Survei Bank Dunia menyebutkan bahwa penghidupan 57% populasi di Indonesia sangat bergantung pada lahan sehingga aspek lahan sangat vital bagi masyarakat Indonesia. Pangkal terjadinya konflik dan tumpang tindih pemanfaatan lahan adalah perbedaan standar, format, dan struktur peta Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang digunakan oleh para pihak meskipun menggunakan skala yang sama. Pembuatan peta tematik (IGT) memerlukan peta dasar atau Informasi Geospasial Dasar (IGD) yang detil, mutakhir dan akurat.
Kebijakan satu peta (KSP) yang diawali sejak tahun 2010 dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan peta tutupan lahan yang dimiliki oleh kementerian/lembaga (K/L) dikarenakan dapat memunculkan konflik agraria akibat adanya tumpang tindih pemanfaatan lahan. Perbedaan referensi dalam penyusunan IGT menjadi penyebab maraknya perbedaan Informasi Geospasial. Untuk itu tumpang tindih tata batas lahan kerap terjadi antar Kementerian/Lembaga dan Pemda yang membuat peta tematik (IGT) mendesak untuk ditetapkan (Menteri LHK, 2014). Peta tematik dimiliki oleh setiap sektor, terutama sebagai acuan dalam hal perijinan (Down to Earth, 2012) karenanya implementasi KSP bukan hal yang mudah sebab otomatis akan menggugurkan setiap peta tematik yang dimiliki oleh masing2 K/L (Darmin Nasution, 2018).