Perlukah Penyuluh Kehutanan Ditarik ke Pusat Seperti Penyuluh Pertanian?

Pemerintah harus mengoptimalkan peran penyuluh kehutanan dalam pembangunan kehutanan sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2016 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental kelompok tani hutan dan masyarakat sekitar/didalam kawasan hutan agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya guna mengatasi berbagai pesoalan selain peningkatan kesejahteraannya juga masih tingginya angka kemiskinan masyarakat di sekitar/didalam kawasan hutan serta urgensi pelestarian fungsi hutan dan lingkungan. Di samping itu, penyuluhan kehutanan juga penting untuk diperankan maksimal dalam mensukseskan Perhutanan Sosial di lapangan yang menjadi program utama Kementerian Kehutanan saat ini. Oleh karena itu, kurang tepat jika tenaga penyuluh kehutanan ditarik ke pusat mengingat tugas mereka justru di tingkat tapak.

Kementerian Pertanian memutuskan mereformasi sistem penyuluhan pertanian dengan menarik seluruh tenaga penyuluhnya ke pusat mulai tahun 2026 demi percepatan swasembada pangan. Dengan kata lain, 30.000 lebih penyuluh pertanian kini menjadi ASN pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah, meski mereka tetap bekerja di Balai Penyuluh Pertanian di daerah masing-masing. Bahkan, pengalihan status ASN penyuluh pertanian dari pemerintah daerah ke pusat ini juga sudah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2025. “Selama masa transisi ini, seluruh proses sedang kita siapkan. Mulai tahun 2026, seluruh penyuluh pertanian resmi menjadi pegawai pusat,” kata Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Idha Widi Arsanti dalam peringatan Hari Krida Pertanian (HKP) ke-53 akhir Juni lalu (30/6/2025) di Jakarta.

Kabar dari Kementerian Pertanian itu kontan membuat gamang para penyuluh kehutanan yang berkantor di Gedung Manggala Wanabakti, Senayan-Jakarta. “Jadi, konsentrasi kita terganggu. Apakah kita ikut-ikutan ditarik atau tidak?” ungkap Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM dalam diskusi menarik bertajuk “Transformasi dan Revitalisasi Peran Penyuluh Kehutanan dalam Pembangunan Kehutanan : Sebuah Utopia?”. Dan jawabannya pun terungkap dalam webinar reguler bulanan yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut) – Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ) di Jakarta, Kamis (27/11/2025). Acara yang dibuka Ketua Umum Yayasan SWJ, Dr. Ir. Iman Santoso, MSc ini selain mengundang Eka sebagai praktisi penyuluhan kehutanan, juga mengundang Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Kementerian Kehutanan, yang diwakili oleh Penyuluh Ahli Kehutanan Utama, Ir. Basar Manulang, MM — serta Guru Besar Pengelolaan Sumberdaya Hutan Universitas Andalas (Unand), Prof. Ir. Yonariza, MSc. PhD. Sementara itu Ketua Puskashut, Dr. Ir. Harry Santoso, IPU bertindak sebagai moderator. Yang menarik, dalam sambutan pembukaannya, Iman Santoso mengungkapkan alasan pentingnya dibahas masalah penyuluhan kehutanan ini. Paling tidak, kata Iman, kelembagaan kehutanan sejak era reformasi telah banyak berubah, yang ditandai dengan terbitnya UU Cipta Kerja dan PP No. 23 Tahun 2021. “Kami juga melihat penyuluhan kehutanan perlu direvitalisasi dan harus ada transformasi. Karena cara pandang masyarakat umum telah berubah dalam melihat eksistensi hutan yang seharusnya dilihat sebagai ekosistem penunjang kehidupan. Ini bisa kita lihat dengan makin masifnya perubahan peruntukan lahan dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Tentunya ini akan membutuhkan taktik atau strategi khusus dalam melakukan penyuluhan kehutanan di lapangan,” paparnya. Selain itu, kehutanan saat ini juga harus berkontribusi dalam ketahanan pangan, mengatasi kelangkaan energi melalui pengadaan bioenergi dan juga menjamin keberlangsungan sumber daya air, “sekaligus menjaga dari potensi daya rusak air serta menyerap gas rumah kaca dalam rangka mitigasi perubahan iklim,” tambahnya.

Bukan utopia

Dari gambaran itu, tidak salah jika tema webinar ini pun sampai mempertanyakan apakah transformasi dan revitalisasi penyuluh kehutanan dalam pembangunan kehutanan suatu utopia? Menurut Harry, justru itu sebuah harapan agar penyuluhan kehutanan dapat benar?benar menjadi bagian integral dari pembangunan nasional, termasuk pembangunan kehutanan. Hanya saja, dia memaparkan sejumlah tantangan, kendala, dan permasalahan yang dihadapi penyuluhan kehutanan, terutama dalam pembangunan kehutanan saat ini. Mulai dari rendahnya antusiasme masyarakat dalam menerima keberadaan penyuluh kehutanan, wacana penarikan penyuluh kehutanan ke tingkat pusat, penyebaran penyuluh yang lebih banyak di Jawa dan kurang merata, sarana dan prasarana masih belum memadai serta pelaksanaan tugas penyuluh kehutanan yang kerap kurang sesuai dengan tugas pokok mereka sesungguhnya. Belum lagi soal bergabungnya para peneliti kehutanan dalam wadah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang menyebabkan terputusnya jalur formal transfer IPTEK dari peneliti ke penyuluh kehutanan di lapangan. “Dulu, ketika kami ikut pelatihan penyuluh pertanian spesialis, ada tiga buah roda yang dihubungkan oleh rantai yang saling berhubungan : peneliti, penyuluh, dan kelompok tani. Sekarang, penelitinya sudah ‘terhempas’ dari sektor-sektor, termasuk sektor kehutanan, dan masuk dalam BRIN,” papar Harry, seraya menambahkan bahwa tanpa transfer pengetahuan dan teknologi baru yang kontinyu tentu kelompok tani hutan (KTH) pun akan bosan bertemu penyuluh kehutanan.

Namun, yang paling menyedot perhatian adalah wacana penarikan penyuluh kehutanan ke tingkat pusat. Apalagi sampai muncul pertanyaan bahwa penarikan itu justru akan melemahkan pendampingan terhadap sasaran penyuluhan di lapangan yang butuh kecepatan respons. Hal ini dijawab tegas oleh Eka Soegiri. Menurutnya, wacana penarikan itu muncul bukan dari penyuluh kehutanan. “Tapi dari Kementerian Pertanian, yang mewacanakan penarikan penyuluhan ke pusat karena mereka punya tugas mewujudkan swasembada beras,” ungkap mantan Kepala Pusat Informasi (Humas) Kementerian LHK ini. Eka sendiri menegaskan dirinya tidak setuju penyuluh kehutanan ditarik ke pusat. “Jika ditanya, saya pribadi tidak setuju. Kalau ini ditarik, maka akan lepas jalur komunikasi antara penyuluh dengan sasaran penyuluhan. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan masak-masak,” tandasnya.

Dia menjelaskan lebih gamblang bahwa ada perbedaan yang besar antara Kementerian Pertanian (Kementan) dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Kementan, kata Eka, memang kementerian besar, tapi tidak memangku kawasan. Mereka punya mitra kerja dan masyarakat binaan, yakni para petani. “Nah, Kemenhut memangku kawasan yang kompleksitas masalahnya sangat beragam. Ada hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi. Jadi agak beda,” ujarnya. Jadi, tambah Eka, masalah penarikan penyuluh ke pusat ini harus hati-hati dan dicermati karena memiliki risiko yang sangat besar yaitu putusnya rantai komunikasi, koordinasi, dan pendampingan di tingkat tapak tempat penyuluh kehutanan bekerja dan berinteraksi langsung dengan masyarakat,” katanya.

Hanya saja Eka tidak menolak sepenuhnya penarikan penyuluh ke pusat. Untuk penyuluh?penyuluh ahli, katanya, mungkin saja bisa diatur di provinsi atau di kabupaten atau di pusat, karena mereka tugasnya tentang kebijakan dan penyusunan regulasi. Alasan dia, penyuluhan di lapangan itu seperti Puskesmas. Pos penyuluhan itu mirip Puskesmas, di mana masyarakat bisa bertanya, berobat jika ada masalah, dan sembuh. Jadi, masyarakat tidak perlu jauh-jauh mencari informasi dan solusi. “Yang perlu dilengkapi justru sarana-prasarana penunjang, kemampuan teknologi, serta kemampuan para penyuluh,” ujar Eka.

Tidak perlu ditarik ke pusat

Penegasan Eka mendapat dukungan dan pembenaran dari BP2SDM Kemenhut, yang diwakili Penyuluh Ahli Kehutanan Utama, Ir. Basar Manulang, MM. “Saya ikut barisan Pak Eka,” tegas Basar. Menurutnya, penyuluh kehutanan tidak bisa serta-merta ditarik ke pusat. “Memang, ada wacana waktu itu saat RDP (Komisi IV DPR) dengan Menteri. Salah satu anggota DPR 4 menyampaikan (soal penarikan penyuluh ke pusat) dan ini juga sedang dikaji betul-betul sekarang,” ungkapnya.

Hanya saja, papar Basar, penarikan penyuluh kehutanan ke pusat tidak bisa karena entitas kehutanan adalah entitas tapak dan kompleks. “Bagaimana penyuluh itu hadir di tapak kalau banyak masalah di lapangan? Bagaimana sistem penganggarannya untuk memenuhi sarana-prasarananya? Kita tahu, untuk mendongkrak anggaran itu tidak semudah membalikkan tangan. Kalau mereka ditarik ke pusat, semua kebutuhan penyuluhan pasti harus dianggarkan. Tidak hanya main tarik dan tidak ada jaminan, misalnya. Itu yang sekarang kita kaji,” urai Basar. Itu sebabnya, wacana penarikan penyuluhan kehutanan ke pusat ini perlu kajian yang komprehensif. “Menurut saya, kita tidak perlu ikut-ikutan karena memang entitas mereka berbeda. Kementerian Pertanian menarik ke pusat sudah ada PP-nya. Tapi kementerian Kehutanan belum. Kita belum mengarah ke sana.” Kemenhut, katanya, lebih concern bagaimana kehutanan memiliki kompetensi yang lebih dalam melaksanakan tugas-tugas mereka di lapangan. Apalagi, penyuluh kehutanan itu juga simulator motivasi. Dengan sistem paternalistik pada mayoritas wilayah Indonesia, maka siapa yang berbuat baik, itu yang akan menjadi contoh. Basar mengakui bahwa ada dinamika dan tantangan penyuluhan dan pengembangan SDM saat ini. Setidaknya ada 5 (lima) hal yang dihadapi. Yang pertama adalah keterbatasan SDM dan penyelenggaran penyuluhan hanya dilakukan oleh satu pusat dengan jangkauan sangat luas. Saat ini penyuluhan kehutanan melibatkan 7 unit kerja eselon I, termasuk 165 UPT dan pemerintah daerah di 38 provinsi.

Komposisi penyuluh kehutanan sendiri mencapai 10.215 orang yang terdiri dari penyuluh ASN sebanyak 2.648 orang, Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) sebanyak 6.029 orang, Penyuluh Kehutanan Swasta 883 orang dan Penyuluh Kehutanan P3K sebanyak 655 orang. Mereka harus melakukan pendampingan terhadap 26.050 kelompok tani hutan dan 34.000 desa yang berada dalam kawasan atau sekitar hutan. Ironisnya, di tengah kebutuhan SDM yang besar untuk penyuluhan, pada saat yang sama lulusan SMK Kehutanan (SMKKN) malah tidak terserap secara optimal oleh lapangan kerja di sektor kehutanan.

“Ini fakta. Begitu adik-adik SMKK ini lulus, tidak ada jaminan mereka akan bekerja di kehutanan karena memang ada mekanisme yang lain termasuk yang harus diakomodasikan atau diatur oleh MenPAN. Agak berbeda dengan sekolah kedinasan yang lain. Selama 4 tahun terakhir ini, lulusan SMKKN yang tidak terserap semakin meningkat,” papar Basar. Basar juga mengungkapkan tantangan besar tingkat kemiskinan dan kesenjangan masyarakat sekitar kawasan hutan. Ada 34.523 desa (46%) yang terletak di dalam dan sekitar kawasan hutan. “23% desa di dalam dan sekitar kawasan tergolong tertinggal dan sangat tertinggal, serta cenderung kurang mandiri dibanding desa di luar kawasan. Kalau kita lihat tadi komposisi penyuluh dengan jumlah desa, memang suatu rentang kendali yang sangat terbatas.”

Empat Pilar

Padahal, pemerintah sendiri sudah punya program mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui Perhutanan Sosial. Program ini memungkinkan masyarakat memanfaatkan kawasan hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Persoalannya memang dibutuhkan tenaga penyuluh untuk pendampingan, terutama kepada kelompok-kelompok tani hutan. Mereka juga harus memiliki kompetensi yang sangat luas, mengingat Perhutanan Sosial sendiri didasarkan pada empat pilar: tata kuasa, tata kelola, tata usaha dan tata niaga. Menurut guru besar pengelolaan sumberdaya hutan Universitas Andalas (Unand), Prof. Ir. Yonariza, MSc. PhD., rentang kompetensi penyuluh sangat luas. Kompetensi itu berupa serangkaian pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta pemahaman tentang ekologi, kebijakan, kehutanan, dan teknik sipil, termasuk manajemen konflik, mediasi, dan advokasi. “Dalam pilar tata kuasa, yakni kepastian hak/akses, penyuluh atau pendamping harus mampu melakukan sosialisasi pemetaan partisipatif, penggalian potensi, penyiapan dokumen usulan, dan mengawal proses hingga keluarnya SK izin dari pemerintah. Dengan demikian mereka harus punya kompetensi teknis (pemetaan), analisis potensi, serta kesabaran dan sikap karena proses ini butuh waktu dan keahlian. Selama ini, hal itu banyak dilakukan LSM. Jika mereka tidak ada, peran ini harus diemban oleh penyuluh kehutanan,” ujar Prof. Yonariza.

Sementara untuk tata kelola atau manajemen pengelolaan, yang terkait dengan pengelolaan hutan yang adil, transparan, akuntabel dan berkelanjutan, penyuluh bertugas membantu penyiapan dokumen pengelolaan (aturan, pembagian peran), dan berbagai aspek organisasi (transparansi pembagian hasil). Dari pilar ini, kompetensi penyuluh yang dibutuhkan adalah ilmu sosial yang kuat terkait pengorganisasian masyarakat, pengorganisasian Kelompok Tani Hutan. “Di sini terlihat keragaman disiplin ilmu yang diperlukan,” ujarnya.

Penyuluh juga harus membantu kelompok tani hutan dalam masalah tata buku, pencatatan kegiatan dan keuangan, seperti penjualan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Ini merupakan pilar tata usaha, di mana masyarakat melakukan administrasi dan dokumentasi seluruh kegiatan pengelolaan hutan dan hasilnya. Yang tak kalah penting adalah pilar tata niaga, yakni pemasaran dan nilai tambah.

Menurut Prof. Yonariza, ini pilar paling berat karena menyangkut pemasaran produk atau jasa yang dihasilkan dari Perhutanan Sosial. Tugas penyuluh/pendamping adalah membangun dan mengembangkan jaringan antara kelompok Perhutanan Sosial dengan pengguna. Mereka harus mampu menghubungkan masyarakat Perhutanan Sosial dengan pasar, swasta, dan pemerintah.

“Kompetensi yang dibutuhkan adalah penambahan nilai tambah dari produk masyarakat dan keahlian pemasaran. Saat ini, aspek ini masih belum terlalu kuat, apalagi dengan adanya perubahan-perubahan pasar yang cepat, yang menuntut kemampuan pendamping untuk selalu beradaptasi,” ujar Prof. Yonariza.

Dengan kata lain, tambahnya, dibutuhkan pendampingan yang multitalenta untuk mensukseskan program Perhutanan Sosial, yakni hutan lestari masyarakat sejahtera. “Ini menuntut penyuluh yang serba bisa, yang mampu mengatasi berbagai masalah dan memahami berbagai ilmu, mengingat SDM petani yang masih terbatas,” tukasnya. ***

Leave a Reply