasus serupa terjadi di Provinsi Kalteng. Statusnya sama kita kembalikan terlebih dulu kepada Pemerintah Provinsi untuk bisa diselesaikan dengan Kementerian Kehutanan. Karena ada usulan permohonan perubahan tata batas dari provinsi yang belum disetujui oleh Kementerian Kehutanan,” papar Renny.

Masalah yang terjadi dengan RTRWP Riau dan Kalteng ini dibenarkan oleh Harry Santoso. Dia mengaku pernah menangani kasus ini sekitar tahun 1994-1999 saat masih aktif di Kementerian Kehutanan. “Hingga sekarang pemaduserasian Tata Guna Hutan dan RTRWP dua provinsi tersebut masih belum selesai,” ungkapnya.

Renny sendiri menilai, penyelesaian kasus-kasus yang muncul dengan kawasan hutan sudah ada aturannya, yakni PP No. 43 Th 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang,  Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah sebagai aturan pelaksanaan UU No. 11 Th. 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan inilah yang disitir Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, di mana pada pasal 8 bunyinya jelas bahwa penyelesaian ketidaksesuaian RTRWP/K dengan kawasan hutan melihat siapa yang lebih dulu ditetapkan. Jika kawasan hutan lebih dulu dari RTRWP/K, maka RTRWP/K mengacu ke kawasan hutan yang ditetapkan terakhir. Tapi jika RTRWP/K ditetapkan lebih dulu, maka dilakukan tata batas dan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan RTRWP/K.

Sudah Sesuai Kaidah KSP

Menanggapi masalah yang terjadi, Badan Informasi Geospasial (BIG) mengakui bahwa Kebijakan Satu Peta (KSP) memang menjadi harapan untuk bisa memberikan solusi efektif terhadap proses penetapan kawasan hutan. Apalagi, informasi geospasial tematik (IGT) penetapan kawasan hutan yang dibuat sudah sesuai dengan kaidah-kaidah KSP. “Jadi, data IGT dapat dipergunakan sebagai sumber informasi terkait kawasan hutan,” ujar Sekretaris Utama BIG, Belinda Arunarwati.

Menurut Belinda, pengukuhan kawasan hutan memang melibatkan banyak data dan terkait dengan berbagai urusan. Itu sebabnya, urusan spasial ini harus berada pada satu referensi dan atau standar agar semua pihak bisa saling berkomunikasi. Untuk kegiatan KSP sendiri meliputi kompilasi, integrasi, singkronisasi dan bagi pakai.

“Untuk kompilasi sudah 100%, di mana pada Perpres No: 23 Th. 2021 tentang Perubahan atas Perpres No. 9 Th. 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 sudah ada 151 peta tematik dari 23 kementerian/lembaga di 38 provinsi. Dari 151 peta tematik yang ada, terkompilasi sudah 100%, terintegrasinya ada 150 dan masih ada 1 yang  diverifikasi. Sementara untuk Singkronisasi hasilnya adalah peta indikatif tumpang tindih atau PITTI.”

Terkait dengan kompilasi dan integrasi, Belinda mengatakan bahwa hal itu memang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan. “Jadi BIG sudah menerima data jadi dari Kehutanan. BIG hanya melakukan tahap berikutnya, yakni sinkronisasi dan bagi pakai,” katanya seraya menambahkan bahwa bagi pakai bertujuan membuat KSP bisa dimanfaatkan dan dipakai melalui geoportal KSP.

Dari rangkaian itu, kata Belinda, saat ini sudah dihasilkan peta kawasan hutan dalam KSP.

“Dari peta itu terlihat bahwa penunjukan kawasan hutan atau peta kawasan hutan yang skalanya 1:250.000 cakupannya sudah seluruh Indonesia. Jadi, ada 35 SK karena memang sesuai dengan SK penujukkan kawasan hutan yang ada. Lalu untuk peta penetapan kawasan hutan dengan skala 1:50.000 juga sudah seluruh Indonesia dengan jumlah SK 2.245. Jadi yang 87% wilayah hutan itu sudah ada database KSP,” papar Belinda.

Masyarakat juga bisa menggunakan portal KSP, meski hanya melihat dan tidak bisa mengunduh data, katanya.

Secara umum diakui bahwa penetapan kawasan hutan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah KSP. “Artinya, datanya sudah sah dan secara struktur semuanya juga sudah sesuai. Kesesuaian dengan proses KSP ini menguatkan kredibilitas informasi geospasial tematik (IGT) penetapan kawasan hutan. Selain itu pemutakhiran IGT penetapan kawasan hutan juga sudah sesuai dengan RPJMN 2025-2029,” simpul Belinda.

Dia berharap BIG bisa menjadi penengah atau membawa semua pihak untuk menggunakan satu referensi yang sama dan bisa sesuai (matching) dan tidak ada permasalahan di kemudian hari. ***

Exit mobile version