Kebijakan multiusaha kehutanan bertujuan mengoptimalisasikan pemanfaatan hutan, guna meningkatkan nilai ekonomi riil hutan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung, melalui satu perizinan untuk beberapa usaha pemanfaatan hutan. Dengan kebijakan tersebut akan terjadi perubahan paradigma dalam pemanfaatan hutan yang memerlukan transformasi kultur usaha dan perubahan layanan birokrasi dalam bentuk perbaikan iklim usaha.

Multiusaha Kehutanan, sebagai perubahan konfigurasi bisnis kehutanan baru yang diharapkan sebagai perbaikan tata kelola hutan, pada awalnya disambut dengan gegap gempita oleh berbagai pihak. Namun, saat ini rupanya masih sepi peminat pebisnis usaha kehutanan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang implementasi kebijakan tersebut: Quo Vadis Multiusaha Kehutanan?

Berbagai harapan disematkan pada kebijakan tersebut antara lain menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi dan membuka kesempatan kerja, dengan berbagai model bisnis kehutanan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan menguntungkan dibanding hanya dari usaha kayu. Di samping itu, kebijakan tersebut diharapkan sebagai bantalan perekonomian pada kelompok masyarakat miskin, penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan hutan dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Multiusaha Kehutanan dengan menggunakan model-model usaha yang menggunakan teknik silvikultur tertentu, misalnya agroforestry dan jasa lingkungan, sangat berpengaruh terhadap pencegahan kenaikan emisi karbon, yang membantu pencapaian Folu Net Sink tahun 2030.

Pakar-pakar kehutanan telah banyak menyampaikan teori dan pendapat tentang multiusaha kehutanan. Hampir semuanya mendukung kebijakan tersebut, yang merupakan perbaikan tata kelola hutan yang lebih baik. Tetapi mengapa dalam implementasinya tidak sebaik dari yang diharapkan?

Mengubah kebijakan pemanfaatan hutan memang tidak selalu mudah dalam implementasinya. Banyak aspek yang harus diperhatikan, tidak hanya aspek teknis saja. Selain itu, pemanfaatan hutan perlu memastikan kondisi hutan berada di antara batas-batas toleransi yang diperlukan untuk kehidupan manusia dan sumber daya alam berada dalam rentang populasi aman, serta secara paralel meningkatkan kemampuan hutan untuk memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional.

Percepatan implementasi multiusaha kehutanan merupakan pekerjaan rumah yang seharusnya diselesaikan oleh pemerintah yang akan datang. Dan itu jadi tugas bagi kementerian yang mengurusi kehutanan agar tercapai seperti yang harapkan dan tidak menjadi policy stuck atau kemandekan dalam implementasi kebijakan.

Apa yang perlu dilakukan?

Sementara ini, sampai April 2024, tercatat sebanyak 75 unit perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) yang telah disetujui dan 36 unit dalam proses persetujuan proposal multiusaha kehutanan, namun belum diketahui berapa yang telah mengimplementasikan. Pertanyaannya, apakah PBPH yang telah mengajukan proposal tersebut telah mampu menangkap peluang investasi multiusaha kehutanan, sementara yang lain belum mampu, atau sebagian besar menunggu dengan waktu yang tidak tentu. Melihat situasi seperti ini, lingkungan kebijakan seperti apa yang harus dipersiapkan?

Dari perspektif kebijakan jangka panjang, situasi tersebut memerlukan kebijakan yang kondusif dalam lingkup perangkat infrastruktur primer, sekunder dan pasar di samping secara teknis mengarahkan PBPH dengan usaha pemanfaatan hutan jangka pendek. Langkah awal yang diperlukan adalah penataan ruang, merumuskan rezim silvikultur agroforestry dan penyusunan rencana usaha pemanfaatan hutan. Pendekatan teknis kehutanan sebenarnya cukup sederhana, tetapi secara bisnis membutuhkan pengelolaan yang tidak sederhana.

Model bisnis PBPH akan berubah, sehingga memerlukan peninjauan ulang semua asumsi-asumsi yang selama ini dipergunakan, antara lain asumsi kondisi infrastruktur ekonomi, tuntutan kebutuhan produk dan jasa kehutanan serta pemasok maupun rantai pasok bahan baku. Dari sisi PBPH, dalam rangka penyiapan manajemen transformasi perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor pendorong multiusaha pemanfaatan hutan, yaitu: 1) nilai atau visi perusahaan; 2) keahlian yang dimiliki; 3) survey pasar dan pemasaran produk dan jasa; 4) penyusunan peta produk dan jasa; 5) kebutuhan investasi dan sumber daya finansial; 6) skema pembiayaan; 7) penjajagan daya tarik pendapatan dan proyeksi arus kas perusahaan. Di samping itu, dilakukan persiapan secara teknis dengan melakukan identifikasi sumber daya fisik melalui inventarisasi hutan dan pemetaan areal pemanfaatan hutan.

Kebijakan multiusaha kehutanan tidak lepas dari kekuatan pasar, kekuatan industri dan kekuatan makro ekonomi yang berimplikasi terhadap ragam kebutuhan keahlian tenaga kerja, problematik yang perlu dipecahkan secara sains dan teknologi kehutanan untuk menjawab perubahan perlakukan terhadap pemanfaatan sumber daya hutan. Perubahan model bisnis meliputi model kemitraan, alokasi sumber daya, produk dan peta produk, bagaimana cara memproduksi, segmen pasar yang dibidik, pembiayaan dan cara memperoleh pendapatan, yang kesemuanya merupakan transformasi manajemen pemegang PBPH dalam siklus kehidupan perusahaan.

Manajemen transformasi sebagai “kelahiran kembali” perusahaan — yang sebelumnya usaha pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi PBPH multiusaha kehutanan — menuntut anggota perusahaan bersikap lebih inovatif dengan pemikiran baru terhadap produk dan jasa yang akan dihasilkan, cara kerja yang berbeda dari sebelumnya. Pada fase ini, diperlukan transisi dari sebelumnya yang birokratis-administratif menuju model kolaboratif yang memiliki prinsip ketergantungan.

Model kolaboratif lebih sesuai untuk proses bisnis dan aktualisasi peran sains dan teknologi kehutanan. Hal tersebut disebabkan investasi dan inovasi akan selalu mengandung risiko sehingga diperlukan pengelolaan risiko bisnis secara tepat. Implementasi multiusaha kehutanan memerlukan dukungan kesiapan perangkat kebijakan operasional, sains dan teknologi serta tanggapan positif dari pelaku usaha dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan hutan guna meningkatkan nilai riil ekonomi hutan.

Kondisi saat ini

Peningkatan nilai ekonomi hutan dengan mengandalkan eksplotasi kayu dari hutan alam sudah sangat kecil. Produktivitas hutan alam mengalami penurunan yang sangat drastis, yang awalnya bisa mencapai 150 m3 kayu per hektare (ha) saat ini untuk mendapatkan kayu 30 m3 saja sudah kecil peluangnya. Apa penyebabnya? Ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan perlu dilakukan evaluasi tentang sistem pemanfaatan hasil hutan kayu terhadap hutan alam. Apakah sistem silvikultur tebang pilih dan tanam Indonesia (TPTI) dalam pengelolaan hutan alam sudah dilakukan dengan benar dalam praktiknya?

Prof. Prijanto Pamoengkas (2022), Guru Besar IPB University dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan berpendapat, sistem tebang pilih dengan limit diameter akan berhasil jika distribusi ukuran pohon dan permudaan cukup banyak dan penebangan dilaksanakan dengan pengawasan yang sangat ketat. Sistem silvikultur dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang terdiri atas regenerasi (permudaan), pemeliharaan, dan pemungutan hasil yang dilaksanakan secara sistematis pada tegakan sepanjang siklus hidupnya dan menjadi komponen kegiatan yang harus ada dalam penerapan silvikultur. Tebang pilih dapat menjurus menjadi penggundulan hutan saja apabila ketiga komponen silvikultur tersebut tidak terapkan secara utuh.

Selain itu, melakukan investasi multiusaha kehutanan saat ini tidak mudah. Masih banyak kendala dan tantangan yang dihadapi pengusaha. Perekonomian secara global dan nasional masih belum stabil dengan adanya pandemi COVID-19 yang diikuti krisis-krisis yang lain. Pengusaha kayu pengalami penurunan usaha karena biaya produksi lebih besar dari harga kayu, sehingga untuk melakukan investasi akan membebani arus modal keuangan. Pemerintah secara operasional belum banyak merespon masalah teknis dan bisnis yang dihadapi pengusaha hutan dalam rangka memasuki multiusaha kehutanan. Kondisi pendukung ekosistem multiusaha kehutanan belum terbentuk, yang terdiri subsistem produksi, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem pembiayaan.

Multiusaha Kehutanan belum disusun arahan prioritas pengembangan, model bisnisnya tidak dapat disamakan setiap wilayah tergantung dari kondisi iklim usaha, dengan indikator penting yang mempengaruhi yaitu: investasi, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, fasilitas dan layanan yang tersedia, dukungan pemerintah daerah dan potensi sumber daya alam. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu terutama yang berasal hutan alam sudah sangat menurun. Sebenarnya beberapa pengusaha hutan tanaman yang terkait dengan industri pulp dan kertas menunjukkan peningkatan, walaupun mendapat hambatan untuk memerluas tanamannya karena banyak konflik yang terjadi pada areal usahanya. Selain itu, pengembangan usaha hutan tanaman juga menghadapi tekanan dari isu-isu lingkungan dan persaingan hasil produk berupa pulp dan kertas yang tidak adil dari negara-negara maju dengan tuduhan dumping dan sebagainya.

Banyaknya okupasi dari areal-areal PBPH yang sudah tidak aktif berproduksi dan meninggalkan arealnya akan menambah kerumitan dalam rangka pengembangan usaha ke depan. Pemegang izin hanya memegang legalitasnya saja sedangkan kondisi tapak tidak diketahui. Kondisi tutupan hutan mungkin dapat dideteksi misalnya melalui citra landsat, tetapi okupasi areal lebih sulit dideteksi di tingkat tapak. Hal ini seharusnya dilakukan evaluasi terhadap areal PBPH oleh pemerintah sebelum melakukan arahan prioritas multiusaha kehutanan, karena kondisi lokasi sangat penting dalam pengembangan usaha untuk menghindari risiko yang lebih besar.

Implementasi Kebijakan

Berbagai forum pertemuan, baik dalam negeri maupun luar negeri, di antaranya Forestry Forum 2024 yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bersama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) — yang melibatkan para pemimpin industri, pembuat kebijakan dan investor — bertujuan mengeksplorasi solusi inovatif dan tantangan dari sudut hukum, investasi dan dampak sosial dalam implementasi multiusaha kehutanan. Selain itu, muncul beberapa inisiatif untuk merencanakan membuat pilot project multiusaha kehutanan dalam rangka pembelajaran tingkat implementasi yang diharapkan menjadi model pengelolaan hutan yang bertransformasi menjadi multiusaha kehutanan secara menyeluruh. Menelisik situasi seperti ini, memperlihatkan multiusaha kehutanan masih dalam tataran wacana, uji coba, pencarian model-model pengelolaan hutan dan bisnis yang masih memerlukan waktu.

Kementerian LHK dalam rangka implementasi multiusaha kehutanan menerbitkan Manual Pelaksanaan Multiusaha Kehutanan, yang di dalamnya menyebutkan adanya Tipologi Multiusaha Kehutanan Diversifikasi Usaha untuk skala usaha besar, tetapi dalam pola tanam disebut dalam bentuk jalur atau blok dengan luas hanya satu hektare, sehingga mempersulit bagi usaha besar untuk melakukan efisiensi. Seharusnya untuk usaha besar dimungkinkan untuk menggunakan pola mosaik dengan luas yang lebih besar, tergantung topografinya. Padahal, dalam kebijakan multiusaha kehutanan selalu disebutkan bahwa prinsip yang dipergunakan adalah forest landscape management. Seharusnya batasan luas sesuai jenis usaha pemanfaatan hutan berdasarkan bentang alam tidak dalam bentuk jalur atau blok dalam komparten yang luasnya kecil-kecil.

Hal ini menunjukkan belum adanya sinkronisasi antara bisnis dengan teknis atau kepentingan dunia usaha dengan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebenarnya masih banyak hal yang perlu disinkronkan antara regulasi pemerintah dengan dunia usaha untuk mendukung percepatan implementasi multiusaha kehutanan. Banyak standarisasi kegiatan multiusaha kehutanan yang belum diatur, misalnya standarisasi aksi mitigasi dalam perubahan iklim yang akan menjadi basis penyiapan metodologi pemanfaatan jasa lingkungan dalam perdagangan karbon untuk menghitung nilai ekonomi karbon sangat diperlukan oleh PBPH guna mendapatkan karbon kredit yang dapat diperdagangkan.

Sinkronisasi regulasi pemerintah dengan kegiatan usaha selayaknya dilakukan konsultasi-konsultasi usaha antara pihak yang berkepentingan secara periodik untuk menghasilkan solusi yang konkret. Sudah saatnya sektor kehutanan berbenah dengan mengubah cara pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan secara parsial, terfokus pada pemanfaatan hutan kayu berasal dari hutan alam yang menyebabkan penurunan kualitas sumber daya hutan. Kondisi ini harus segera dibenahi melalui pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang terukur, inklusif melalui perencanaan ditingkat unit manajemen, bersifat fleksibel dalam multiusaha kehutanan namun harus tetap memperhatikan koridor teknis kehutanan.

Artinya, apapun kegiatan atau pola pemanfaatan yang dilakukan dalam multiusaha kehutanan secara biofisik tapaknya harus tetap berupa vegetasi hutan, setidaknya masih berada di atas batas minimal tutupan hutan. Secara konseptual, multiusaha kehutanan harus memenuhi prinsip keberlanjutan (sustainability) dari fungsi pokok kawasan hutan, eksistensi biofisik hutan, serta rasionalitas sosial ekonomi pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Sedang prinsip keberlanjutan fungsi pokok kawasan hutan harus memperhatikan dua kondisi dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan sumber daya hutan, yaitu reversibility (limits) dan adaptability (tolerance).

Akhirnya, tulisan ini bertujuan untuk memberikan inspirasi kepada berbagai pihak yang berkepentingan dan saran-masukan kepada pemerintahan baru di bawah pimpinan Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih, dalam rangka mempercepat implementasi multiusaha kehutanan.

Quo Vadis Multiusaha Kehutanan?

Post navigation


Leave a Reply