Indonesia dengan luas hutan tropis 125 juta Ha (sekitar 65 % dari luas daratan) diperkirakan dapat menyerap sebesar 25 Miliar ton karbon. Bersamaan dengan itu Indonesia juga mempunyai target pengurangan emisi karbon. Sebagaimana dimaklumi strategi Kementerian LHK dalam Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Zink 2030 telah menargetkan capaian lebih banyak emisi karbon yang diserap daripada yang dilepaskan pada tahun 2030. 

Sedangkan dalam dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) dinyatakan bahwa puncak emisi terjadi pada tahun 2030, dengan kata lain pada tahun tersebut tidak boleh menambah jumlah emisi lagi melainkan harus diturunkan. Estimasinya emisi puncak pada tahun 2030 adalah sebesar 1,24 milyar ton CO2e.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meramalkan bahwa potensi pasar karbon dan perdagangan karbon di Indonesia bernilai USD 565 Milyar atau Rp. 8.475 Triliun. Dengan potensi pasar karbon yang cukup besar ini, namun belum tersedianya infrastruktur pasar karbon di dalam negeri menimbulkan resiko perebutan pasar karbon di negara lainnya. Hal ini tentu sangat disayangkan jika potensi pasar karbon tersebut akhirnya lari ke luar negeri. Realita yang ada
selama ini, beberapa perusahaan di Indonesia sudah melakukan perdagangan karbon di bursa luar negeri. Berkenaan dengan itu diperlukan sinergi antar otoritas terkait guna menyiapkan regulasi, mekanisme hingga infrastruktur perdagangan yang dapat mendukung kondusifitas pasar karbon di Indonesia.

Baru-baru ini telah disahkan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) oleh DPR RI. Dalam UU ini telah diinisiasi pembentukan pasar karbon yang sejalan dengan upaya mencapai target pembangunan ekonomi berkelanjutan. Dalam UU PPSK tersebut dinyatakan bahwa perdagangan karbon harus dilakukan dengan mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon dan/atau dengan perdagangan langsung (pasal-26). Adapun bursa karbon tersebut merupakan sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon dan status kepemilikan unit karbon. Pengaturannya akan berada dibawah OJK.

Dua hal penting yang perlu perhatian serius yaitu : (1). Dengan tingginya potensi nilai ekonomi perdagangan karbon yang dimiliki Indonesia, pemerintah perlu mengoptimalkan atau merebut pasar karbon yang diawali dengan cara mendaftarkan seluruh perdagangan karbon pada Sistem Registri Nasional (srn.menlhk.go.id), baik yang tidak dijual maupun yang dijual di dalam negeri dan di luar negeri; (2). Urgensi mengatasi persoalan dominasi pasar perdagangan karbon global oleh negara-negara maju, selain itu juga adanya ketimpangan harga jual karbon antara negara maju dan negara sedang berkembang.

 

Selengkapnya klik link berikut.

Webinar: Merebut Pasar Karbon Didalam Negeri untuk Optimalisasi Pencapaian NDC 2030

Post navigation


Leave a Reply