Yayasan Sarana Wana Jaya

Webinar: Mengurangi Ketergantungan BBN Sawit dengan Mempercepat Pembangunan Hutan Tanaman Energi

Transisi energi merupakan salah satu isu pokok bahasan negara-negara G-20 dalam sidang B-20 bulan Oktober 2022 yang akan datang di Bali. Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, telah merintis upaya mengurangi penggunaan energi fosil melalui program bauran energi nasional, meskipun saat ini baru tercapai sekitar 11 % dari target 23 % pada tahun 2025.
Dengan timbulnya masalah kenaikan harga minyak goreng di pasar nasional telah menimbulkan masalah sosial dan ekonomi yang pelik dan hingga kini belum sepenuhnya teratasi. Belum terkendalinya harga minyak goreng di pasaran itu karena : a/. meningkatnya penggunaan CPO untuk biofuel; dan b/. adanya kebijakan 2 (dua) harga yaitu pengenaan tarif pajak ekspor bagi ekportir CPO keluar negeri dan pembebasan pajak jika CPO dikirim ke pabrik biodiesel di dalam negeri. (Basri, F., Kompas.com, 7 April 2022);
Penggunaan CPO untuk biofuel yang meningkat, disebabkan perhatian pemerintah yang cukup besar kepada perusahaan/industri CPO melalui pemberian insentif biodiesel (dana ekspor sawit) dari pengusaha kepada pengusaha melalui BPDP Sawit. Meskipun berdasarkan Pasal 93 (4) UU No. 36 tahun 2014 tentang Perkebunan, dinyatakan bahwa penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan hanya diperuntukkan SDM, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan dan/atau sarana dan prasarana perkebunan, tidak tercantum adanya alokasi untuk pengembangan biofuel.

Disamping itu, kenaikan harga minyak goreng di pasaran juga disebabkan berkurangnya pasok bahan baku non CPO yang berasal dari negara-negara Eropa akibat adanya perang antara Rusia dengan Ukraina.
Sehubungan dengan itu kiranya perlu lebih serius untuk dipikirkan, sudah tiba saatnya untuk mengurangi ketergantungan pada BBN Sawit dengan pertimbangan:
1. Pengembangan BBN nasional yang didominasi oleh satu komoditas feedstock, (yaitu sawit) dapat berdampak mengancam ketersediaan lahan terutama hutan dan gambut (Nadia Hadad, 2021);
2. Penargetan bauran energi (energy mix) 30 % tahun 2025 sejak Januari 2020, untuk menurunkan impor bahan bakar fosil dan mengurangi emisi GRK, telah mendorong permintaan terhadap biodiesel dan tentu saja sawit. Program ini disinyalir banyak pihak berpotensi akan menstimulir meningkatnya deforestasi yang justru berakibat meningkatkan emisi GRK, menghilangkan keanekaragaman hayati, serta mengakibatkan konflik agraria (Theconversation.com, 2020);

Disisi lain, perlu terus diakselerasi pengembangan hutan tanaman energi (HTE) di Indonesia yang selama ini dinilai belum bangkit, dengan alasan :
1. Indonesia termasuk negara yang diharapkan secara masif melakukan dekarbonisasi universal, terencana, terukur dalam suatu langkah yang nyata. Sektor energi dan sektor kehutanan/penggunaan lahan merupakan dua sektor utama dalam pengurangan emisi CO2 sebagai langkah strategis transisi energi nasional.
2. Masa depan energi biomasa Indonesia antara lain adalah berupa pellet kayu, serpih kayu dan serbuk gergajian. Terdapat 34 perusahaan anggota APHI berminat investasi dalam penerapan energi biomasa melalui program HTE, 10 perusahaan diantaranya sudah memasukkan HTE dalam RKU nya (APHI, 2020).

 

Selengkapnya klik link berikut

Exit mobile version