Rencana Kementerian BUMN mendukung swasembada gula nasional mengancam luas kawasan hutan di Jawa yang dikelola Perum Perhutani. Masalahnya, program swasembada itu akan membuka akses 2,2 juta hektare (ha) kawasan hutan di Jawa untuk budidaya tebu melalui merger PT Perkebunan Nusantara III (holding perkebunan) dengan Perum Perhutani (holding kehutanan).
Padahal, sebelumnya, luas hutan Perhutani juga sudah dipangkas 1,1 juta ha oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) untuk dijadikan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), di antaranya untuk Perhutanan Sosial yang banyak mangkrak di lapangan. Penolakan pun mencuat.
Penolakan itu mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terarah (FDG) yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya, yang bertema “Merger Perum Perhutani dan PT Perkebunan Nusantara: Manfaat dan Mudharatnya”. Acara yang dibuka Ketua Umum Yayasan Sarana Wana Jaya Dr. Ir. Iman Santoso M.Sc ini digelar di Jakarta, Kamis (14/11/2024), dan dihadiri narasumber dari Anggota Komisi IV DPR, yakni Ir. KRT Darori Wonodipuro, MM dan Wakil Ketua Komisi IV DPR (F-Partai Golkar), Ir. Panggah Susanto, MM. Selain itu, hadir pula narasumer Rektor IKOPIN Prof. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D., APU serta Plt. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, yang diwakili oleh Haris Darmawan, S.Sos, M.Sc selaku Koordinator Kelompok Tanaman Semusim dam Tahunan.
FGD ini digelar menyusul pernyataan mengejutkan Menteri BUMN Erick Tohir dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VI DPR pada Senin (4/11/2024). “Kita sedang usulkan PTPN merger dengan Perhutani agar kita punya luas lahan 2,2 juta ha, sehingga kita bisa memetakan kembali mana yang mendukung swasembada pangan,” ujar Erick seperti diberitakan media massa.
“Kita tahu, kita mau swasembada gula tapi lahannya tidak cukup. Nah, ini yang harus kita remapping, apalagi beberapa industri sudah mulai kalah bersaing. Ini yang coba kita lakukan,” papar Erick.
Pernyataan Erick tentu mengejutkan. Pasalnya, dengan dalih swasembada pangan, terutama gula, Kementerian BUMN malah membidik lahan hutan di Jawa dengan cara mengawinkan dua holding BUMN. Padahal, untuk swasembada pangan dan gula, sudah ada proyek strategis nasional (PSN) berupa food estate (lumbung pangan) baru di Kabupaten Merauke, Papua Selatan dengan luasan 2,29 juta ha.
Hal ini dibenarkan Haris Darmawan. Menurut dia, berdasarkan roadmap percepatan swasembada gula yang dituangkan dalam Perpres No. 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang diteken Presiden Jokowi pada 16 Juni 2023, pemerintah akan menambah luas areal tanaman tebu seluas 700.000 ha. Lahan seluas itu berasal dari lahan perkebunan, lahan tebu rakyat dan lahan kawasan hutan.
Perpres No. 40 tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
PTPN III (holding) sendiri sudah menugaskan subholding-nya, PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau Sugar Co, untuk mencapai program swasembada gula konsumsi. Sebagai informasi, SGN sebagai subholding gula ditugaskan mengelola seluruh pabrik gula (PG) di lingkungan grup PTPN, yang saat ini berjumlah 36 PG di seluruh Indonesia.
“Mereka sedang gencar-gencarnya menyiapkan percepatan swasembada gula. Saya dapat informasi bahwa PTPN-nya sendiri akan membangun atau memperluas kebun tebu di Jawa,” papar Haris.
Ini yang jadi masalah. Mencari lahan sampai ratusan ribu hektare, apalagi di Jawa, bukan pekerjaan gampang, kalau bukan mustahil. Jalan pintas paling mudah adalah membidik kawasan hutan, yang kebetulan pengelolanya adalah BUMN: Perum Perhutani. Itu sebabnya, tidak aneh jika Menteri Erick pun berencana mengawinkan dua entitas bisnis yang ada di bawah kewenangannya tersebut.
Namun, rencana itu dianggap menjadi bencana buat keberadaan hutan di Jawa dan butuh kajian yang menyeluruh. “Forum ini tidak mendukung rencana merger tersebut. Kalau tetap nekat dimerger, maka penanggungjawabnya adalah yang melakukan merger itu dan dia harus bertanggung jawab secara hukum,” tegas moderator FGD, Dr. Harry Santoso, IPU saat membacakan kesimpulan hasil pertemuan.
Harry juga heran mengapa swasembada gula masih mengincar lahan di Jawa. Padahal, sejak era Presiden Soeharto, upaya peningkatan produksi gula nasional adalah mengembangkan perkebunan tebu di luar Jawa. “Kami Ketika di Ditjen INTAG, Dep. Kehutanan pernah melakukan kajian saat era Pak Harto, ternyata ada 1,5 juta ha lahan di kawasan hutan produksi di luar areal konsesi HPH\HTI yang memiliki kesesuaian lahan untuk budidaya tebu. Lahan itu ada di provinsi-provinsi Lampung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan dan Maluku,” papar Harry.
Rencana pengembangan tebu di luar Jawa dilakukan Soeharto karena waktu itu kekurangan bahan baku akibat program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) tidak berhasil di Jawa akibat tidak adanya insentif yang memadai buat para pemilik lahan. Selain itu, petani juga enggan karena timbangan berat dan harga tebu maupun rendemen lebih ditentukan oleh pabrik gula.
Komisi IV DPR Mempertanyakan
Penolakan keras juga disuarakan anggota Komisi IV DPR, Darori. “Penjelasan Menteri BUMN (di Komisi VI DPR) mengerikan karena Perhutani akan dilikuidasi oleh PTPN III. Rencana itu akan membuat lepas semua kawasan hutannya dari instansi kehutanan. Diberikan semua, dan tanggung jawabnya ada di PTPN,” ujar politisi dari Partai Gerindra ini.
Menurut Darori, rencana itu akan membuat pengelolaan hutan di Jawa makin berantakan. Apalagi, sejak adanya keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang menerbitkan SK No.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Dengan bermodal SK itu, kawasan hutan di Jawa seluas 1,103 juta ha dibetot dari Perhutani dan dijadikan KHDPK. Kawasan hutan yang dikelola Perhutani kini tersisa 1,38 juta ha, yang semua seluas 2,4 juta ha lebih berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2010
“Saya mempertanyakan mengapa KLHK berani mencabut areal 1,1 juta ha (yang dikelola Perhutani) hanya dengan SK Menteri. Lebih tinggi mana SK Menteri dengan PP (72/2010)?” kata Darori.
Dia mengaku tidak menolak program Perhutanan Sosial (PS), asal rakyat sejahtera dan hutannya lestari. Hanya saja caranya harus benar. Kini, yang terjadi di lapangan malah banyak masalah baru. Contohnya, Perhutanan Sosial di Muara Gembong. “Sudah dibuatkan jalan, jembatan, tapi PS-nya mangkrak. Yang jalan malah pengusaha tambak. Sementara di ujung pantai, pohon bakau ditebang jadi tambak udang. Lutung pun mati,” paparnya.
Tidak jalannya program PS juga terjadi di banyak daerah. Bahkan Darori punya bukti adanya lahan PS yang disewakan.
“Yang lebih prihatin lagi, PTPN III masih punya utang Rp.60 triliun, lalu mau digabungkan dengan Perhutani? Masih punya utang besar kok masih dikasih kerjaan baru? Apa tanah Perhutani mau dijual-jualin, karena tanah di Jawa kan mahal,” sergahnya.
Hal senada juga dikemukakan Prof. (Emeritus) Agus Pakpahan. Bicara korporasi, dia berpendapat akan sulit menggabungkan antara Perhutani dengan PTPN. “Jangankan dengan Perhutani yang sudah jelas beda, bahkan dengan sesama PTPN saja tidak ada pengalaman empiris bahwa penggabungan itu produktif,” ujar mantan Dirjen Perkebunan tahun 1998 ini.
Bahkan, merger akan membuat status PTPN — karena di-holding-kan — bukan PTPN lagi, mulai dari PTPN I sampai XIV, dan ini akan mudah untuk diprivatisasi. “Kalau ujungnya mau diprivatisasi ya memang ke sana. Tapi kalau penggabungan, butuh kajian yang cukup lama. Ada perbedaan tradisi dan lain-lain,” papar Agus.
Terkait swasembada gula, Agus mengaku Indonesia punya potensi besar dan tidak melulu gula harus dari tanaman tebu. Negeri ini bisa meniru Amerika, yang tahun 1974 menghentikan impor 4 juta ton gula karena harga yang tinggi di pasar dunia. Amerika lalu mengembangkan high fructose corn syrup. “Amerika punya jagung melimpah dan jagung ini diolah menjadi pemanis,” katanya.
Indonesia, katanya, juga punya calon penghasil gula dan jika diterapkan produksi gula bisa langsung surplus, yakni kelapa sawit. “Kita punya kebun kelapa sawit sampai 17 juta ha dan 6,3 juta ha kebun sawit rakyat. Mumpung ada program peremajaan (replanting) sawit, sebelum ditebang diambil dulu niranya. Satu pohon dalam satu hari bisa menghasilkan equivalence (setara) 5 kg gula padat. Kalau perlu jangan dipadatkan, tapi jadikan high fructose palm syrup.”
Dengan pemanfaatan tanaman sawit yang akan diremajakan, maka produksi gula Indonesia bisa melonjak melebihi produksi gula Thailand, bahkan Brasil. “Jadi tidak perlu bikin kebun tebu di Jawa. Kita punya potensi produksi gula dari sawit, tinggal ditangkap saja peluang tersebut,” tandasnya.
Berbahaya
Sementara itu pengamat kehutanan Dr. Ir. Haryadi Himawan mengingatkan bahwa apa yang disampaikan Menteri BUMN Erick Tohir soal rencana merger Perhutani dengan PTPN bisa berbahaya di lapangan. Hal itu pernah terjadi di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
“Di era Gus Dur, Perhutani diubah statusnya dari Perum menjadi PT. Ini langsung chaos di lapangan. Bayangkan, saat reformasi yang anarki dan menimbulkan chaos, terus begitu mau pulih, chaos lagi. Nah, sekarang yang ngomong (rencana merger) kan menteri BUMN, dan kalau didengar rakyat, ‘Wah ada bancakan, mumpung mau jadi bagian PTPN’. Ini faktanya karena ada rekam sejarah seperti itu,” papar mantan anggota Dewan Pengawas Perhutani ini.
Dia menilai, kebijakan pemerintah dalam 10 tahun terakhir dilakukan tanpa paradigma. Kebijakannya hanya membeli perhatian publik. Nyatanya, KHDPK dan Perhutanan Sosial mandek. “Saya bisa undang Pak Darori ke Gunung Slamet di Brebes. Hutannya sudah habis. Belum lagi di dataran tinggi Dieng,” ujarnya.
Hal senada disampaikan peserta FGD lainnya, Dadang Hendaris, mantan Kepala Unit Perhutani. Dia menyebut rencana merger ini bisa jadi bencana KHDPK jilid II. Karena KHDPK tidak disiapkan dengan baik, maka yang masuk adalah para penumpang gelap. “Hancur hutan itu,” katanya, seraya menyebut di KPH Gundih hampir 3.000 ha kayu putih hilang, berubah jadi jagung.
Selain itu, antara Perhutani dengan PTPN sangat berbeda, baik hukum maupun kebiasaannya. “Jika disatukan, ya tidak cocok,” katanya.
Sementara pengamat hukum, Dr. Drs. Budi Riyanto SH mempertanyakan dasar hukum yang jadi pembenar rencana merger Perhutani dengan PTPN. Jangan sampai, katanya, ujung-ujungnya adalah mencari lahan. “Ini yang menyakitkan seolah-olah Perhutani tidak produktif dan tidak optimal,” katanya.
Apalagi, jika dikaitkan dengan PP 72/2010, di mana tidak ada pengecualian yang namanya perkebunan dalam kegiatan Perhutani. Kalaupun terpaksa dilakukan, karena kepentingan politik, maka yang dilakukan adalah kerja sama dan itupun harus mengubah PP sekitar 1-2 pasal.
“Kalaupun terpaksa sekali merger, maka mergernya adalah merger vertikal. Artinya, pengelolaan ada di dalam kehutanan,” tandasnya.
Cukup Intensifikasi
Menjawab berbagai penolakan yang muncul di forum, Haris menyatakan bahwa Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian melihat merger Perhutani dan PTPN memang bukan jalan satu-satunya untuk pengembangan tebu dan mencapai swasembada gula. Dia menjelaskan, untuk mencapai swasembada gula konsumsi tahun 2028, ada beberapa langkah, yakni intensifikasi dan optimalisasi lahan yang ada di HGU perkebunan itu sendiri.
“Dari total luas perkebunan tebu yang ada seluas 504.776 ha, kita akan tempuh intensifikasi melalui rawat ratoon dan bongkar ratoon. Dari luasan itu, tiga-perempatnya adalah tebu rakyat dengan ratoon-nya rata-rata di atas 3. Padahal, kebun tebu yang sudah melewati ratoon 3 dan masuk ratoon ke-4, dia harus dibongkar karena produktivitasnya sudah menurun,” papar Haris
Menurut dia, produksi tebu saat ini masih 61,5 ton/ha karena hampir separuh atau bahkan 75% umurnya sudah tua. “Yang harusnya sudah bongkar di ratoon ketiga, tapi di lapangan bahkan ada yang sudah ratoon ke-10. Artinya, produktivitas sudah jauh menurun. Padahal, ratoon ke-4 sudah harus bongkar. Hanya saja bongkar ratoon memang butuh cost yang besar, dalam hal ini adalah benih,” paparnya.
Dengan strategi membongkar dan merawat ratoon, maka akan dihasilkan gula konsumsi 3,4 juta ton, yakni 1,4 juta ton dari rawat ratoon dan 2,02 juta ton dari bongkar ratoon. Produksi itu diperoleh dari angka produktivitas tebu 80 ton/ha dan rendemen 8,5%, sehingga kebutuhan gula konsumsi nasional sebesar 3,4 juta ton/tahun bisa tercukupi. Saat ini, produksi gula konsumsi dari 58 pabrik gula (37 BUMN, 21 swasta) baru 2,3 juta ton dengan rendemen 7,3%. Jika menghitung gula industri sebesar 5,7 juta ton, maka kebutuhan gula total nasional 9,1 juta ton atau defisit 6,8 juta ton.
Selain itu, peningkatan produksi bisa diperoleh dari optimalisasi Hak Guna Usaha (HGU) PTPN. “Terus terang saja, untuk intensifikasi HGU PTPN memang belum otimal. Apalagi kalau kita sandingkan dengan PG (pabrikl gula) yang dia bangun, itu belum maksimal. Masih banyak PG-PG yang idle akibat kekurangan bahan baku. Dengan optimalisasi lahan yang sudah ada, dalam hal ini 504.776 ha, masih ada lahan-lahan HGU yang tidak termanfaatkan. Jadi kita juga perluas areal HGU yang terbengkalai. Berarti ini adalah optimalisasi lahan HGU,” katanya.
Jika itu dilakukan, bahkan jika rencana pembangunan kebun tebu di Merauke seluas 500.000 ha lebih terlaksana, maka swasembada gula menjadi lebih mudah karena ada 9 PG baru yang bisa dibangun. “Rasa-rasanya nih, kalau Merauke terwujud dan targetnya tercapai penanaman tebu seluas 1 juta ha, maka swasembada gula tercapai,” katanya. Dalam hal ini, tak hanya gula konsumsi, tapi gula industri pun terpenuhi dari produksi dalam negeri.
Haris menegaskan, Ditjen Pekerbunan punya strategi tidak perlu ada penambahan luas areal perkebunan tebu untuk mencapai swasembada gula konsumsi. Cukup melalui intensifikasi dan optimalisasi lahan yang sudah ada. Apalagi, dari hasil pemeriksaan lapangan (ground checking) di Indramayu, Cirebon dan Subang, ternyata lahan Perhutani yang cocok untuk budidaya tebu tidak banyak.
“Potensi Perhutani sudah kami cek. Memang kesesuaian lahannya sesuai, tapi begitu kami lihat ke lapangan banyak lahan Perhutani yang kemiringannya 30% dan tidak mungkin dipakai budidaya tebu. Dari hasil ground checking kami kemarin, diperloleh lahan yang sesuai untuk budidaya tebu hanya 5.000-6.000 ha saja di Jawa,” urainya.
Kalaupun mau budidaya perkebunan tebu di Perhutani, dia menyebut cukup sampai di kerja sama saja secara lebih intensif. Pasalnya, dia melihat banyak juga lahan Perhutani yang sudah ditanami tebu. ***