Pemerintah diminta bergerak cepat untuk mengatasi kekisruhan pengelolaan hutan di Pulau Jawa pasca berlakunya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK). Pasalnya, keberadaan dan kelestarian hutan di Jawa, yang dapat memicu terjadinya bencana alam hidrometeorologi, kini justru terancam berat. Semua itu akibat landasan hukum pengelolaannya yang masih belum berkepastian, baik pada Perum Perhutani maupun pengelola Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Undang-undang tentang Cipta Kerja (UUCK) tidak hanya mengancam luas kawasan hutan nasional dengan menghapus batasan minimal 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, tetapi juga memicu kisruh pengelolaan hutan di wilayah dengan penduduk terpadat negeri ini, yaitu Pulau Jawa. Bahkan, luas hutan Jawa yang sudah di bawah 20% ini makin tergerus oleh aksi penguasaan dan pengelolaan ilegal dan masif. Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka tinggal soal waktu saja akan terjadi bencana hidrometeorologis yang makin parah, baik banjir, longsor, erosi maupun kekeringan.
Kekhawatiran itu mencuat dalam diskusi para rimbawan senior dalam acara FGD yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (PUSKASHUT), Yayasan Sarana Wana Jaya (Yayasan SWJ) di Jakarta, Kamis (30/10/2025). Tema diskusi yang digelar, “Quo Vadis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa Pasca UU tentang Cipta Kerja.”
Karena terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan di Jawa, maka diskusi ini mengundang Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan yang diwakili Supardi SH., MH., Kepala Biro Hukum, serta Pj. Dirut Perum Perhutani yang diwakili oleh Ir. Dewanto M.Sc., Kepala Divisi Perencanaan Sumberdaya Hutan. Narasumber ketiga adalah Dr. Ir. Haryadi Himawan, MBA, IPU., Ex Dewan Pengawas Independen Perum Perhutani, yang juga Ketua Dewan Pakar Penshutindo.
Dalam kata sambutan pembukaannya, Ketua Umum Yayasan SWJ, Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc. menjelaskan tema diskusi memang terkesan skeptis dan pesimistis, kalau bukan diartikan menggugat. “Sebagai rimbawan kita bertanya quo vadis pengelolaan hutan di Jawa? Kami bukan bersikap skeptis atau pesimis, tapi ini justru sebuah tantangan. Apakah kita masih tetap bisa menjalankan fungsi kawasan hutan di Jawa sebagai life supporting system,” tandas Iman.

Jawabannya ternyata mencemaskan. Dr. Ir. Harry Santoso, IPU selaku moderator diskusi menyimpulkan pengelolaan hutan di Jawa kini semrawut dan menimbulkan masalah-masalah rumit pasca berlakunya UUCK. Pencabutan PP No.72 Th. 2010 (landasan hukum wilayah kerja Perum Perhutani di P. Jawa) dengan PP No. 23 Th. 2021 yang diikuti penetapan SK Menteri LHK No. SK 73 Th. 2021 ( pengganti PP No. 72 Th. 2010) dan SK Menteri LHK No.287 Th. 2022 tentang Penetapan KHDPK dinilai tidak cukup memberikan kepastian hukum terhadap wilayah kerja dan usaha bagi Perum Perhutani dan pengelola KHDPK di P. Jawa. Terlebih lagi hingga saat ini lembaga pengelola areal KHDPK di tingkat tapak belum ada kejelasan.
Akibatnya fatal. Terjadi aksi penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan di Jawa secara masif dan ilegal terutama di areal KHDPK. Hal itu terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, yang selama ini merupakan wilayah kerja Perhutani.
“Ini jelas mengancam kelestarian kawasan hutan di Jawa, yang tutupan hutannya sudah sangat minimal, yakni kurang dari 20% dari luas wilayah Pulau Jawa. Bahkan, lebih jauh lagi, ini menstimulir terjadinya bencana alam hidrometeorologi yang semakin parah, yaitu banjir, longsor, erosi dan kekeringan,” ujar Harry.
Keruwetan Hukum
Semua masalah ini berawal dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020. Menurut Haryadi Himawan, terjadi keruwetan hukum ketika terbit Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Th. 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai salah satu peraturan turunan dari UUCK.
“UUCK tidak mengubah pasal-pasal di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur secara eksplisit pengelolaan hutan di Jawa. Namun, perubahan justru terjadi dalam PP No. 23 Th. 2021 pasal 125 dan diperkuat dengan pasal 301, yang isinya mencabut pasal 3 ayat (1) dalam PP No. 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara,” ujarnya.
Sebagai informasi, Perhutani menjadi pengelola kawasan hutan di Jawa berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dari UU ini keluar PP No. 30 Th. 2003 dan berlanjut dengan PP No. 72 Th.2010. Dari PP inilah Perhutani mendapat tugas mengelola kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.
Pencabutan PP No. 72 Th. 2010 ini jelas vonis mati buat Perhutani karena mereka tidak punya dasar hukum untuk mengelola hutan di Jawa. Hal ini diakui oleh Kepala Divisi Perencanaan Sumberdaya Hutan Perhutani, Ir. Dewanto, M.Sc. Dengan kata lain, Perhutani tidak punya hak lagi mengelola hutan di Jawa ketika PP No. 23 Th. 2021 terbit pada 2 Februari 2021.
“Memang terjadi kekosongan hukum. Jika saja pemerintah tidak menerbitkan KepMenLHK No. SK 73 Th. 2021 pada 8 Maret 2021, maka apa yang dilakukan Perhutani di lapangan jelas ilegal. Dengan adanya SK ini minimal kami lega, karena ada legalitas kami di lapangan,” tandasnya.
Hanya saja, segala kegiatan Perhutani di lapangan saat ini hanya mengacu pada aturan hukum yakni KepMenLHK No. SK.73/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2021 tentang Penugasan Pengelolaan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi, Jateng, Jatim, Jabar dan Banten Kepada Perum Kehutanan Negara. Dengan kata lain, status hukum pengelolaan hutan di Jawa hanya mengacu pada SK Menteri dari semula Peraturan Pemerintah (PP).
Meski mengaku lega, namun Dewanto mengungkapkan bahwa Perhutani tidak bisa berbuat banyak selama PP No. 72 Th. 2010 belum terbit revisinya. Hal ini terjadi ketika terbit KepMenLHK No. SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang berada pada hutan produksi dan hutan lindung di Jawa seluas 1.103.941 ha.
“Sementara untuk wilayah Perhutani keluar SK 1013. Tapi SK ini tidak berlaku sebelum revisi PP 72 Th. 2010 diterbitkan. Lalu, bagaimana Perhutani bekerja? Di satu sisi SK 287 Th. 2022 sudah berlaku, sedangkan SK 1013 Th. 2022 belum berlaku menunggu revisi PP 72 Th. 2010,” ungkap Dewanto.
Apalagi, sekarang ini juga keluar keputusan Menteri Kehutanan soal luas terbaru KHDPK, yakni SK No. 149 Th. 2025, sehingga luas KHDPK bertambah sekitar 1.278 ha menjadi 1.105.219 juta ha. Luas itu untuk kepentingan Perhutanan Sosial, penataan/pengukuhan, penggunaan kawasan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Dewanto juga mengungkapkan bahwa sebelum SK No.149, Menhut juga mengeluarkan SK No.148 untuk Perhutani. Namun, nasibnya pun sama dengan SK 1013. “SK 148 isinya soal wilayah kerja Perhutani. Tapi sama dengan SK 1013, dia belum berlaku sampai ada revisi PP No.72 Th. 2010,” katanya, seraya menambahkan Perhutani pernah bersurat kepada Kementerian BUMN agar segera menginisiasi revisi PP No. 72 Th. 2010.
Masalah ini dinilai oleh Harry sebagai hal yang rawan karena Perhutani bekerja mengelola sebagian kawasan hutan di Jawa berdasarkan SK Menteri. Sementara itu sampai saat ini revisi PP No. 72 Th. 2010 belum terbit. “Apalagi sekarang Kementerian BUMN mengalami transformasi menjadi Badan Pengaturan BUMN. Pemegang saham Perum Perhutani belum jelas jadinya,” ujar Harry.
Demi Kebaikan Perhutani
Supardi, Kepala Biro Hukum Kemenhut, mengakui bahwa pihak kehutanan pernah mengusulkan revisi PP No. 72 Th. 2010, pasca terbitnya UUCK. “Hanya saja saat itu masih ada dispute terkait berapa luas hutan yang dikelola Perhutani. Karena luas kelola tersebut harus senafas dengan revisi PP. Kami maunya soal luas kelola hutan itu cukup dicantumkan di SK Menteri saja. Tapi Kementerian BUMN maunya sudah ada peta dan luas yang pasti di dalam revisi PP tersebut,” ungkapnya.
Kementerian Kehutanan sendiri mengatakan bahwa kewenangan pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa saat ini tidak lagi monopoli Perum Perhutani. Selain BUMN bidang kehutanan, kini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan juga berwenang mengelola hutan produksi dan hutan lindung di Jawa.
Bagi Kemenhut, penetapan KHDPK juga punya arti penting bagi Perhutani. Dengan KHDPK, maka pengelolaan Perhutani menjadi lebih efisien. Pasalnya, KHDPK mengurangi areal tidak produktif yang selama ini menjadi cost center bagi Perhutani. Selain itu juga mengurangi areal konflik yang selama ini tidak bisa diatasi BUMN ini sesuai kewenangannya.
“KHDPK juga mengurangi areal penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan sektor strategis yang terus-menerus berproses dan belum diselesaikan,” paparnya, seraya menyebut Perhutani jadi bisa mengefisiensikan kinerja usahanya dengan fokus pada areal produktif.
Dalam konteks masyarakat, KHDPK juga menyerap dan memperluas lapangan usaha guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Pasalnya, peran masyarakat dalam usaha di kawasan hutan yang semula hanya jadi pekerja sekarang bisa menjadi entrepreneur . “Juga ada peningkatan akses kerja sama dan permodalan, pemberian ijin usaha masyarakat dan kelangsungan serta keberlanjutan usaha masyarakat,” paparnya.
Dia juga menyebutkan, penetapan KHDPK pada hutan lindung dan hutan produksi di Jawa tidak akan mengubah fungsi pokok kawasan hutan . “Juga tidak boleh mengubah bentang lahan pada hutan lindung dan hutan produksi, serta penutupan hutannya bukan hutan primer,” papar Supardi.
Dewanto sendiri mengaku masalah yang dihadapi Perhutani saat ini tidak mematahkan semangat. “Sekarang ini kita sama dengan KHDPK, yakni sama-sama memegang SK Menteri, bukan PP. Ini dapat membuat kami bersemangat menunjukkan bahwa kami adalah pengelola hutan terbaik di Jawa. Bukan menjadi loyo karena kurangnya luas kawasan hutan, Ini harapan kami ke depan,” katanya.

Lapor ke Presiden
Yang jadi persoalan, secara umum kebijakan pengelolaan hutan di Jawa bisa berbeda antara di atas kertas dan di lapangan. Itu pula yang dipaparkan Haryadi Himawan. Banyak penyimpangan dalam masalah Perhutanan Sosial atau Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Dia menyebut IPHPS yang pernah diberikan Presiden Jokowi tahun 2018 di Muara Gembong, Bekasi. IPHPS ini adalah integrasi tambak dengan rehabilitasi mangrove (wilayah hutan BKPH Ujung Karawang, KPH Bogor).
“Ternyata mulai 25 Juli 2018 sejak diberikan tidak jalan dan sudah tidak ada lagi. Ini sebetulnya mangkrak, dan saya sudah lihat sendiri dengan Anggota Komisi IV DPR. Padahal, untuk membuat Perhutanan Sosial ini investasinya luar biasa. Dibangun jembatan karena Presiden Jokowi yang bagi-bagi IPHPS. Tapi penumpang gelap yang muncul dan ini pernah dimasalahkan di Komisi IV DPR RI saat RDP dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya,” paparnya.
Dia juga menyebut kasus rusaknya kawasan hutan IPHPS di Blok Terbis, BKPH Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Bahkan, yang paling mencemaskan adalah kasus di Dataran Tinggi Dieng.
“Telah terjadi ekspansi tanaman kentang yang sangat cepat di Dieng, sehingga dalam waktu kurang dari satu dasawarsa telah berhasil menciptakan ledakan ekonomi, sekaligus menggusur komoditas tembakau yang sejak masa kolonial menjadi andalan ekonomi masyarakat setempat,” katanya.
Namun dampaknya, kata Haryadi, “Dalam waktu singkat lanskap agroekosistem di wilayah pegunungan itu pun mengalami perubahan drastis sampai sekarang, dari semula berupa aneka ragam komoditas kini menjadi hanya tanaman kentang.”
Dia juga panjang lebar menyebut karut-marut yang terjadi dengan kondisi hutan di Jawa. Mulai dari perusakan hutan dan friksi yang terjadi antara kelompok pembabat hutan di Cibaliung, Pandeglang pasca terbitnya SK MenLHK No. 287 Th. 2022 tentang KHDPK, penjarahan kayu di KPH Getas, Ngawi sampai hutan yang berubah menjadi ladang tebu.
Penguasan dan pengelolaan hutan secara ilegal juga dikemukakan sejumlah peserta diskusi, seperti kasus di Cisaladah (Pangandaran), Cikajang (Garut), dan Ciwidey (Bandung).
“Kondisi ini memang memprihatinkan, karena marak terjadi alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, kebun, permukiman dan sebagainya. Selain itu juga terjadi jual-beli kawasan hutan untuk perorangan atau kelompok, konflik penggunaan lahan dan masifnya perusakan hutan,” papar Harry saat membacakan kesimpulan.
Untuk itu, kata Harry, FGD kali ini sudah tepat mengusung tema quo vadis pengelolaan hutan di Jawa pasca UUCK melihat berbagai persoalan yang terjadi. FGD pun menyarankan sejumlah solusi, yakni perlu sinergi yang terus-menerus dan menghindari distorsi antara Kemenhut, Perum Perhutani dan Kementerian/Lembaga lainnya.
“Selain itu perlu membentuk Tim Penilai Khusus yang melibatkan para pihak terkait untuk menginventarisir dan menganalisis kendala atau permasalahan (regulasi, kelembagaan, sosial, ekonomi dan lingkungan) serta merumuskan solusi terbaik yang aplikabel, akuntabel dan dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam tata kelola kawasan hutan di Pulau Jawa.
“Hasil kerja Tim Penilai Khusus ini untuk dilaporkan kepada Presiden dan para Menteri terkait,” pungkasnya. ***
