Keniscayaan itu memang tidak lepas dari komitmen internasional Indonesia sebagai negara penandatangan Perjanjian Paris 2015 untuk menurunkan emisi GRK dari lima sektor, yakni sektor energi, limbah, industri, pertanian, dan kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU). “Apalagi, dari lima sektor itu, FOLU memiliki porsi dan tugas yang sangat besar atau terbesar. Sekitar 60% penurunan emisi GRK itu bersumber dari FOLU. Artinya, keberhasilan Indonesia menurunkan emisi GRK sangat tergantung dari keberhasilan sektor FOLU ini dalam menurunkan emisi GRK-nya,” papar Ruandha.
Menurut mantan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini, sektor kehutanan punya tugas besar dalam menurunkan GRK Indonesia. Pasalnya, dari lima sektor yang ada, empat lainnya adalah sumber emisi semua. Sementara sektor FOLU, selain sebagai sumber emisi, dia satu-satunya sektor yang juga sumber serapan GRK.
Dengan kata lain, sektor FOLU adalah penyeimbang dari empat sektor lainnya yang jadi sumber emisi. Jika target net sink sektor FOLU tercapai pada 2030, maka kondisi ini sangat bermanfaat untuk menyeimbangkan emisi dari sektor energi, limbah, industri dan pertanian. Dengan kata lain, beban sektor FOLU untuk menyerap emisi memang sangat signifikan dan penting.
“Kondisi yang diharapkan adalah serapan karbon pada tahun 2030 paling tidak sama atau lebih besar dibandingkan tingkat emisi yang dihasilkan dari sektor FOLU dan sektor lainnya. Inilah yang dinamakan kondisi net sink. Diharapkan sektor FOLU pada tahun 2030 bisa mendorong sektor-sektor lainnya atau menyerap emisi sektor-sektor lainnya, sehingga tahun 2060 Indonesia mencapai net zero emission (NZE),” ujar Ruandha, yang saat ini juga menjabat sebagai Analis Kebijakan Ahli Utama bidang Planologi Dan Tata Lingkungan KLHK. Pentingnya pengurusan hutan juga ditegaskan oleh Dr. Mahawan Karuniasa. Pakar ini mengatakan, sumber emisi terbesar Indonesia adalah dari kebakaran gambut, dekomposisi gambut dan deforestasi. Penanganan ketiga masalah itu berarti harus mengurus kehutanan.
“Kita tahu mayoritas ekosistem gambut itu ada di kawasan hutan. Oleh karena itu, pengurusan hutan perlu dipertahankan. Tidak ada pilihan lain, demi tercapainya net sink 2030,” tegas Mahawan.
Bahkan, Mahawan juga mengaitkan masalah ini dengan Visi Indonesia Emas 2045 yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yakni mewujudkan negara berdaulat, maju dan berkelanjutan.
“Mustahil untuk mencapai Indonesia Emas 2045 tanpa agenda NZE 2060, karena ini merupakan salah satu indikator yang kita gunakan dalam RPJPN Indonesia. Sesuai target NZE 2060, maka puncak emisi terjadi pada tahun 2030 dan setelah itu menurun. Pada saat yang sama, tahun 2030 tercapai target net sink FOLU. Dengan tercapainya sasaran net sink FOLU, maka kita bisa menuju NZE. Dengan kata lain, net sink FOLU adalah syarat bagi tercapainya NZE Indonesia,” papar dosen tetap studi ilmu lingkungan Universitas Indonesia (UI) ini.
Tergantung Sektor FOLU
FOLU Net Sink memang konsekuensi dari komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam memerangi perubahan iklim global. Sesuai dengan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC), maka sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya berkontribusi 24% dari 41% (60% lebih) target penurunan emisi seluruh sektor dalam skenario counter measures 2, atau 17% dari 29% dalam skenario counter measures 1 pengendalian emisi GRK.
NDC ini dibentuk sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan mandat UU No. 16 Th.2016 tentang Ratifikasi Paris Agreement to UNFCCC. Indonesia sudah meng-update NDC tahun 2021 dan memasukkannya ke UNFCCC, yang disebut LTS-LCCR (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience) 2050. Setahun berikutnya, Indonesia meningkatkan ambisi penurunan emisi dengan memasukkan enhanced NDC, yang kemudian dilengkapi dengan rencana operasional (RO) FOLU Net Sink (SK Menteri LHK No. 168 Th.2022).
“Tahun ini kita harapkan bisa submit second NDC kita dan sebelum COP-29 di Baku, Azerbaijan kita bisa menyampaikan second NDC kita,” ungkap Ruandha.
Keberhasilan Indonesia menurunkan emisi GRK memang sangat tergantung dari keberhasilan capaian target sektor FOLU. Nah, dari tiga sumber emisi utama di sektor FOLU, kebakaran gambut menjadi perhatian utama pemerintah, selain dekomposisi gambut dan deforestasi. Sementara sumber serapan GRK didapat dari hutan tanaman, aforestasi/reforestasi, regenerasi hutan sekunder dan tanaman tahunan.
Menurut Ruandha, sebetulnya Indonesia lebih mudah mencapai target NDC jika bisa mengendalikan kebakaran hutan, terutama di lahan gambut. “Kita bisa lebih mudah mencapai penurunan emisi. Pasalnya, kebakaran gambut dampak emisinya sangat luar biasa terhadap peningkatan emisi GRK Indonesia,” katanya.
Ilustrasinya, kata Ruandha, kebakaran di gambut bisa memicu munculnya api 300 meter, 500 meter bahkan 1 km dari sumber api utama. Hal itu bisa terjadi karena adanya api di dalam sekam gambut. Hal itu terjadi akibat muka air gambut yang sudah turun, sehingga biomasa gambut menjadi kering. Nah, bara api di titik utama biasanya merambat di bawah biomasa gambut. “Api bisa bertahan 1 minggu, 1 bulan, bahkan 1 tahun. Ini yang membakar gambut kita dan bisa bertahan cukup lama.”
Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah menggunakan teknologi modifikasi cuaca dan hujan buatan. Hal itu demi meningkatkan tinggi muka air gambut. Dengan hujan, maka air merendam bara api di dalam gambut sehingga api tidak lagi menjalar ke mana-mana. “Jadi 100% bara api padam. Kita berhasil menurunkan kebakaran gambut 82%, bahkan yang terakhir sampai 90% lebih menurunkan hotspot-hotspot yang ada. Pemadaman ini dampaknya luar biasa dalam menurunkan emisi GRK Indonesia,” jelas Ruandha.
Hanya saja, dia mengakui operasi cuaca memang mahal. Untuk sekali operasi butuh biaya Rp2,5 miliar untuk 7-10 hari. Namun, biaya yang muncul akan jauh lebih besar jika Indonesia membiarkan hutan yang ada terbakar.
“Itu sebabnya, bagaimanapun akan tetap kita upayakan untuk meningkatkan tinggi muka air gambut, demi momotong sekam yang membara di dalam gambut. Dalam FOLU, cara ini merupakan salah satu solusi permanen, sehingga kebakaran hutan bisa turun semaksimal mungkin,” katanya.
Menurut dia, dari hitungan emisi yang ada selama ini, kebakaran gambut memberi kontribusi emisi yang sangat besar. “Jadi, berapapun mahalnya, itu yang akan kita spend untuk menghadapinya,” tegas Ruandha.
Ancaman Deforestasi
Yang jadi persoalan, selain kebakaran hutan dan gambut, besarnya emisi juga datang dari deforestasi. Ancaman itu juga yang ditanyakan oleh Wahjudi Wardojo (mantan Sekjen Kem. Kehutanan) kepada narasumber. Dia mempertanyakan apa strategi yang ditempuh untuk menghadapi “gempuran” ancaman tersebut yang dilakukan melalui revisi perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Menurut dia, banyak usulan revisi dari daerah karena 5 tahun RTRW bisa direvisi.
“Sebagai contoh Kalimantan Timur. Beberapa waktu yang lalu mengajukan revisi RTRW seluas 770.000 hektare (ha). Alhmdulilah yang disetujui KLHK hanya 86.000 ha,” katanya.
Yang jadi persoalan, dari persetujuan itu, bisa dipastikan akan ada deforestasi. “Berarti harus dihitung berapa emisi yang akan dihasilkan dan kira-kira apa yang akan kita lakukan untuk menutup emisi yang demikian besar itu,” tanyanya.
Perubahan RTRW ini diakui memang jadi tantangan serius. Ruandha membenarkan bahwa usulan revisi RTRW Provinsi Kaltim itu terjadi saat dirinya masih menjabat sebagai Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK. Dia cukup kaget karena luasnya perubahan RTRW yang diajukan.
“Luar biasa sekali. Kalau boleh sedikit bercerita, pada saat RTRWP Kaltim diajukan sekitar 700.000-an ha, pada saat yang sama Provinsi Bengkulu juga mengusulkan perubahan RTRWP,” katanya. Bisa dibayangkan luasnya pengusulan perubahan RTRWP Kaltim jika dibandingkan dengan luas Provinsi Bengkulu, yang secara wilayah hanya 1,98 juta ha.
Dia mengaku bersyukur karena Tim Terpadu hanya menyetujui di bawah 100.000 ha, atau sekitar 86.000 ha. “Ini perjuangan luar biasa bagaimana kita bisa meyakinkan ke provinsi bahwa hutan yang masih ada itu harus kita pertahankan dengan baik. Tantangannya memang luar biasa karena kompensasi apa yang bisa kita berikan kepada Pemda agar mereka bisa memelihara hutan-hutan yang masih ada,” ujarnya.
Selaku moderator, Harry Santoso juga mengakui tantangan serius terkait revisi RTRW ini. Dia mengaku menangani masalah ini selama 8 tahun saat masih aktif menjabat di Badan Planologi Kehutanan. Yang menjadi catatan dia, review dan revisi RTRW sering disalahartikan.
“Sebetulnya revisi RTRWP itu tidak boleh dilakukan sebelum review-review 5 tahunan untuk jangka waktu 20 tahun RTRWP itu terlaksana. Semestinya, dengan review 5 tahunan itu semakin mengerucutkan, untuk tujuan memantapkan struktur pemanfaatan ruang (20 tahun). Tapi sebelum sampai 20 tahun sudah direvisi. Ini yang bikin kacau,” ungkap Harry.
Menurut dia, RTRW itu bertujuan untuk mengatur fungsi ruang, bukan status ruang. Fungsi ruang itu untuk kepentingan semua. Sementara kalau bicara status itu berarti masalah kepemilikan. “Ini yang sering kali sejak dulu menjadi masalah, sehingga sering dikaburkan antara revisi dengan review,” tambahnya.
Deforestasi memang tantangan buat capaian FOLU Net Sink. Tekanan ini, menurut Mahawan, ada pada pertambahan populasi. Masyarakat butuh permukiman, butuh pangan, infrastruktur dan sebaginya. “Ini tekanan, sehingga perubahan penggunaan lahan harus ‘dikendalikan’ dengan baik agar angka deforestasi yang sudah rendah saat ini harus dikelola dengan baik,” katanya.
Dia menuturkan, tantangan pertambahan populasi dan konsumsi sering terlewatkan. Tahun 2020 penduduk Indonesia mencapai 270 juta jiwa dan tahun 2024 ini diperkirakan mencapai 280 juta jiwa. “Penduduk butuh air, pangan dan energi. Kita tahu, pendapatan naik, maka konsumsi energi naik, sampah naik, konsumsi produk barang naik. Ini semua jadi tantangan mitigasi iklim.”
Dana BPDLH Rp20 Triliun
Tantangan lain yang tak kalah serius dihadapi FOLU net sink adalah soal pembiayaan. Biaya mitigasi yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi net sink, yakni antara emisi karbon yang dilepas dan diserap sama atau karbon yang diserap lebih besar ketimbang yang dilepas, butuh biaya sangat besar.
Menurut perhitungan yang ada, biaya untuk mitigasi sampai tahun 2030 dibutuhkan sekitar Rp4.002 triliun. “Sementara anggaran biaya dari APBN (2018-2021) rata-rata hanya Rp102 triliun lebih. Jadi masih jauh dari kebutuhan. Dana dari luar APBN untuk mitigasi masih jadi tantangan,” papar Mahawan.
Menurut Ruandha, pendanaan karbon berdasarkan Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon ada tiga macam, yakni dari pasar karbon, pasar non-karbon, dan Result Based Payment REDD+. Terkait bursa karbon nasional yang sudah dibentuk tapi masih sepi, Ruandha mengakui karena masih banyak investor yang belum bisa memberikan hitung-hitungannya.
“Misalnya ada proyek. Nah, bagaimana menyusun dokumen proyek dan sebagainya, itu kita masih perlu banyak memberikan pelatihan kepada investor atau orang-orang yang akan melakukan perdagangan karbon. Ini harus kita dorong. Dan KLHK dalam hal ini harus proaktif menjemput bola,“ katanya, seraya menyebut potensi pasar karbon sebetulnya sangat besar apabila dokumen-dokumen itu sudah bisa disiapkan oleh para investor.
Sementara untuk pendanaan yang berasal dari pembayaran berbasis kinerja (RBP REDD+) sudah banyak diterima Indonesia. Dari Norwegia sudah dua kali dengan nilai 156 juta dolar AS, dari Green Climate Fund sebesar 103,8 juta dolar AS, Provinsi Kaltim sendiri dapat 110 juta dolar AS dan Jambi memperoleh 74 juta dolar AS.
Dana-dana itu, terutama yang bersifat nasional, dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Saat ini, kata Ruandha, sudah terkumpul dana sekitar Rp20 triliun yang berasal dari pendanaan internasional. “Sebagian besar pendanan ini dipakai untuk merealisasikan kegiatan-kegiatan aksi mitigasi di sektor FOLU,” paparnya.
“Target utama kita adalah bisa mencapai net sink tahun 2030 untuk sektor FOLU sebesar -140 juta ton CO2e. Dan ini diharapkan bisa mendorong Indonesia mencapai NZE tahun 2060 atau lebih cepat. Itu semua bisa tercapai dengan berpijak pada pengelolaan hutan yang lestari (SFM), selain tata kelola lingkungan dan tata kelola karbon yang baik. Jadi, eksistensi Kementerian Kehutanan memang sangat diperlukan untuk suksesnya pencapaian target FOLU Net Sink Indonesia,” pungkas Ruandha. ***