UU  No. 11 Th. 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) menambahkan ketentuan dalam UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang mengatur mengenai penyelesaian keterlanjuran kegiatan di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan bidang kehutanan dan/atau perizinan berusaha. Ketentuan tersebut telah dimuat dalam Pasal 51 PP No. 104 Th. 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, dengan batas waktu penyelesaian keterlanjuran 1 (satu) tahun sejak berlakunya PP tersebut. Persyaratan yang tercantum dalam PP No. 104 Th. 2015 lebih ketat dibandingkan dengan UUCK. Kegiatan usaha yang tidak memenuhi ketentuan dalam PP No. 104 Th. 2015 tersebut, telah dapat dikenai sanksi pidana. 

Kebijakan dalam Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja merupakan solusi keterlanjuran pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam perpajakan serta kewajiban lainnya termasuk rehabilitasi hutan.

Ada 2 (dua) prinsip penting yang dikedepankan oleh pemerintah yaitu ultimum remedium dan keadilan restoratif (restorative justice). Prinsip ultimum remedium dimaksudkan bahwa penerapan hukuman pidana adalah merupakan upaya terakhir apabila upaya perdata dan upaya administrasi sudah tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara. Sedangkan keadilan restoratif
merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak-pihak lain yang terkait untuk dapat mencari penyelesaian yang adil dengan mengutamakan pemulihan pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Penerapan keadilan restoratif di bidang pengelolaan sumber daya alam akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan selaras dengan amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 28 H ayat (1) UUD RI Tahun 1945.

Beberapa hal penting terkait prinsip kebijakan ini diantaranya adalah : (i). keterlanjuran dalam kawasan hutan memiliki tipologi berbeda-beda yang perlu dibedakan penanganannya; (ii). fokus kebijakan agar diarahkan pada penguatan hak kelola masyarakat dan penyelesaian konflik tenurial; (iii). kepastian hukum harus menjadi dasar pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang tumpang-tindih.

Sebagaimana dimaklumi telah dibentuk 10 POKJA dalam rangka implementasi UUCK di Kementerian LHK, salah satunya yaitu POKJA V yang menangani konsolidasi data dan penyelesaian keterlanjuran pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang harus diselesaikan pada tahun 2023 sesuai PP No. 24 Th 2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP dari Denda Administrasi Bidang Kehutanan. Kemajuan kinerja POKJA V ini perlu diketahui dan dimonitor dengan baik, agar targetnya dapat terpenuhi.

 

Selengkapnya klik link berikut

FGD: Akselerasi Penyelesaian Masalah Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasca UUCK

Post navigation


Leave a Reply