Swasembada Pangan dan Cara Malas Membidik Kawasan Hutan

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencatat terdapat potensi kawasan hutan seluas 23,2 juta hektare (ha), atau lebih besar dari perkiraan sebelumnya, yang bisa dicadangkan untuk mendukung program swasembada pangan, energi dan air yang jadi prioritas Presiden Prabowo Subianto. Saking besarnya kawasan hutan yang dicadangkan itu — hampir seluas Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara) — tidak aneh jika muncul pertanyaan dan kekhawatiran banyak orang.

Dari mana saja hutan yang dicadangkan itu diambil? Apakah tugas dan fungsi pokok (tupoksi) Kemenhut telah bergeser mengurus masalah produksi pangan? Bagaimana dengan Kementerian Pertanian? Mengapa pemerintah lebih memilih ekstensifikasi ketimbang intensifikasi untuk meningkatkan produksi pangan dan mengorbankan kawasan hutan? Bagaimana penegakan aturan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan karena tiap tahun ratusan ribu hektare lahan sawah produktif malah berubah fungsi?

Rentetan pertanyaan itu muncul dalam webinar “Keberadaan Kawasan Hutan Mendukung Program Swasembada Pangan dan Energi” yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya di Jakarta, Kamis (30/1/2025). Webinar yang dibuka Ketua Yayasan SWJ, Dr. Ir. Iman Santoso M.Sc. ini mendapat perhatian banyak pihak karena menjelaskan secara rinci pernyataan mengejutkan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni tentang pencadangan hutan seluas 20,6 juta ha untuk mendukung swasembada pangan, energi dan air pada 30 Desember 2024.

Apalagi, narasumber yang diundang adalah anggota Komisi IV DPR-RI (Fraksi Golkar) Firman Soebagjo, SE, MH serta Dirjen Planologi Kehutanan, Ade Tri Ajikusumah SE, MSi — pejabat yang bertanggung jawab dalam masalah pemanfaatan tata ruang di Kemenhut. Penjelasan rinci tentang penggunaan kawasan hutan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi memang dipaparkan Direktur Penggunaan Kawasan Hutan, Ditjen Planalogi Kehutanan, Doni Sri Putra, S.Hut, ME mengingat Dirjen Planologi Ade Tri baru sempat hadir di penghujung acara. Acara dengan moderator Ketua Puskashut Dr. Ir. Harry Santoso, IPU ini juga menghadirkan Dr. Irsyal Yasman selaku anggota Dewan Penguatan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).

“Mengapa kita dalam mengambil sebuah solusi terhadap peningkatan produksi pangan atau swasembada pangan selalu harus mengorbankan hutan yang harus kita jaga dan memiliki fungsi vital sebagai sistem pendukung kehidupan?” tanya Firman Soebagjo.

Firman mengaku dirinya mendukung penuh program swasembada pangan dan energi yang sudah jadi program prioritas pemerintah melalui Asta Cita. Apalagi, saat dirinya berkunjung ke kantor pusat FAO di Roma, Indonesia sudah diminta waspada terhadap krisis pangan dan energi karena tahun 2050 jumlah penduduk dunia akan naik menjadi 9,7 miliar jiwa. Namun, yang jadi pertanyaan, apakah program itu harus selalu mengorbankan hutan? Bahkan dia mempertanyakan kemana peran kementerian atau lembaga lain yang tugas dan fungsi pokoknya (tupoksi) justru bertanggung terhadap produksi pangan.

Itu sebabnya, wakil rakyat dari Komisi IV ini — yang mitra kerjanya antara lain Kemenhut, Kementerian Pertanian (Kementan), Bulog dan Kementerian Kelautan dan Perikanan — sampai mempertanyakan tupoksi Kemenhut karena begitu luasnya hutan yang dicadangkan untuk swasembada pangan. “Apakah tupoksi Kemenhut sudah bergeser mengurus pangan, bukan menjaga dan memelihara hutan? Harusnya (produksi pangan) itu tupoksi kementerian lain, dalam hal ini Kementan,” tandasnya.

Pertanyaan panas ini juga mendapat perhatian dari Boen M. Purnama. Menurut Dewan Pembina Yayasan SWJ ini, mengerjakan sesuatu yang baik juga harus sesuai dengan tugas dan fungsi yang ada. Jika sampai menyalahi tupoksi, biasanya ada konsekuensi hukum. “Ini penting juga untuk jadi perhatian, khususnya oleh Pak Dirjen Planologi,” katanya.

Cara Malas

Firman juga menggugat pilihan ekstensifikasi yang dikedepankan pemerintah, bukan intensifikasi. Bahkan dia menyebut ekstensifikasi yang memakan korban kawasan hutan bukanlah solusi, “Tapi cara malas yang pintas,” tandasnya.

Intensifikasi, katanya, justru lebih produktif ketimbang ekstensifikasi dalam rangka swasembada. Dia mengingatkan berbagai kegagalan pembukaan kawasan hutan untuk swasembada pangan selama ini dan kagagalan itu tidak pernah ada kajiannya.

Menurut politisi Partai Golkar ini, pertanian modern di banyak negara saat ini justru cenderung ke arah vertikal, tidak lagi horisontal. Lagi pula, pemanfaatan lahan hutan yang sudah terjadi selama ini juga tidak meningkatkan produksi pangan.

“Sekarang posisi lahan kehutanan yang dikelola para petani sekitar 4-5 juta ha, tapi produktivitasnya juga masih rendah. Ini masalah serius yang perlu kita bahas. Apakah dengan adanya program ekstensifikasi pemanfaatan lahan kehutanan ini akan bisa menjadikan peningkatan produksi? Saya rasa tidak,” simpulnya.

Cara malas yang pintas dengan memanfaatkan kawasan hutan itu juga seolah memfasilitasi karakteristik petani. “Karakteristik masyarakat petani kita lebih mudah menggunakan perluasan lahan daripada memanfaatkan teknologi, karena mereka selalu bilang dengan teknologi biayanya mahal. Tapi mereka tidak pernah memperhitungkan dampak dari penggunaan teknologi, yakni terjadi efisiensi yang kemudian menaikkan produksi juga. Mengapa mereka seperti itu? Karena mereka tahu hutan kita masih cukup luas. Apalagi di UU Cipta Kerja pembatasan minimal luas hutan 30% sudah dihapuskan. Ini juga menjadi celah yang sangat berisiko bagi kelangsungan kehutanan kita,” urai Firman.

Dalam paparannya, Firman secara khusus menyoroti peran Kementan sebagai lembaga yang mengurus produksi pangan, terutama terkait UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU ini dibuat untuk melindungi lahan pertanian pangan, baik itu lahan pertanian beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non-pasang surut (lebak) serta lahan tak beririgasi, dari alih fungsi menjadi penggunaan lain. Faktanya?

“Saya ingin katakan bahwa di Kementan sendiri, lahan pertanian yang produktif atau beririgasi teknis, nyaris hampir setiap tahun beralih fungsi seluas 150.000 ha. Ini luar biasa!” tegasnya.

Selain itu, sejak lengsernya Orde Baru, infrastruktur pertanian sampai sekarang nyaris tak tersentuh. Pembangunan waduk dan irigasi-irigasi nyaris tidak diberdayakan. “Bahkan amanat UU Penyuluhan kita itu tidak terpenuhi bahwa untuk 1 desa ada 1 penyuluh.”

Belum lagi soal cetak sawah. Dia mempertanyakan apakah cetak sawah sekadar soal luasan sawah atau output-nya untuk produksi padi. Diingatkannya, cetak sawah baru juga jadi persoalan karena hampir setiap pencetakan sawah baru malah menimbulkan masalah hukum. “Di Kalimantan ending-nya juga di KPK. Juga di beberapa tempat, yakni ketika menterinya (Meneg BUMN) Dahlan Iskan, ujung-ujungnya jadi kasus hukum. Lalu di Papua, kemarin kami dapat laporan saat berkunjung bahwa ada masalah ekskavator mulai tenggelam.”

Itu sebabnya dia minta pemerintah mengkaji masalah ekstensifikasi tersebut. Mengapa pemerintah tidak menegakkan lebih dulu UU 41/2009 dan mencegah alih fungsi lahan pertanian, terutama di Jawa. “Kami punya kesan ada pembiaran oleh pemerintah, karena tidak ada larangan, bahkan tindakan, baik kepada kepala daerah maupun instansi yang terkait,” cetus Firman.

Menurut dia, dibutuhkan kajian dan penelitian mendalam terhadap kemungkinan penggunaan lahan hutan puluhan juta hektare untuk mendukung swasembada pangan dan energi, mengingat risikonya yang sangat tinggi. Lagi pula, katanya, UU 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan hutan yang rusak dan tidak ada tegakan harusnya ditanami dan direhabilitasi.

Kemenhut sendiri sebetulnya sudah punya program yang baik dalam pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat, yakni Perhutanan Sosial. “Kami dukung ini karena Perhutanan Sosial memiliki fungsi untuk menanam di kawasan hutan. Tentunya program ini tak boleh bergeser dari konsep dasarnya. Tidak boleh Perhutanan Sosial berubah jadi tanaman kentang semua seperti di Dieng,” tandas Firman.

Aturan Kehutanan Memungkinkan

Yang menariknya, semua pertanyaan dan kekhawatiran banyak pihak tentang pencadangan kawasan hutan itu ternyata dimungkinkan secara hukum. Bahkan, secara aturan memang diakomodir di Kemenhut, termasuk melepas kawasan hutan yang sudah tidak memiliki tutupan hutan.

Itu sebabnya, tidak perlu waktu panjang buat program swasembada pangan, energi dan air ini — yang ada di Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan masuk dalam prioritas pertama dari 17 program prioritas Presiden — bisa memperoleh data dan tak perlu membuat aturan baru demi memuluskan pencarian lahan.

Dari hasil analisis spasial dan melihat kesesuaian lahan berdasarkan peta kawasan hutan, peta penutupan hutan, peta daya dukung dan daya tampung, bahkan sampai peta sawit nasional, luas kawasan hutan yang bisa dicadangkan ternyata mencapai 23,2 juta ha! Luasan ini lebih besar dari pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sebelumnya, yakni 20,6 juta ha.

Dasar hukum yang digunakan Ditjen Planologi Kehutanan adalah UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 21/2021 tentang Penggunan Tata Ruang beserta PP 23 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan; Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; Penggunaan Kawasan Hutan; Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan; Pengelolaan Perhutanan Sosial; Perlindungan Hutan; Pengawasan; dan Sanksi Administratif.

“Dari analisis spasial yang kami lakukan, kalau Pak Menteri bilang ada 20,6 juta ha, maka kalau kita lihat dari keseusaian lahan berdasarlan tapisan-tapisan tadi, maka menghasilkan cadangan 23,2 juta ha,” papar Direktur Penggunaan Kawasan Hutan, Ditjen Planalogi Kehutanan, Doni Sri Putra, S.Hut, ME.

Lalu, dari mana saja sumber hutan seluas itu? Ada tiga, rupanya. Dari Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) — dulu disebut HPH atau IUPHHK — Perhutanan Sosial serta areal yang belum berijin. Dari PBPH ada luasan sekitar 4,70 juta ha, Perhutanan Sosial seluas 6,8 juta ha dan areal belum berijin ada 12,42 juta ha, sehingga total mencapai 23,2 juta ha atau lebih luas dari Kerajaan Inggris dan nyaris seluas Inggris Raya yang mencapai 243.610 km2.

Luas kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk ketahanan pangan itu memang sesuai dengan arahan yang digariskan dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030. Mengacu pada Permen LHK No. P.41/MENLHK/SETJEN/KUM/2019, ada enam arahan, dan ruang hutan yang bisa dimanfaatkan untuk ketahanan pangan ada empat, yakni: kawasan prioritas untuk rehabilitasi seluas 3,96 juta ha, kawasan untuk pemanfaatan hutan berbasis korporasi (PBPH) seluas 37,38 juta ha, kawasan pemanfaatan hutan berbasis masyarakat (Perhutanan Sosial) seluas 13,16 juta ha dan kawasan untuk non kehutanan seluas 4 juta ha.

Dari luasan itulah kemudian diuraikan potensinya untuk cadangan lahan pangan, energi dan air sehingga muncul angka seluas 23,2 juta ha tadi. Luasan itu keluar setelah ditapis dengan berbagai batasan, mulai dari penutupan lahannya yang harus non-hutan, fungsinya diprioritaskan Hutan Produksi dan Hutan Lindung, sampai ketinggiannya juga di bawah 1.000 meter dpl. “Kita analisis juga dari sisi daya dukung dan daya tampung, mengecualikan lahan gambut dan lahan yang telah terbangun serta bukan sawit nasional,” jelas Doni.

Menurutnya, jika melihat data yang ada, dari alokasi 38 juta ha (hutan produksi dan hutan lindung), ternyata yang diterbitkan untuk PBPH baru 30,62 juta ha. “Selain itu ada indikasi PBPH tidak aktif yang potensial dicabut ijinnya seluas 3,17 juta ha. Jadi, pengusaha hanya mengantongi ijin tapi tak ada aktivitas nyata di lapangan,” papar Doni.

Yang menarik, ternyata ada 12,42 juta ha kawasan hutan yang belum berijin, dan untuk kriteria ini bisa dimanfaatkan dengan skema Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP). “Tapi sekali lagi kami tegaskan, areal yang belum berijin ini juga dengan penutupan lahan bukan hutan, sehingga bisa diberikan skema KHKP sesuai Permen LHK No.7/2021,” ujar Doni. Khusus KHKP, pemohonnya juga hanya pemerintah (menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan kepala badan otorita).

Selain itu, kawasan hutan tersebut bisa pula dimanfaatkan untuk keperluan energi dan air, bahkan juga bisa melalui pelepasan kawasan hutan jika itu adalah hutan produksi konversi (HPK) yang tidak produktif. “Artinya, areal-areal yang tutupannya tidak didominasi lagi oleh hutan. Ini dimungkinkan dalam PP 23/2021 maupun Permen LHK 7/2021,” katanya.

Potensi besar lainnya datang dari program Perhutanan Sosial seluas 6,8 juta ha. Saat ini yang sudah ada ijin definitif untuk Perhutanan Sosial mencapai 1,9 juta ha dan masih ada 4,19 juta ha lagi yang bisa dimanfaatkan. “Itu semua bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pangan melalui pola agroforestri, silvopastura dan lain-lain.”

Tidak Ada Pergeseran Tupoksi

Dengan terbukanya peluang memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan UU, PP dan RKTN, maka Doni pun membantah jika tugas kehutanan sudah bergeser mengurusi masalah pangan. Menurutnya, Kemenhut sekadar mengalokasikan ruang hutan yang ada untuk bisa dimanfaatkan sektor lain.

“Jadi, kami sebetulnya mencoba menganalisis dengan batasan-batasan parameter yang sudah kami sampaikan. Artinya, ‘Anda bisa menggunakan kawasan hutan, tapi hanya di sini loh. Pada tempat ini dan pada kriteria ini’. Jadi ada batasannya,” papar Doni.

Kemenhut justru ingin menghapus stigma buruk yang ada selama ini. “Di luar sana kadang menganggap kita ini adalah negara sendiri, yang tidak membuka ruang kepada orang lain. Stigma-stigma ini yang perlu kita benahi tentunya dengan kriteria-kriteria yang induknya adalah bagaimana memperbaiki lingkungan,” jelasnya.

Doni juga menegaskan bahwa pemanfataan kawasan hutan untuk pangan dan energi tidak aka  terjadi deforestasi, karena skema yang diprioritaskan Kemenhut adalah pada areal non-hutan atau tutupan lahan bukan hutan. Skema pemanfaatannya juga dengan Multi Usaha Kehutanan (MUK) melalui agroforestri, dan silvopastura. Langkah itu bisa juga dilakukan di lahan-lahan PBPH yang tak direalisasikan dan terindikasi sudah terbuka. “Nah, dalam konteks ini juga jadi bagian dari proses rehabilitasi, tentunya dengan metode agroforestri dan lainnya,” katanya.

Kegiatan-kegiatan itu, termasuk melalui Perhutanan Sosial, diharapkan bisa meningkatkan optimasi manfaat kawasan hutan, terutama pada areal yang berpenutupan non-hutan.

Hanya saja, dia mengakui luas lahan yang dicadangkan itu semuanya baru indikatif dan tentu harus dikaji lebih lanjut, terutama jenis tanaman apa yang cocok dan bagaimana kesesuaian lahannya. “Tentunya perlu kajian lebih lanjut, memang, kira-kira kesuaian lahan dengan jenis yang bisa dikembangan. Lalu jenis-jenis apa yang nantinya bisa kuat di bawah naungan, misalnya setelah umur tertentu setelah membentuk strata tajuk.

Masalah ini memang mendapat sorotan. Bahkan dalam kesimpulan yang dibacakan moderator Dr. Harry Santoso, budidaya tanaman pangan di lahan hutan harus sesuai dengan kelas kemampuan lahan (land capability) (USDA, 1961) dan kelas kesesuaian lahan (land suitability) (FAO, 1976), dan kajian ini harus dilakukan lebih dulu. Jangan sampai terlanjur membuka kawasan hutan tapi ternyata lahannya tidak sesuai.

“Kalau boleh dirinci, kelas kesesuaian lahan itu ada tiga, yakni sangat sesuai (highly suitable/S1), agak sesuai (moderately suitable/S2) dan kurang sesuai (marginally suitable/S3). Yang lainnya adalah kelas tidak sesuai (not suitable/N1 dan N2). Jadi pemerintah kalau bisa memilih yang kelas S1 dan S2,” ujar Harry. Dalam kesimpulan webinar, Harry juga menekankan bahwa untuk merealisasi program pangan dan energi di kawasan hutan, selain  ekstensifikasi perlu dibarengi upaya maksimal oleh sektor pertanian untuk melaksanakan intensifikasi (peningkatan produksi pangan per satuan luas dan per tahun), diversifikasi (penganekaragaman pangan selain beras), rehabilitasi lahan tegalan/tidak produktif/terlantar dan pencegahan konversi lahan sawah berigasi teknis yang luasnya mencapai lebih 100 ribu Ha/tahun di Jawa untuk penggunaan lain.

Tenaga Kerja dan Pasar

Buat kalangan pengusaha kehutanan, pencadangan areal hutan untuk pangan dan energi dapat dimaklumi karena keberadaan hutan itu sendiri juga untuk kepentingan pembangunan. “Kita juga tidak bisa menyalahkan jika hutan sejak dulu dimanfaatkan untuk pembangunan kita. Ini terjadi tak hanya di Indonesia, tapi semua negara. Tinggal bagaimana kita harus berhati-hati memanfaatkannya untuk pembangunan karena perhatian terhadap lingkungan, deforestasi khususnya, sangat intens saat ini,” papar Dr. Irsyal Yasman.

Namun, Irsyal punya catatan penting terkait pengembangan pangan di areal konsesi PBPH. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan infrastruktur, akses dan ketersediaan tenaga kerja serta pasar. Tanpa infrastruktur, maka lupakan saja program pangan di hutan.

“Ketersediaan tenaga kerja juga tidak sederhana di hutan saat ini. Bahkan kami yang di HTI (Hutan Tanaman Industri atau PBPH Hutan Tanaman) mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga kerja. Apalagi tenaga kerja untuk tanaman pangan,” papar mantan direksi BUMN Kehutanan ini.

Menurutnya, BUMN kehutanan pernah diminta kontribusinya untuk mengembangkan tanaman pangan saat Dahlan Iskan menjadi Meneg BUMN. Namun, dia mengaku sulit melakukan hal itu. “Kesulitan kami adalah tidak bisa mengembangkan tanaman pangan dalam skala komersial atau dalam skala unit usaha di lahan konsesi kami. Ini akibat ketersediaan tenaga kerja yang tidak ada,” tuturnya.

Bahkan, katanya, mereka juga sudah pernah mencoba mencetak sawah, mendorong masyarakat setempat untuk mengembangkan tanaman pangan. Faktanya? “Kalau masyarakat setempat kebiasaannya adalah pertanian subsisten, hanya untuk bisa memenuhi kehidupannya, maka kita tidak bisa berharap lebih dari mereka. Pertanian subsisten 1 keluarga dengan 2 anak itu cukup 2 hektare saja untuk peladang berpindah. Disuruh buat 5 hektare mereka tidak mau lagi. Mereka bilang untuk apa? Menyimpan hasil panennya kami pun tak punya tempatnya.

“Lalu hasil panen itu dijual kemana? Itu sebabnya market ini menjadi hal penting jika ingin mengembangkan tanaman pangan atau komoditi pangan di hutan. Ini terkait dengan infrastruktur, karena seberapa jauh hasil panen bisa diangkut ke kota, bagaimana mekasismenya dan seterusnya,” kata Irsyal, seraya menambahkan pentingnya tenaga ahli pertanian jika niatnya untuk mendukung swasembada.

Yang jelas, jika PBPH memang dilibatkan dalam program swasembada pangan, maka perlu ada insentif dari pemerintah, terutama pendanaan. Ini karena kondisi perusahaan yang sulit, apakah PBPH Hutan Alam ataupun PBPH Hutan Tanaman. Bahkan dia menyebut perlunya dukungan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di lapangan.

“Konflik di lahan PBPH sampai saat ini diselesaikan sendiri-sendiri oleh PBPH dan itu tidak permanen. Selesai sebentar, ketika ada intervensi dari berbagai pihak, muncul lagi. Harus penyelesaian yang permanen dan itu harus berdasarkan peran pemerintah yang ada dan diselesikan secara legalitas yang difasilitasi pemerintah sehingga dunia usaha bisa bekerja dengan kepastian dan dengan demikian bisa ikut mengembangkan tanaman pangan ataupun tanaman energi,” urainya. ***

Leave a Reply