Bila berkunjung ke hutan2 jati di Jawa, tampak bahwa kawasan tersebut memiliki berbagai fungsi yang berperan sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan hutan di Jawa yang dikelola oleh Perhutani seluas 2.484.623 ha. Pada tahun 2022 kawasan hutan tersebut ditetapkan menjadi KHDPK yang dikelola oleh KLHK seluas 1.103.941 ha, sedangkan sisanya seluas 1.380.682 ha tetap dikelola oleh Perhutani. Meskipun demikian Perhutani masih berperan serta dalam pengelolaan dan pengusahaan kawasan KHDPK. Kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani mempunyai fungsi sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memperoduksi hasil hutan, sedangkan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Mempertimbangkan bahwa desa atau kampung terisolir yang berada di dalam kawasan hutan mencapai luasan 7.235 ha, jalan yang melintasi kawasan hutan seluas 225 ha, maka seluruh kawasan hutan tersebut harus dikelola agar dapat mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan ekologi.

Masihkah Kayu Jati Sebagai Emas Hijau dari Jawa? (3)

Terkait fungsi ekologi, hutan berfungsi sebagai pengatur tata air sebab memiliki daya tampung dan daya infiltrasi air yang tinggi. Hal ini karena ada serasah yang bila terurai dapat menggemburkan tanah sehingga air hujan mudah lolos ke dalam tanah. Banyaknya pori2 di dalam tanah, sebagian besar air mengalir sebagai aliran cepat dibawah permukaan tanah yang dapat menyumbangkan pada aliran puncak di sungai, sehingga aliran permukaan jarang terjadi pada lahan hutan. Namun bila tajuk dan lapisan serasah pelindung permukaan tanah hilang, tanah akan terbuka dan mudah tererosi oleh tenaga air hujan. Sebagian pori2 tanah akan tertutup sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan serta erosi. Terjadinya bencana kekeringan, krisis air serta berbagai bencana tanah longsor adalah disebabkan telah beralihnya fungsí hutan.

Fenomena pemanasan global juga terjadi karena adanya penumpukkan gas rumah kaca di atmosfer yang dipicu oleh aktivitas manusia berkaitan dengan pembakaran bahan bakar fosil dan konversi lahan hutan. Hutan merupakan fasilitator terbaik yang membantu bumi dalam menyeimbangkan iklim, mengurangi polusi, menyerap karbon dioksida, dan mengurangi pemanasan global. Namun kontribusi manusia dalam perubahan penggunaan lahan yang semula hutan menjadi APL melalui penggundulan hutan telah memberikan sumbangan besar dalam peningkatan potensi perubahan iklim. Hal ini dikarenakan hutan memegang dua peran sekaligus dalam pemanasan global, yaitu sebagai penyerap emisi dan penyumbang emisi, tergantung pada pengelolaan hutan tersebut.

Fungsi sosial hutan maksudnya adalah hutan dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keseimbangan lingkungan serta dinamika sosial budaya masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Melalui fungsi sosial hutan, (1) masyarakat dapat memperoleh hak dan berpartisipasi lebih aktif untuk memanfaatkan kawasan hutan tanpa memberikan dampak yang merusak, (2) mengurangi berbagai bentuk konflik tenurial seperti perselisihan/pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, (3) pengentasan kemiskinan, serta (4) mencegah peningkatan deforestasi dan degradasi hutan Kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan sangat bergantung pada hasil hutan bukan kayu untuk penghidupan mereka. Dalam system tumpangsari dan program PHBM yang diinisiasi oleh Perhutani, masyarakat dapat bercocok tanam palawija dan tanaman pangan di sela2 tanaman jati ber banjar2 sehingga mereka mendapat penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat2 an. Bahkan, ada yang berternak sapi dan kambing untuk menambah penghasilan

Secara alami kawasan hutan jati juga menyediakan makanan pengganti nasi pada saat paceklik dari tumbuhan seperti gadung, uwi dan iles2. Tumbuhan obat2 an tradisional seperti kencur, kunyit, jahe dan temu lawak juga ditanam oleh masyarakat dibawah tegakan jati. Banyak petani yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah. Daun jati, yang lebar berbulu menjadi pembungkus makanan dan barang2. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati. Belalang jati (walang kayu) yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat jati (Hyblaea puera) bahkan kerap dianggap sebagai makanan istimewa karena kelezatannya.

Selain fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan, hutan jati jawa memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi Perhutani. Ekspor gelondongan jati pada tahun 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar USD 640/m3. Pada tahun 1999 sekitar 80% pendapatan dari penjualan semua jenis kayu berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri, dan 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu juga berasal dari produk2 olahan jati, terutama yang berbentuk garden furniture. Pada tahun 2022 volume penjualan kayu jati sebesar 500.476 m3, sedangkan kayu rimba 425.291 m3, selanjutnya pada tahun yang sama pedapatan dari kayu adalah sebesar Rp 2,221 triliun dan pendapatan dari hasil hutan bukan kayu sebesar Rp 1,998 triliun. Hutan jati jawa masih memberikan kontribusi ekonomi yang besar kepada Perhutani serta memberikan manfaat sosial, ekonomi dan ekologi bagi masyarakat sekitarnya.

Info Puskashut: Masihkah Kayu Jati Sebagai Emas Hijau dari Jawa? (3)

Post navigation


Leave a Reply