Penulis: Bambang Edy P. (Yayasan Sarana Wanajaya)

Setelah media diramaikan dengan berita pemilihan umum yang hingar-bingar, akhir-akhir ini media dirampaikan pemberitaan tentang harga beras naik dan antrean pembelian beras murah yang dikucurkan Pemerintah diwarnai dengan berdesak-desakan masyarakat yang sangat memerlukan beras murah. Berdasarkan pernyataan Pemerintah kenaikan harga beras dipicu ketidak seimbangan antara pasokan dengan kebutuhan yang disebabkan difisit produksi karena penundaan masa tanam terkait El Nino. Harga beras naik disebabkan adanya perubahan iklim yang membuat beberapa wilayah mengalami gagal panen, hal ini hampir terjadi seluruh negara di dunia.

Perubahan iklim disebabkan langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia yang mengubah komposisi material atmosfir bumi antara lain korbon dioksida (CO2), metana, nitrogen. Dengan meningkatnya emisi dari CO2 dan gas-gas lainnya akibat pemakaian bahan bakar fosil untuk transportasi dan industri, degradasi serta deforestasi hutan dan limbah menimbulkan efek gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim. Perubahan iklim mempengaruhi perubahan alam dan kehidupan manusia seperti gagal panen, cuaca ekstrem, banjir, kebakaran hutan dan meningkatnya wabah penyakit serta memiliki dampak yang destruktif terhadap berbagai sektor, salah satunya stabilitas ekonomi, dengan kenaikan suhu bumi sekitar 2 derajat Celcius sampai tahun 2050 akan berdampak penurunan PDB di negara-negara Asean sekitar 17%.

 

Para peneliti dari Postdam Institute for Climate Impact Research (PIK) dan Bank Sentral Eropa menemukan bahwa kenaikan suhu akibat perubahan iklim diperkirakan akan menaikkan harga pangan di seluruh dunia antara 1,49 sampai 1,79 persen setiap tahun sampai tahun 2035 dan berdampak kepada kenaikan inflasi sebesar 0,76 sampai 0,91 persen berdasarkan skenario terbaik dan terburuk. Indonesia termasuk negara yang cukup rentan terhadap perubahan iklim, meskipun peningkatan suhu lebih rendah dari rata-rata global, diproyeksikan sekitar 0,8 sampai 1,4 derajat Celcius dibandingkan rata-rata global 1,5 sampai 2 derajat Celcius sampai pada tahun 2050, hal ini disebabkan pertimbangan faktor politik, geografi dan sosial. Indonesia memiliki resiko perubahan iklim dengan tingkat eksposur tinggi untuk semua tipe banjir dan gelombang panas ekstrem yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut, gagal panen yang dapat mengancam ketahanan pangan, ketimpangan dan kemiskinan.

Dampak perubahan iklim hampir terjadi seluruh negara di dunia termasuk negara-negara produsen beras seperti Vietnam, Thailand dan India yang mengalami penurunan produksi juga, tetapi masih tetap dapat melakukan ekspor beras ke Indonesia. Hal ini disebabkan negara Thailand masih mengalami surplus antara konsumsi beras dengan produksinya, negara Vietnam produktivitasnya lebih tinggi dibanding Indonesia sehingga mengalami surplus antara konsumsi dengan produksi beras yang sisanya masih dapat diekspor. Sedangkan India walaupun penduduknya besar konsumsi pangannya juga besar, tetapi negara tersebut melakukan diversifikasi pangan yang tidak tergantung beras saja yaitu gandum, biji-bijian dan pangan lokal, karena itu surplus konsumsi beras masih bisa di ekspor.

Indonesia sebenarnya termasuk produsen beras terbesar ke empat di dunia, tetapi konsumsi berasnya sangat tinggi sehingga habis dimakan sendiri dan cenderung kurang apabila ada gangguan produksinya. Diversifikasi pangan sudah dilalukan masyarakat Indonesia sejak zaman dulu dengan memanfaatkan sumber pangan lokal sebagai makanan pokok selain beras seperti umbi-umbian, ketela, jagung, sagu dan lainnya, tetapi dalam perkembangannya sumber pangan lokal tersebut semakin ditinggalkan karena kebijakan beras-isasi masa lalu yang menyeragamkan pangan. Oleh karena itu, program diversifikasi pangan yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar memilih makanan pokok selain beras dirasakan sangat sulit karena diperlukan perubahan kebiasaan masyarakat yang sudah mengakar, bahkan berkembang stigma di masyarakat bahwa apabila makan pokoknya bukan beras dianggap miskin dan belum dianggap makan apabila belum makan nasi dari beras.

 

Baca lebih lanjut:

Melepas Ketergantungan dari Beras

Post navigation


Leave a Reply