Perkembangan IPTEK dibidang komunikasi dan informasi yang pesat dalam era Revolusi Industri 4.0 dewasa ini, telah mendorong pergeseran peradaban manusia. Munculnya superkomputer, printer 3-dimensi, robot pintar, kendaraan tanpa awak, editing genetik, dan perkembangan neuroteknologi, telah memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak. Teknologi digital telah membawa umat manusia dalam lompatan yang jauh kedepan, bukan saja pada sektor komunikasi dan informasi atau sektor ekonomi, namun seharusnya juga dalam birokrasi pengelolaan sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Pemerintah harus berhasil bergerak maju (move on), agar tidak tertinggal kemajuan dari negara lain, dunia swasta dan masyarakat, sehingga disatu sisi dapat dihindarkan terjadinya percepatan
kerusakan sumber daya hutan dan ekosistemnya, dan disisi lain dapat diharapkan keberlanjutan produksi dan konsumsi yang bersumber dari hutan dan usaha kehutanan.

Oleh karena itu pemerintahan digital (digital government) pada era industri generasi keempat ini merupakan sebuah keniscayaan. Ini merupakan visi yang mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi serta teknologi internet of things (IoT) dengan cara yang canggih dan aman guna mengelola hutan dan kawasan hutan dengan seluruh potensi sumberdaya alam, manusia dan segenap aset didalamnya.

Informasi berbasis aplikasi digital diantaranya Sistem Informasi
Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Online (SIMPONI) dan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK). Selain itu telah pula dirilis kebijakan multiusaha kehutanan yang dikemas dalam satu perijinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) untuk semua jenis kegiatan usaha. Digitalisasi tentu diperlukan guna memastikan manajemen rantai pasokan yang manageable dan solid agar menjamin efisiensi, efektivitas, produktivitas dan profitabilitas usaha. Tentu masih banyak inovasi tata kelola pemerintahan di sektor kehutanan yang perlu dibangun dan dikembangkan kedepan.

Pemahaman tentang transformasi persepsi dan nilai-nilai antar generasi sangatlah penting guna mendorong perbaikan pengelolaan sumber daya hutan agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan generasi mendatang. Peran rimbawan milenial didunia kehutanan sangat esensial untuk bersiap menjadi aktor pembangunan mendukung akselerasi inovasi kehutanan 4.0. Sumberdaya hutan perlu dipandang memiliki potensi ekonomi kreatif yang harus didayagunakan secara efisien dan efektif tanpa birokrasi yang kaku. Penggunaan peralatan canggih merupakan kebutuhan seperti drone, gadget dan sensor untuk menggantikan kerja lapangan dalam inventarisasi sumber daya hutan, penataan batas, pemanfaatan, rehabilitasi, konservasi,
perlindungan dan pengamanan hutan dan kawasan hutan. Disamping itu peran masyarakat sipil dapat ikut terlibat dalam pengumpulan dan pemanfaatan teknologi menggunakan big data tersebut. Banyak hal akan berubah dalam pengelolaan sumber daya hutan dan ekosistemnya, yang perlu diantisipasi dengan penyediaan SDM yang cakap dan siap guna. Pengelolaan hutan dan kehutanan seutuhnya yang mampu mengintegrasikan keterkaitan fungsi-fungsi hutan dan lahan secara
komprehensif dan holistik dengan segala kerumitan dan tantangannya, lambat atau cepat akan menjadi garapan para rimbawan milenial.

Namun demikian perlu disadari adanya tantangan besar yang dihadapi dewasa ini dan kedepan setidaknya ada 3 (tiga) mega disrupsi :
Pertama, efek disrupsi teknologi yang berdampak sosial, ekonomi dan bahkan politik dari penerapan digitalisasi 4.0 untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kinerja. Munculnya peluang bisnis baru dari proses digitalisasi, secara simultan dapat mengakibatkan kebangkrutan (collapse) sektor/bidang tertentu dan bahkan mematikan incumbent dengan
segala implikasinya. Adanya konsep Society 5.0 dengan visi ‘teknologi harus memanusiakan manusia’, sangatlah tepat agar perkembangan teknologi digitalisasi tidak membahayakan manusia dan kemanusiaan.
Kedua, disrupsi teknologi dan dampak pandemi Covid-19 selama hampir 2 (dua) tahun ini menjadi keniscayaan. Sektor swasta termasuk kehutanan siap atau tidak siap dipaksa untuk bertransformasi dalam bisnisnya agar tetap bertahan ditengah pandemi yang dahsyat ini. Padahal dalam transformasi bisnis berlaku ‘one size does not fit all’, sehingga diperlukan
inovasi personal dan location specific.
Ketiga, disrupsi fenomena perubahan iklim sebagai dampak meningkatnya suhu bumi karena efek gas rumah kaca yang mengakibatkan kekeringan, anomali curah hujan, banjir, rob, tsunami, tanah longsor, puting beliung, degradasi keanekaragaman hayati, letusan gunung berapi, gempa bumi, wabah penyakit/hama, gagal panen dan terganggunya ketahanan pangan,
malnutrition, stunting, peningkatan jumlah penyakit, krisis energi dan air bersih.

Karena itu transformasi digital di sektor kehutanan 4.0 dengan segala kompleksitas dan tantangan disrupsi yang diuraikan di atas sudah tentu harus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi hijau. Yang dimaksud di sini adalah pertumbuhan ekonomi yang kuat, ramah lingkungan, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, penurunan tingkat kemiskinan dan inklusif secara sosial, sebagai antitesa model pembangunan konvensional yang mengandalkan praktek eksploitasi sumberdaya alam
semata.

Pertumbuhan ekonomi hijau juga dilaksanakan secara terintegrasi dengan upaya penyelamatan bumi guna mencegah dan menanggulangi pemanasan global antara lain : (i). mengelola hutan dan lahan secara lestari dan inklusif; (ii).menerapkan energi terbarukan dan mengurangi/meniadakan penggunaan energi fosil bertahap; (iii). menggunakan moda transportasi yang hemat energi; (iv). hemat penggunaan energi dan air bersih; (v). melakukan reduce, reuse, recycle dan recovery dalam proses produksi/industri, dan (vi). menanggulangi bencana alam hidrometeorologi, wabah penyakit dan
dampak-dampaknya.

Telah dirilis kebijakan dan strategi KLHK dalam mengantisipasi perubahan iklim global (adaptasi dan mitigasi) yaitu : (i). FOLU Carbon Net Zink 2030 (Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Lahan Lainnya), dengan lebih banyak emisi karbon (CO2) yang diserap daripada yang dilepaskan pada tahun 2030; dan (ii). LTS-LCCR 2050 (Strategi Jangka Panjang – Pembangunan Rendah
Karbon dan Berketahanan Iklim Tahun 2050). Biaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga Tahun 2030 telah dikalkulasi sebanyak Rp.3.997 Triliun untuk mencegah krisis iklim sebesar 29 % dengan upaya sendiri (BKF-Kementerian Keuangan, dalam Tempo, 2022).

Sementara itu komitmen pemerintah dan rakyat Indonesia kedepan adalah tercapainya sasaran Indonesia Emas 2045, Net Zero Emission 2050 (atau lebih cepat), selamat dari krisis iklim dan lolos dari perangkap negara berpendapatan kelas menengah (middle income trap).

 

Selengkapnya klik link berikut. 

Seminar Nasional: Transformasi Digital Mendukung Inovasi Kehutanan 4.0 untuk Ekonomi Hijau dan Penyelamatan Bumi

Post navigation


Leave a Reply