Yayasan Sarana Wana Jaya

[INFO PUSKASHUT] KONVERSI HUTAN MENURUNKAN KAPASITAS TAMPUNG WILAYAH

DARI REDAKSI

Bencana banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan sekitarnya yang terjadi mulai tanggal 24 November 2025, menimbulkan dampak kerusakan yang luas. Fenomena ini merupakan dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah. Secara klimatologis, wilayah Sumatera bagian utara memang sedang berada pada puncak musim hujan. Daerah ini memiliki distribusi hujan sepanjang tahun dengan kemungkinan dua kali puncak musim hujan, memang berbeda dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Fenomena hembusan angin kuat dari utara yang membawa massa udara lembap telah memperkuat pembentukan awan hujan. Kondisi ini memicu meningkatnya intensitas presipitasi dan memperbesar risiko banjir di wilayah tersebut. Curah hujan pada periode tersebut tergolong sangat lebat. Berdasarkan data lapangan, sejumlah wilayah mencatat curah hujan lebih dari 150 milimeter, bahkan terdapat stasiun BMKG yang mencatat curah hujan lebih dari 300 milimeter, yang dikategorikan sebagai curah hujan ekstrem. Sebagai perbandingan, curah hujan ekstrem di Jakarta pada awal Januari 2020, yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek, hingga mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari. Kondisi di Sumatera Utara pada akhir November 2025 ini memiliki karakteristik curah hujan yang mendekati peristiwa Jakarta 2020 tersebut, sehingga tidak mengherankan jika dampak banjir dan longsornya cukup luas dan signifikan.

 

KONVERSI HUTAN MENURUNKAN KAPASITAS TAMPUNG WILAYAH

Selain faktor atmosfer, kerusakan lingkungan berupa perubahan tutupan lahan atau berkurangnya kapasitas tampung wilayah menjadi faktor penting yang memperburuk dampak banjir. Banjir tidak hanya tentang hujan, tetapi tentang bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi. Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai runoff. Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah.

Kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang telah berubah fungsi menjadi permukiman, perkebunan, atau area terbuka tanpa vegetasi. Kapasitas tampung wilayah (daya tampung lingkungan) adalah kemampuan suatu lingkungan untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk ke dalamnya serta mendukung kehidupan manusia dan mahluk  hidup lainnya secara berkelanjutan. Dalam konteks pencegahan banjir, ini mengacu pada kemampuan wilayah untuk mengelola dan meresapkan volume air hujan guna mencegah limpasan air. Menurunnya kapasitas tampung wilayah sering kali akibat perubahan fungsi lahan (misalnya daerah resapan menjadi permukiman) dan pengelolaan yang buruk menjadi penyebab utama banjir. Ketika wilayah penahan air alami hilang akibat terdegradasi maka. wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan, sehingga kemampuan infiltrasinya menurun signifikan dan menyebabkan peningkatan runoff  yang jauh lebih besar. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir.

Banjir bandang umumnya hampir mirip dengan banjir yang terjadi ketika curah hujan tinggi. Salah satu penyebabnya adalah penebangan pohon hutan sebab pohon memiliki fungsi menyerap air hujan yang jatuh ke tanah dan akarnya berfungsi menahan tanah. Apabila air hujan tidak segera diserap tanah atau dialirkan ke sungai maka akan berbahaya dan bisa menyebabkan longsor karena tanah tidak mampu menahan beban air yang terus menerus menerpa dan terjadi banjir bandang. Bila lokasi terkumpulnya air tersebut berada di daerah yang lebih tinggi seperti di perbukitan, hal ini akan memberi efek menghancurkan bagi semua kehidupan yang ada di bawahnya.

Ketika ada bangunan di wilayah yang seharusnya menjadi lokasi resapan air, maka berpotensi menimbulkan aliran air yang besar dan sangat kencang saat hujan deras tiba. Kondisi tersebut membuat bangunan dan jalan-jalan dilokasi tersebut seakan-akan sebuah selokan, yang justru mempercepat laju aliran air hujan dalam volume yang besar. Perbedaan tinggi rendahnya daratan dan kemiringannya juga menjadi faktor penyebab terjadinya banjir bandang. Ketika air turun dari daratan yang lebih tinggi tentunya akan semakin laju saat menuju kebawah. Hal tersebut harus diwaspadai, sebab kuatnya arus air tersebut bahkan bisa menghancurkan semua yang dilewatinya.

Semakin tinggi lokasi air yang volumenya sangat besar berdampak merusak kehidupan dii lokasi yang ada di bawahnya Kedahsyatan arus air yang tiba-tiba menerjang bangunan, pemukiman, lahan pertanian, dan apa saja, sangat merugikan tidak hanya materi namun juga nyawa manusia. Penyebab terjadinya banjir bandang di Sumatera Utara, Aceh dan Sumatera Barat bisa menjadi peringatan terutama terkait pemberian izin perusahaan yang akan mengkonversi hutan menjadi bangunan pabrik, penambangan terbuka, perkebunan, dan sarana prasarana lainnya di kawasan resapan air di perbukitan atau daerah yang tinggi. Hal tersebut tentu merusak lingkungan dan membahayakan kehidupan yang ada di bawahnya.

Upaya pencegahan banjir berfokus pada peningkatan kembali kapasitas tampung wilayah melalui tindakan struktural dan non-struktural. Perlindungan kawasan resapan air alami seperti hutan, rawa, dan sempadan sungai dinilai sangat penting untuk menjaga kapasitas tampung wilayah dalam menyerap air dan mengurangi limpasan. Dengan pemahaman tersebut, upaya mitigasi banjir tidak dapat hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik seperti tanggul atau normalisasi sungai, tetapi harus disertai pendekatan non-struktural yang lebih komprehensif. Penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sangat penting untuk mitigasi jangka panjang.

Exit mobile version