PENGELOLAAN HUTAN, TANAH DAN AIR BERBASIS PENGELOLAAN DAS SERTA KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG WILAYAH

Oleh : Dr.Ir. Harry Santoso, IPU.
(Dewan Pakar Forum DAS Nasional, Wakil Ketua PP MKTI,
Ketua Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (PUSKASHUT), Yayasan Sarana Wana Jaya)

Hutan hujan tropis Indonesia memberikan ragam manfaat yang luar biasa besar sesuai fungsinya yaitu hutan konservasi (cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman buru), hutan lindung dan hutan produksi serta areal preservasi dan areal penggunaan lain yang berhutan. Manfaat tersebut adalah penyangga sistem kehidupan, pengontrol iklim, suhu udara dan pola cuaca, penyedia air dan oksigen (O2), penyerap gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (N2O), gas metan (CH4), hidrofluoro karbon (HFCs), sulfurhexafluorida (SF6) dll., keindahan alam (ekowisata), keanekaragaman hayati flora dan fauna (kayu dan bukan kayu bernilai tinggi, tanaman obat-obatan, pangan, hortikultura, habitat satwa dilindungi/tidak dilindungi, mikroorganisme dll.), biomaterial, biochemical, biofuel/bioenergi dll., tempat kehidupan penduduk asli, bahan tambang, pencegah banjir, longsor, erosi tanah dan kekeringan serta sumber mata pencaharian masyarakat.

Hutan juga berperan sangat penting dalam menjaga sumber air bersih yang berkelanjutan bagi kebutuhan masyarakat di hulu dan hilir daerah aliran sungai (DAS). Upaya konservasi hutan di Indonesia bahkan di seluruh dunia, merupakan keniscayaan untuk memastikan ketersediaan air bersih yang berkelanjutan baik kuantitas maupun kualitasnya bagi 4 generasi kini dan mendatang.

Tantangan kunci yang dihadapi oleh para pengelola hutan, tanah dan air adalah bagaimana memaksimumkan ragam manfaat hutan tersebut untuk kepentingan multi-nasional, multi-sektoral, lintas daerah dan masyarakat luas tanpa merugikan fungsi sumber daya hutan, sumber daya tanah, sumber daya air dan kelestarian lingkungan. Hal ini mengingat pula bahwa hutan di satu sisi merupakan ekosistem penyimpan dan penyerap karbon yang sangat penting, namun disisi lain hutan juga dapat menjadi sumber emisi karbon yang sangat besar apabila tidak diurus/ dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga terjadi deforestasi, degradasi hutan, kebakaran hutan dan lahan dll.

Peranan hutan dalam konservasi sumber daya air dalam ekosistem DAS tidak dapat digeneralisasi. Tipologi hutan dalam kaitan dengan karakteristik dan keberadaan hutan, kondisi tanah, geologi dan fisiografinya, menentukan peran hutan dapat berfungsi sebagai regulator air saja, atau sebagai regulator air dan penghasil air. Pada hutan yang memiliki laju penguapan (evapotranspirasi) relatif tinggi dan tidak mampu berperan sebagai penangkap kabut (cloud stripping), hutan tersebut hanya berfungsi sebagai regulator air. Sedangkan hutan yang laju penguapannya relatif rendah dan mampu menangkap kabut, hutan tersebut dapat berfungsi sebagai regulator air dan penghasil air. (Santoso, 2005).

Perhatian internasional yang sangat tinggi mengenai “krisis air” global pada masa-masa mendatang, terlihat jelas dengan diselenggarakannya secara rutin oleh Dewan Air Dunia (World Water Council/WWC) yaitu Forum Air Dunia (World Water Forum/WWF). WWF ini dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun sekali, sejak tahun 1997 dan terakhir Indonesia sebagai tuan rumah dalam WWF-10 bertemakan “Air untuk Kemakmuran Bersama” pada bulan Mei 2024 di Bali yang dihadiri wakil-wakil dari 180 negara. Keberadaan WWF ini dilatarbelakangi oleh semakin mendesaknya isu sumber daya air ditengah-tengah meningkatnya kebutuhan air global dan makin sulitnya akses menuju ketersediaan air yang berkualitas dan berkelanjutan serta mendesaknya mengatasi tantangan kelangkaan air, polusi dan perubahan iklim.

Krisis air global akan berdampak terhadap negara/ kelompok rentan. Global Commision on The Economics of Water (GCEW) menyatakan jika gagal mengatasi krisis air global, akan gagal menangani isu perubahan iklim dan gagal pula mencapai semua target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s). Data PBB, di tingkat global, 2,2 milyar orang hidup tanpa akses terhadap air minum yang aman. Di daerah perdesaan tahun 2022, 4 dari 5 orang kekurangan akses kepada layanan dasar air minum. (Marsudi, 2024).

Pada tahun 2022, Indonesia berada pada peringkat 140 dari 193 negara dalam Indeks Ketersediaan dan Kualitas Air Minum. Akses ke air bersih dan layak di Indonesia masih merupakan tantangan besar. Tahun 2022, terdapat sebanyak 35,3 juta orang yang tidak memiliki akses ke air bersih dan layak terutama mereka yang tinggal di perdesaan. (Waluyo, 2023).

Isu krisis air tak dapat dipisahkan dari meningkatnya tekanan penduduk terhadap sumber daya hutan dan lahan untuk memproduksi air dan pangan secara lestari, selain untuk kepentingan konservasi, keindahan alam, rekreasi dan manfaat lingkungan lainnya. Efektivitas penanganan masalah deforestasi dan degradasi hutan serta kepentingan pengelolaan hutan yang berkelanjutan juga tidak dapat dipisahkan dari seberapa jauh upaya konservasi tanah dan air berbasis pengelolaan DAS, hal ini merupakan isu kritikal dengan prioritas yang tinggi.

PENGELOLAAN HUTAN, TANAH, AIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Pengelolaan hutan lestari berbasis pengelolaan DAS secara terpadu adalah faktor kunci keberhasilan pengelolaan sumber daya air dan pendayagunaan sumber daya tanah didaerah di hulu dan/atau hilir DAS. Hutan alam yang utuh dan terkelola dengan baik umumnya akan mampu memproduksi air dalam kuantitas dan kualitas yang tinggi. Dalam keadaan tertentu, hutan juga dapat berkontribusi mengurangi puncak aliran badai (storm flow peaks) untuk tingkat intensitas hujan tertentu. Keberadaan hutan juga berperan penting dalam mengurangi tingkat aliran permukaan (run-off), erosi tanah dan sedimentasi di daerah hilir DAS.

Deklarasi hasil pertemuan para ahli internasional dari 19 (sembilan belas) negara di Shiga, Jepang tentang Hutan dan Air menekankan bahwa di daerah tangkapan air atau DAS yang berhutan akan mampu memasok proporsi air yang tinggi untuk kepentingan domestik, pertanian, industri dan lingkungan baik di daerah hulu maupun hilir DAS. (Forestry Agency, MAFF, The Gov. of Japan, 2002). Di Indonesia, luas pemakai air terbesar adalah sektor pertanian, dengan luas irigasi 7.145.200 Ha. (Kementerian PUPR, 2021 dalam Valiant, 2024).

Beberapa isu penting dari pertemuan para ahli di Shiga tersebut di atas bermanfaat sebagai bahan pembelajaran (lesson learned), karena cukup relevan dengan kondisi di Indonesia yaitu urgensi untuk :

  1. Meningkatkan pemahaman tentang interaksi biofisik antara hutan, tanah dan air dalam ekosistem DAS. Proses hidrologi di areal hutan pada skala DAS yang kecil telah banyak diketahui, beberapa hal yang belum banyak dipahami dengan baik adalah:
    a. Dampak eko-hidrologis dalam jangka panjang pada berbagai kondisi geomorfologi yang berbeda.
    b. Pengaruh hutan terhadap: (i) aliran air pada musim kemarau; (ii) drainase/perkolasi dalam (ground water recharge); (iii) mitigasi banjir
    c. Dampak hidrologi dari rehabilitasi lahan kritis dengan metode vegetatif (penanaman pohon dan rumput-rumputan).
    d. Dampak variasi iklim dalam periode 10 (sepuluh) tahunan terkait praktik-praktik pengelolaan hutan terhadap kondisi tata air/ hidrologi DAS.
  2. Mempromosikan pembangunan dengan menerapkan pendekatan holistik dalam pengelolaan hutan, tanah dan air dalam ekosistem DAS, untuk mengintegrasikan manfaatnya bagi kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Guna menjamin kelestarian sumber daya hutan dan air dalam jangka panjang, harus diintegrasikan ke dalam kebijakan dan program pembangunan nasional, pembangunan daerah dan kepentingan lokal. Dibutuhkan keterlibatan aktif baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi/ kabupaten/kota dan sektor swasta maupun masyarakat pengguna hutan, tanah dan air. Selain itu diperlukan monitoring dan evaluasi periodik atas dampak dari kebijakan dan program tersebut, sebagai umpan balik bagi menyempurnakan perencanaan dan implementasi program serupa ke depan.
  3. Mendalami dampak program pengelolaan sumber daya hutan, tanah dan air serta pengelolaan DAS terhadap :
    a. Kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan masyarakat
    b. Mata pencaharian masyarakat di hulu dan hilir DAS
    c. Biaya ekonomi yang ditimbulkan
  4. Mengembangkan mekanisme pengelolaan keterkaitan dan interaksi antara pengguna sumberdaya alam di hulu dan di hilir DAS menyangkut aspek ekonomi, sosial, kelembagaan dan lingkungan. Mekanisme kompensasi antara daerah hulu dan hilir DAS guna mewujudkan kesetaraan yang diharapkan, juga penting ditelaah. Terkait hal ini dapat dikembangkan pendekatan payment for environmental services (PES) yang meliputi 3 (tiga) prinsip yaitu:
    a. Pemerintah membayar (government pay principle), sepanjang menyangkut kewajiban pelayanan publik.
    b. Penerima manfaat membayar (beneficiaries pay principle), wajib bagi siapa pun yang telah menerima dan/atau mengambil manfaat sumber daya alam, dan
    c. Pencemar lingkungan membayar (polluters pay principle), wajib bagi para perusak lingkungan
  5. Diseminasi informasi yang mudah dipahami kepada para pembuat kebijakan (utamanya di daerah), manajer, pendidik, media massa dan masyarakat luas.

PENGELOLAAN DAS DAN PENDAYAGUNAAN SUMBERDAYA AIR

Degradasi sumber daya alam hutan, tanah dan air dipandang sebagai kendala besar terhadap pembangunan pertanian yang berkelanjutan di banyak negara berkembang. Khususnya, kelangkaan air diketahui sebagai tantangan utama untuk mewujudkan ketahanan pangan dan penurunan tingkat kemiskinan sehingga diperlukan pengelolaan yang efektif melalui pendekatan yang tepat guna serta kebijakan yang sesuai.

Telah dimaklumi secara luas bahwa pendayagunaan sumber daya lahan secara lestari hanya akan dapat dicapai dengan menerapkan sistem manajemen pengelolaan lahan, air dan vegetasi (baca : hutan) dengan pendekatan terpadu. Bagi Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis, Pengelolaan DAS didukung partisipasi aktif para pihak terkait (lintas sektor, lintas daerah dan lintas disiplin ilmu) dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan telah diterima secara luas sebagai pendekatan yang efektif untuk mengatasi pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya air secara berkelanjutan.

Pengelolaan hutan dan pengelolaan DAS sangat berkaitan erat. Pengelolaan hutan di hulu DAS sangat mempengaruhi pendayagunaan sumber daya air di hilir DAS. Keterkaitan antara hulu dan hilir DAS serta interaksi dan implikasinya merupakan perspektif masalah pengelolaan DAS yang kompleks. Untuk memperbaiki kondisi tata air pada suatu DAS maka praktik-praktik pengelolaan hutan di hulu DAS yang baik merupakan faktor kunci dari keberlanjutan pengelolaan sumber daya air di DAS tersebut. Secara teknis, hal ini akan menyangkut dimensi ekonomi, sosial, kelembagaan dan lingkungan.

Namun demikian dalam praktiknya kebijakan dan program pengelolaan DAS di Indonesia masih menghadapi banyak hambatan dan tantangan, terutama karena persoalan ego sektoral dan ego kedaerahan dalam sistem desentralisasi pemerintahan dewasa ini. Berhubung tidak ada satu kementerian/ lembaga yang diberi tugas mengelola DAS secara utuh dari hulu hingga hilir, maka kuncinya adalah keberhasilan dalam melaksanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas K/L dan daerah provinsi/kabupaten/kota secara nyata, inklusif, efektif dan berkelanjutan.

KONSERVASI TANAH DAN AIR SERTA PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA

Teknologi pengelolaan DAS serta konservasi tanah dan air awal sekali diterapkan di Indonesia pada Upper Watershed Management and Upland Development Project (di bawah Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian) bantuan FAO/UNDP (TA-INS/72/006) di Solo tahun 1973-1978. Proyek ini sebagai upaya menanggulangi dampak banjir besar S. Bengawan Solo tahun 1966, para ahli dari negara-negara maju (USA dll.) mengembangkan teknologi pengelolaan DAS mikro, teknik konservasi tanah dan air (KTA) dengan metode sipil teknik dan vegetatif di wilayah DAS Solo Hulu.

Di daerah lain, dengan bantuan pendanaan dari USAID dikembangkan teknik model farm, KTA dll. pada Proyek Citanduy I dan II bantuan dari USAID. Selain itu juga usaha tani konservasi pada Upland Agriculture and Conservation Project (UACP) di DAS Jratun Seluna (Jawa Tengah) dan DAS Brantas (Jawa Timur).

Kemudian melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (PHTA) di bawah koordinasi Departemen Pertanian, pada DAS-DAS prioritas di Indonesia menjadi sasaran proyek Inpres Bantuan Reboisasi dan Penghijauan sejak 1976/1977 hingga 1991/1992 yang melibatkan 7 (tujuh) departemen/lembaga. Selanjutnya dengan dukungan dana loan dari World Bank dilaksanakan National Watershed Management and Conservation Project di DAS-DAS kritis di Indonesia, sebagai implementasi dari hasil kajian pada Upper Cimanuk Watershed Conservation and Development Project (dana grant World Bank) di DAS Cimanuk Hulu.

Dari proyek TA-INS/72/006 tersebut di atas, pemerintah (c/q Departemen Kehutanan) membentuk lembaga pengkajian teknologi pengelolaan DAS yaitu P3DAS Solo yang kemudian beralih menjadi Balai Teknologi Pengelolaan DAS. Selain itu sejak tahun 1976/1977 dilaksanakan Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan DAS (P3RPDAS) di seluruh Indonesia, untuk mendukung pemerintah daerah (provinsi/kabupaten) dalam pelaksanaan INPRES Bantuan Reboisasi dan Penghijauan. P3RPDAS kemudian dilembagakan dan berturut-turut berubah menjadi Balai/Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), Balai Pengelolaan DAS dan terakhir menjadi Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung, sebagai unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Departemen/Kementerian Kehutanan. (Santoso, 2019).

Sebagai tindak lanjut dari PP No.37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, Kementerian LHK menetapkan dari sebanyak 17.076 DAS di Indonesia, terdapat 2.149 DAS yang kondisinya perlu dipulihkan dan sebanyak 14.927 DAS kondisinya perlu dipertahankan, dengan beberapa arahan kegiatan.

Berbagai program berskala nasional telah banyak dilakukan pemerintah (Dephut/Kemenhut/ KemenLHK) selain INPRES Reboisasi dan Penghijauan antara lain Kredit Usaha Tani Konservasi DAS (KUK DAS), Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/GERHAN), Gerakan Penanaman 100 Ribu Pohon hingga 1 Milyard Pohon, dan program RHL lainnya.

Namun demikian belum sepenuhnya mampu memperbaiki kondisi biofisik DAS-DAS kritis dengan tutupan vegetasi/hutan yang optimal, terbukti bencana alam banjir dan tanah longsor masih sering kali terjadi dan menjadi ancaman serius ke depan. Lebih jauh fungsi dan peran DAS-DAS prioritas di Indonesia  sebagai ekosistem alami pengatur/pengendali tata air,  belum memuaskan. Isu-isu berikut ini menjadi sangat  relevan untuk ditangani dengan lebih serius ke depan (Santoso, 2014 dan 2019) yaitu :

  1. Kebijakan Pengelolaan DAS idealnya mencakup 3 (tiga) dimensi yang saling terkait dan saling menunjang, semestinya dikenali dengan seksama dan diimplementasikan secara efektif yaitu:
    a. Pengelolaan DAS sebagai suatu pendekatan  ilmiah berbasis IPTEK dan model analisis  yang applicable dan bersifat location specific.
    b. Pengelolaan DAS sebagai suatu proses manajemen (perencanaan, pendanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan) yang terstruktur, melembaga serta terkoordinasi, dan
    c. Pengelolaan DAS sebagai keterkaitan aktivitas lintas kementerian/lembaga (K/L), lintas pusat-daerah dan lintas disiplin secara selaras dan harmonis
    Ketiga dimensi tersebut di atas belum diimplementasikan secara nyata, konsisten dan terukur berdasarkan kriteria dan indikator kinerja tertentu.
  2. Kegiatan pengelolaan DAS perlu dilakukan secara utuh dari hulu hingga hilir DAS melibatkan  tanggung jawab multi sektor dan lintas wilayah administrasi secara terpadu, bukan dipersepsikan/ diposisikan sebagai tugas satu departemen/  kementerian saja (baca : kehutanan) seperti yang terjadi selama ini. Lebih jauh pengelolaan DAS DAS prioritas selayaknya ditetapkan sebagai  Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diakomodir dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
  3. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi  (TIK) serta internet of things (IoT) dewasa ini selayaknya dimanfaatkan untuk membangun  sistem informasi manajemen daerah aliran sungai  (SIM DAS) 4.0, guna membenahi tata kelola DAS DAS di Indonesia yang sangat kompleks, lintas  sektor dan lintas wilayah administrasi. Hal ini guna mengefektifkan penanganan yang masih bersifat  manual, partial, belum sistemik dan terstruktur  dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah.
  4. Koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi  (KISS) lintas kementerian /lembaga/wilayah administrasi dalam pengelolaan DAS perlu  ditingkatkan sehingga data/informasi dan teknik  pengelolaan DAS yang telah ada dan tersebar di  berbagai instansi/lembaga pemerintah dan non  pemerintah dapat didayagunakan secara maksimal oleh semua pihak yang memerlukannya.

PERAN PENGELOLAAN DAS DALAM  PENATAAN RUANG WILAYAH 

Kebijakan pengelolaan DAS seyogyanya tidak perlu  dipertentangkan dengan kebijakan penataan ruang  wilayah. Melainkan justru perlu diposisikan saling melengkapi dan saling mendukung, karena keduanya  merupakan strategi pembangunan wilayah yang harus seiring dan sejalan. 

Pengelolaan DAS berkepentingan dengan ekosistem alamiah daerah tangkapan air yang diperlukan untuk mengurus optimalisasi kondisi tata air DAS dan mitigasi dampak yang terjadi akibat terganggunya kondisi lingkungan guna mewujudkan stabilitas pembangunan nasional dan pembangunan daerah.

Sedangkan penataan ruang wilayah berbasis wilayah administrasi provinsi/ kabupaten/kota guna mewujudkan optimalisasi struktur ruang (susunan pusat-pusat permukiman dan jaringan sarana/ prasarana sosial ekonomi) dan pola ruang wilayah (peruntukan KL dan KB). Di sini proses manajemen berlangsung dalam sistem administrasi pemerintahan  untuk melaksanakan pembangunan nasional dan pembangunan daerah. 

Konteks penataan ruang wilayah sebagai suatu sistem meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 

Data dan informasi yang terhimpun dalam rencana pengelolaan DAS sangat penting dan memperkaya  informasi untuk perencanaan tata ruang wilayah. Sebagai contoh data kondisi biofisik/karakteristik DAS dan aspek sosial-ekonomi-kelembagaan yang  terkait, akan melengkapi kedalaman informasi pola  tata ruang baik di kawasan lindung (KL) maupun di kawasan budidaya (KB) pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota (RTRWP/K/K). Data DAS yang dimaksud antara lain bentuk, luas dan  sebaran DAS, keadaan tata air, tata guna tanah, tata  guna hutan, tutupan hutan/lahan, lahan kritis, debit  sungai, koefisien aliran, status/penguasaan lahan dll. Telah banyak contoh, rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota (RTRWP/K/K) meskipun telah ditetapkan dalam peraturan daerah (PERDA) ybs., dalam praktiknya belum menjamin wilayah ybs. terhindar dari bencana alam banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi.  

Kegiatan pengelolaan DAS dalam pemanfaatan  ruang untuk berbagai sektor di KL dan KB yaitu  teknik konservasi tanah dan air (KTA) dengan metode vegetatif, sipil teknis dan/atau kimiawi, berkontribusi nyata terhadap perbaikan dan kestabilan ekosistem ruang sesuai fungsi ruang tersebut. Hal ini memberikan  keyakinan bahwa introduksi kegiatan apa pun di KL dan KB sesuai fungsinya, jika dibarengi teknik KTA  akan bermanfaat guna mencegah terlampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah yang bersangkutan. Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2014 tentang KTA, telah diatur sasaran KTA di KL dan KB  dilaksanakan berdasarkan unit DAS, ekosistem dan  unit lahan. Lingkup kegiatan KTA ditujukan untuk  pelindungan, pemulihan, peningkatan, pemeliharaan  pada lahan prima, lahan kritis dan lahan rusak.

Kontribusi kegiatan pengelolaan DAS dalam  pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yaitu:

  1. Pemantauan terhadap perubahan kondisi tata  air DAS bermanfaat memberikan input bagi  aksi dini pencegahan dan penanggulangan terjadinya bencana alam banjir dan tanah longsor, serta kontinuitas pasokan air bersih  di wilayah tersebut.
  2. Evaluasi terhadap efektivitas kegiatan KTA dalam pemanfaatan dan penggunaan hutan/ lahan utamanya di hulu DAS serta dampaknya,  merupakan input data yang penting ketika  mengevaluasi pemanfaatan ruang di KL dan KB di wilayah yang bersangkutan.
  3. Laporan hasil pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS di KL dan KB  butir-1 dan 2 di atas, sangat bermanfaat  sebagai bahan informasi bagi Badan  Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang beranggotakan dinas/instansi terkait  dalam menganalisis terjadinya penyimpangan  pemanfaatan ruang wilayah pada suatu lokasi/ DAS, apakah melampaui daya dukung dan  daya tampung lingkungan, serta sekaligus  untuk merumuskan solusinya.

 

PENUTUP

Keberhasilan pengelolaan hutan, tanah dan air di Indonesia untuk berbagai kepentingan, tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan digitalisasi sistem informasi manajemen (SIM) 4.0 DAS-DAS prioritas secara terstruktur, terintegrasi dan profesional pada tingkat pusat dan daerah di seluruh Indonesia.  Hal ini karena masalahnya sangat kompleks, di  mana Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan tinggi, kondisi geomorfologi rentan terjadi  banjir, tanah longsor, erosi dan kekeringan, serta  aktivitas masyarakat yang potensial menyebabkan degradasi hutan dan lahan. Hal ini merupakan  prasyarat keharusan (necessary condition), namun belum mencukupi. Diperlukan prasyarat kecukupan (sufficient condition) yang juga sangat penting adalah keberhasilan dalam mengintegrasikan kebijakan  dan kegiatan pengelolaan DAS dimaksud ke dalam  proses perencanaan tata ruang (RTRWN, RTRWP, dan RTRWK/K), implementasi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah (BKPRN dan BKPRD) di tingkat pusat dan daerah. 

Artikel selengkapnya dapat dibaca dan diunduh pada link berikut:

DAFTAR PUSTAKA 

Forestry Agency, MAFF, The Gov. of Japan, 2002.  International Expert Meeting on Forests and Water.  Proceedings of the Meeting. FAO, ITTO, UNESCO and WWC. 

Santoso, H. 2019. Smart Watershed : Gagasan dan Urgensi untuk Meningkatkan Pelayanan dan  Kesejahteraan Masyarakat. Buku Bunga Rampai  MKTI. PP MKTI. 

Santoso, H. 2014. Refleksi Kinerja Pengembangan dan  Implementasi Teknik Konservasi Sumberdaya Lahan  dan Hutan dalam Pengelolaan DAS Terpadu dan  Mitigasi Bencana. Seminar BTP DAS, ICRAF, HITI dan MKTI di Fakultas Pertanian, UNIBRAW. 

Santoso, H. 2005. Kebijakan Pengelolaan DAS untuk  Kelestarian Hutan dan Lahan serta Penataan Ruang.  Buku Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Tanah dan Air  Berbasis DAS. Bunga Rampai Pemikiran Mendukung  Pembangunan Hutan Berkelanjutan. Wana Aksara.  

Valiant, R. 2024. Pengelolaan Lahan dan Air Menghadapi  Perubahan Iklim : Tekanan Sektoral Ketersediaan Air  dan Lahan. Webinar MKTI.  

Waluyo, D., 2023. Bersiap Meningkatkan Akses Air Bersih. Indonesia.Go.Id

Leave a Reply