Pengembangan energi terbarukan berbasis biomasa hutan untuk mendukung ketahanan energi nasional
Development of forest biomass-based renewable energy to support national energy security
Internasional Energy Agency (IEA) mendefinisikan ketahanan energi sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau. Ukuran yang digunakan untuk menilai suatu negara dikatakan memiliki ketahanan energi apabila memiliki pasokan energi untuk 90 hari kebutuhan impor setara minyak. Ketahanan energi merupakan komponen penting dalam produksi barang dan jasa, gangguan atas ketersediaan pasokan energi berimbas pada menurunnya produktivitas ekonomi suatu wilayah, dan pada tingkat Nasional dapat membuat pertumbuhan ekonomi tidak sesuai target.
Mencermati kondisi perkembangan energi dewasa ini, sesungguhnya Indonesia telah diambang krisis energi, karena berstatus net-importer minyak dan berpotensi menjadi net-importer gas, yang semakin membebani neraca perdagangan dan APBN . Kondisi ini tentu saja menjadi pertimbangan penting untuk mencari sumber energi yang lain, khususnya yang potensinya
melimpah di dalam negeri. Selain itu Indonesia bukan lagi negara tujuan eksplorasi BBM fosil karena semakin terbatasnya potensi yang ada di lapangan, sehingga resiko kegagalannya cukup tinggi. Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih tinggi, sedangkan penyediaan energi tersebut didalam negeri tidak mengimbangi, dan dipihak lain pemanfaatan energi non fosil termasuk energi terbarukan masih sangat rendah. Disisi lain isu emisi dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari energi fosil menjadi hal serius yang perlu dicari pemecahannya.
Berdasarkan kajian Energy Trilemma Index oleh World Energy Council (WEC), penilaian ketahanan energi menggunakan 3 (tiga) variabel, yaitu keamanan energi, equitas energy (akesibiltas dan keterjangkauan), dan kelestarian lingkungan. Berdasarkan penilaian tersebut, peringkat Indonesia dari 125-130 negara yang dianalisis, posisinya fluktuatif dan belum
menggembirakan, yaitu pada urutan 73 (tahun 2013), 69 (tahun 2014), 65 (tahun 2015), 75 (tahun 2017), 71 (tahun 2018), 69 (tahun 2019) dan 56 (tahun 2020). Perlu upaya yang serius untuk memperbaiki tingkat ketahanan energi Nasional, khususnya dengan penerapan sumber energi alternatif non fosil. Energi Baru Terbarukan (EBT) yang potensinya melimpah di Indonesia, merupakan pilihan yang tepat sebagai solusi permasalahan ini. Berdasarkan
data Kementerian ESDM, potensi EBT di Indonesia diantaranya adalah Mini/Micro Hydro (450 MW), Biomasa (50 GW), Energi Surya (4,80 kWh/m2/hari), Energi Angin 3-6 m/det dan Energi Nuklir 3 GW.
Penerapan EBT selain sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan energi Nasional, juga merupakan pelaksanaan atas amanat 3 (tiga) UndangUndang sekaligus, yaitu:
1. UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, yang selanjutnya diturunkan dalam PP.79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang memerintahkan pemenuhan target bauran energi Nasional sebesar 23% pada Tahun 2025. Hingga akhir 2020 bauran yang tercapai baru sekitar 11-12%.
2. Undang-Undang No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, sekaligus komitmen Indonesia dalam NDCs yang menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030 BAU.
3. Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) tentang kemudahan investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Salah satu kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk percepatan pelaksanaan ketiga Undang-Undang di atas adalah program cofiring secara bertahap pada 52 PLTU batubara yang dimiliki PLN. Cofiring merupakan proses penambahan biomasa sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam boiler batubara tanpa melakukan modifikasi yang signifikan. Pilihan
pelaksanaan cofiring biomasa pada PLTU batubara, terutama karena meningkatkan porsi bauran EBT dalam total bauran energi nasional dengan cara yang relatif cepat, mudah, dan murah tanpa harus membangun pembangkit baru.
Sumber feedstock biomasa yang potensial bersumber dari sampah organik, limbah organik, dan Hutan Tanaman Energi (HTE). HTE memiliki keuntungan karena memenuhi syarat sustainabilitas bahan baku dibandingkan dua sumber sebelumnya, dan apabila diusahakan secara serius, merupakan sumber paling potensial untuk memenuhi kebutuhan cofiring PLN yang mencapai 8-9 juta ton biomasa per tahun.
Kendala yang perlu dipecahkan terkait dengan percepatan target bauran energi melalui program cofiring (mengerucut pada biomass dalam bentuk woodchips) adalah belum tercapainya harga keekonomian antara produsen (sektor hulu) dan konsumen (PLTU/PLN). Diperlukan dukungan kebijakan Pemerintah untuk penciptaan iklim bisnis yang menarik bagi kedua belah pihak. Opsi-opsi insentif fiskal (keringanan PBB, PSDH, DR) dan non fiskal untuk menurunkan biaya produksi perlu dirumuskan dalam kebijakan yang sedang disusun. Disisi lain, dengan melihat kondisi Pandemi saat ini yang menjadikan Pemerintah berat mengambil kebijakan terkait keringanan fiskal, ada peluang pengalih bebanan dari PLN ke pemasok batubara dalam hal cofiring, dengan kewajiban mencampur batubaranya dengan biomasa sesuai dengan persentase yang ditentukan. Yang jelas, cofiring pada PLTU adalah amanat 3 (tiga) Undang-Undang yang harus dikerjakan bersama dengan sinergi yang kuat dari semua pihak yang terlibat.
Selengkapnya klik link berikut.