Banjir alias bencana hidrometeorologi basah di Indonesia tidak akan pernah tuntas bisa ditanggulangi selama perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diwujudkan secara konsisten, akuntabel dan berkelanjutan.
Bahkan, pengendalian dan pencegahan banjir secara struktural dan non struktural yang dilaksanakan Kementerian PU dan Pemerintah DKI Jakarta hanya bisa mengurangi luas banjir di wilayah ibukota Indonesia tersebut.
Bencana Banjir buat Indonesia, terutama ibukota Jakarta, sudah seperti langganan. Tiap tahun datang dan selalu berulang. Pembahasannya ramai ketika bencana terjadi, tapi segera terlupakan seiring bencana pergi. Kesimpulannyapun sudah diketahui. Tata ruang yang tidak taat azas, dan ditandai hilangnya hutan di hulu DAS, rusaknya resapan air di wilayah tengah serta terjadinya okupasi masyarakat di kawasan lindung yang tak terkendali. Semuanya berujung di daerah hilir yang dihajar banjir tak terelakkan.
Hal itu juga diakui oleh Ketua Umum Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ), Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc. saat membuka webinar bertajuk “Banjir yang Tidak Pernah Tuntas Teratasi dan Urgensi Mitigasinya” di Jakarta, Kamis (28/8/2025). Hanya saja, kali ini diskusi yang digelar para rimbawan senior ini tidak lagi bersifat inward looking, yakni persoalan pengelolaan hutan untuk mengatasi banjir, tapi lebih outward looking. “Artinya melihat keluar, bagaimana banjir itu harus diatasi, bagaimana jumlah korban harus ditekan dan lain sebagainya. Termasuk di antaranya bagaimana hubungan banjir dengan ketersediaan dan hidrologi air selama ini,” katanya, saat membuka diskusi yang dipandu oleh Ketua Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Dr. Ir. Harry Santoso, IPU.
Itu sebabnya, pembicara yang diundang kali ini adalah Dr. Luki Subehi, M.Sc., Kepala Pusat Limnologi dan Sumberdaya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Selain itu Direktur Jenderal Sumberdaya Air Kementerian Pekerjaan Umum, yang berhalangan hadir diwakili oleh Efi Gusfiana, ST, MM., Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane. Nara sumber lainnya adalah Zaenal Arifin, SH, MH, Direktur Mitigasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mewakili Kepala BNPB.
Menurut Luki Subehi, secara garis besar ada tiga faktor yang mempengaruhi banjir, yakni curah hujan, tutupan lahan dan sistem drainase. Hujan dengan intensitas yang tinggi sangat riskan jika terjadi dalam durasi yang lama. Kondisi itu makin buruk jika tutupan lahan berkurang. “Persis seperti rumusan diskusi ini, tutupan lahan memang sangat berperan untuk menahan atau mengurangi banjir, baik itu dengan resapan atau badan-badan air untuk menampung air maupun menahan debit air agar tidak langsung turun ke hilir,” paparnya.
Dalam diskusi, Iman Santoso memang menekankan pentingnya ketaatan pada rencana tata ruang yang sudah dibuat. Pasalnya, perubahan lanskap wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi faktor paling menentukan terjadinya banjir. Itu sebabnya, monitoring dan penindakan pada perubahan lanskap menjadi kunci utama pencegahan banjir.
Hal ini dibenarkan oleh Direktur Mitigasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Zaenal Arifin. Karena itu, katanya, sejak awal dia menyatakan penegakan hukum menjadi kunci utama karena perubahan lanskap merupakan faktor utama penyebab banjir.
Menurutnya, perubahan lanskap wilayah DAS sebetulnya sudah ada dalam tata ruang maupun rencana penganggulangan bencana (RPB) daerah. Katakanlah Kabupaten Bogor. Mereka sudah punya RPB dan di sana itu sudah ada yang namanya kajian risiko bencana (KRB), juga ada rencana kontijensinya. “Jadi kalau terjadi bencana penanganannya seperti apa, skenarionya seperti apa. Semua itu sudah ada dan tinggal dipatuhi pemerintah daerah,” paparnya.
Sayangnya, masalah ini sering diterabas dengan keluarnya rekomendasi atau “surat sakti” dari berbagai pihak.
Contoh kasus, kata Zaenal, adalah munculnya permohonan penambangan di daerah Parung. “Karena ada surat sakti atau rekomendasi, akhirnya kami memberikan informasi sejujurnya saja bahwa lahan itu kalau dibuka untuk pertambangan akan mengakibatkan banjir yang sangat besar di kemudian hari. Karena kemiringan lahannya. Masyarakat di sekitar yang akan menanggung akibat,” kata Zaenal.
Penegakan Hukum
Untuk itu, dia sependapat dan sangat setuju dengan monitoring dan penegakan hukum. “Jangan pandang bulu demi penanggulangan bencana dan menghindari dampak yang lebih luas serta risiko yang lebih besar yang akan dihadapi masyarakat banyak,” tandasnya.
Apalagi, berdasarkan data BNPB, bencana yang melanda Indonesia masih didominasi oleh bencana hidrometeorologi basah alias banjir. Selama Januari sampai 27 Agustus 2025, bencana alam tercatat 2.283 kejadian. Dari jumlah itu, sebanyak 99,17 % adalah bencana hidrometeorologi dan sisanya 0,83 % bencana geologi.
“Bencana banjir tercatat sebanyak 1.188 kejadian dan ini merupakan bencana yang mendominasi dari tahun ke tahun di negeri ini. Kalau musim penghujan kita mengalami bencana banjir, kalau musim kemarau mengalami kekeringan serta terjadi kebakaran hutan dan lahan,” ujarnya.
Kerugian yang dialami juga sangat besar. “Menurut laporan dari Menteri Keuangan, kerugian negara setiap tahunnya sebesar Rp. 20 Triliun. Itu pun masih di luar dari bencana-bencana lain, seperti gempa bumi, gunung meletus dan tsunami. Jadi, kalau dikalkulasi semuanya, kerugian finansial akibat bencana itu bisa sampai ratusan Triliun rupiah.”
Tata Guna Lahan tak Terkendali
Memang, penanggulangan masalah banjir yang terus berulang tiap tahun diakui sangat kompleks, terutama di daerah Jabodetabek. Pasalnya, kondisi tata guna lahan di wilayah sungai Ciliwung dan Cisadane dari sisi hulu, tengah dan hilir sudah berubah akibat pembangunan yang tak terkendali.
“Pengendalian banjir melibatkan beberapa aspek penting, terutama perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali, serta makin bertambah luasnya lahan-lahan terbangun berdasarkan peta perubahan tata guna lahan,” ujar Efi Gusfiana.
Perubahan itu sangat jelas dalam rangkaian peta tata guna lahan selama hampir 50 tahun, dari tahun 1972 sampai tahun 2021. Jika tahun 1972 kondisi lahan masih hijau, namun 18 tahun kemudian mulai berubah dengan meluasnya wilayah yang berwarna merah (permukiman). Bahkan tata guna lahan di Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane tahun 2021 mayoritas sudah memerah (lihat gambar).
Dari peta tersebut, kata Efi, terlihat jelas menyusutnya wilayah resapan air akibat alih fungsi lahan hijau menjadi permukiman, kawasan industri atau wisata.
Pengendalian banjir sendiri dilakukan dari hulu, tengah dan hilir DAS. Untuk wilayah hulu yaitu mengelola hutan dan lahan guna mencegah erosi dan aliran permukaan serta meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap air hujan semaksimal mungkin.
“Sementara itu di wilayah tengah kita melakukan pengelolaan sungai untuk mencegah sedimentasi dan meningkatkan kapasitas tampung sungai agar mampu mengalirkan air dengan lancar ke daerah hilirnya. Selain itu, juga membangun tanggul untuk mencegah banjir dan melindungi daerah sekitarnya serta pengelolaan drainase untuk mencegah banjir dan meningkatkan kemampuannya untuk mengalirkan air selancar mungkin.”
Sedangkan di daerah hilir, kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan pantai guna mencegah erosi pantai dan meningkatkan kemampuan pantai untuk menyerap air laut. Selain itu juga membangun giant sea wall atau break water guna mencegah erosi pantai dan melindungi daerah sekitarnya.
Namun, satu hal yang paling krusial adalah pengelolaan sistem peringatan dini. “Sistem ini untuk mendeteksi banjir sebelum terjadi atau saat terjadi guna memberikan peringatan kepada masyarakat,” katanya.
Kementerian PU sendiri dalam pengelolaan banjir menggunakan pendekatan pengendalian secara struktural dan pencegahan secara non struktural. Pendekatan struktural berfokus pada pengendalian air dan penataan perilaku air, sedangkan dalam pendekatan non struktural adalah menata perilaku manusia.
“Pendekatan struktural bertujuan mengendalikan aliran air dan mencegah banjir melalui pembangunan infrastruktur berupa tampungan air, seperti bendungan dan/atau kolam retensi. Juga peningkatan kapasitas tampung sungai seperti membuat tanggul banjir, pengerukan atau normalisasi sungai. Selain itu, air sungai juga dibagi dengan membuat floodway atau kanal serta sistem drainase guna mengendalikan air,” jelas Efi.
Menata perilaku air juga dilakukan dengan mengatur debitnya melalui pembuatan pintu air dan pompa banjir. Bahkan, kecepatan air pun perlu ditingkatkan dengan jalan membuat sodetan atau terowongan (tunnel) serta pengendalian kualitas airnya, serta pengendalian erosi dengan cara mengatur aliran air, seperti sistem polder, tanggul pantai dan penggunaan vegetasi serta pengendalian aktivitas manusia.
Sementara itu terkait pencegahan secara non struktur fokusnya adalah menata perilaku manusia, dengan tujuan mengurangi risiko banjir dengan cara mengelola sumberdaya alam, mencegah kerusakan lingkungan dan meningkatkan kemampuan lingkungan untuk menghadapi banjir. “Aktivitasnya berupa kegiatan konservasi, juga mengedukasi masyarakat cara-cara menghadapi banjir dan mengurangi risiko dengan melibatkan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat peduli sungai atau sekolah sungai,” jelas Efi, seraya menambahkan juga dilakukan sosialisasi berbagai regulasi kepada seluruh masyarakat dan law enforcement.
Pengendalian Banjir Jakarta
Dia juga menjelaskan secara rinci mitigasi struktural yang telah dan akan terus dilakukan Kementerian PU untuk mengendalikan banjir langganan yang melanda Jakarta. Menurutnya, ada beberapa strategi penting untuk mengatasi banjir langganan tersebut, terutama membangun bendungan dan waduk untuk mengurangi risiko banjir di wilayah hulu.
“Kami sudah membangun dua bendungan atau dry dam, yaitu Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi serta kolam retensi. Selain itu, juga dibangun tanggul dan kanal untuk pengendali banjir dan melindungi daerah sekitarnya. Tanggul banjir dengan struktur paravet dan kanal banjirnya ini sudah terbangun di Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT),” jelas Efi.
Selain itu, di daerah-daerah tertentu sudah dibangun sumur resapan dan polder oleh Pemda DKI dan Kementerian PU.
Manfaat dry dam untuk mengendalikan banjir dari hulu DAS Ciliwung ini terbukti ketika kejadian banjir Maret dan Juli 2025. Menurut Efi, saat itu curah hujan di Gunung Mas mencapai 209 mml/hari dan Cilember 113,5 mml/hari. “Nah, Bendungan Ciawi dan Sukamahi dapat mereduksi banjir melalui outlet bendungan masing-masing sebesar 15%-17% dan 6%-9%. Kedua dry dam itu mengatur debit air, ketinggian dan sistem pengeluaran air secara efektif dan efisien guna mengurangi risiko banjir,” urainya.
Sebagai informasi, Bendungan Ciawi memiliki kapasitas tampung air 6,05 juta m3 dengan tipe bendungan urugan random inti miring. Tipe yang sama juga berlaku di Bendungan Sukamahi, namun daya tampung air hanya 1,68 juta m3. Dari dua bendungan ini, banjir yang terjadi bisa dikurangi masing-masing sebesar 111,75 m3/detik (Ciawi) dan 15,47 m3/detik (Sukamahi).
Barometer untuk melihat manfaat dua dry dam itu dalam mengurangi banjir adalah Bendung Katulampa. Menurut Efi, pada saat kondisi Siaga 1, debit air yang bisa dialirkan ke Bendung Katulampa adalah 500 m3/detik. “Pada saat kejadian banjir, air yang ditahan di Bendungan Ciawi sekitar 365 m3/detik dan dikeluarkan melalui terowongan sebesar 253 m3/detik. Dengan demikian, Bendungan Ciawi ini dapat mengurangi aliran air dari DAS Ciawi sekitar 30,6%.
“Sementara di Sukamahi, aliran air yang masuk (inflow) sebanyak 56,52 m3/detik dan yang dikeluarkan (outflow) sebanyak 41,05 m3/detik. Jadi, ada selisih 15,47 m3/detik atau mampu mengurangi 27,4%,” jelas Efi.
Sebelum masuk ke wilayah Jakarta, aliran air dari Bendung Katulampa ini diatur di Pintu Air Depok. Di sini, tanpa bendungan debit air yang masuk sebesar 563,11 m3/detik, sementara outflow dengan bendungan 427,84 m3/detik. Jadi, ada selisih 135,27 m3/detik atau berkurang 24%.
Pengurangan debit air yang dialirkan efeknya terasa di Pintu Air Manggarai. Pintu Air Manggarai dapat menahan banjir di kisaran angka 655,03 m3/detik. Dengan adanya bendungan di hulu, ada selisih antara inflow dan outflow 77,9 m3/detik. Pengurangan banjir itu bertambah 60 m3/detik, sehingga total outflow dengan adanya bendungan dan sodetan menjadi 517,05 m3/detik. Dengan adanya bendungan dan sodetan tadi, maka aliran air yang dapat dikurangi naik dari 11,9% menjadi 21,06%.
Selain membangun bendungan, pengendalian struktural lainnya melalui normalisasi Sungai Ciliwung. Sejauh ini, normalisasi yang telah dilakukan sepanjang 19,9 km dengan capaian 50,87%, dengan panjang tanggul 17,14 km dari 33,68 km.
Dari pengendalian struktural itu, manfaat berkurangnya banjir memang cukup dirasakan. Hal itu terlihat dari peta genangan air alias banjir sebelum adanya dry dam Ciawi dan Sukamahi serta sodetan. Banjir menggenangi wilayah seluas 464 ha. Luas genangan itu menurun setelah adanya Bendungan Ciawi dan Sukamahi menjadi seluas 318 ha. Bahkan, banjir di DAS Ciliwung berhasil diturunkan sekitar 107 ha, setelah adanya sodetan berkurang menjadi 211 ha. Efi juga menjelaskan pengelolaan banjir dengan melakukan betonisasi sungai sebagai salah satu solusi. “Dampaknya positif karena mengurangi erosi dasar sungai serta fungsinya yang dapat mempertahankan tepi sungainya, yaitu menghindari longsor yang dapat mengurangi kapasitas tampung sungai tersebut,”.
Secara umum, betonisasi juga akan menjaga kelancaran air, meski mungkin ada efek negatif terhadap kehidupan biota yang tumbuh atau ada di sungai. “Tapi secara garis besar tak ada dampak negatif signifikan. Yang ada justru positif karena itu memperkuat tebing sungai.”
Selain struktural, mitigasi non struktural juga dilakukan melalui pembangunan sistem peringatan dini, yang memberi informasi dan peringatan kepada masyarakat sebelum dan saat terjadi banjir.
Menurutnya, pengelolaan banjir secara struktural dan non struktural punya peran sangat penting dalam pengendalian banjir dan mengurangi risikonya. “Kedua pendekatan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan untuk mencapai hasil yang optimal.”