20 Juta Ha Hutan Dicadangkan untuk Pangan dan Energi

Kekhawatiran rimbawan senior tentang ancaman terhadap hutan akibat dari program pangan dan energi pemerintah terbukti. Belum usai food estate di Merauke yang akan membabat 2 juta ha lebih kawasan hutan, pemerintah mengungkapkan akan ada 20 juta ha hutan yang dicadangkan untuk program pangan, energi dan air.

Rencana besar itu termasuk memperluas lumbung pangan (food estate) sampai ke tingkat desa.

Hal itu diungkapkan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/12/2024). Menurut Raja, konsep baru ini akan menjadi dukungan langsung bagi program Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air,” katanya.

Dalam pembicaraan informal bersama Presiden Prabowo Subianto serta Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dia menyebut salah satu fokus utama adalah budidaya padi gogo, yaitu padi yang dapat tumbuh di lahan kering.

Menhut memperkirakan ada potensi sekitar 1,1 juta ha lahan yang bisa menghasilkan beras hingga 3,5 juta ton/tahun. Jumlah ini setara dengan total impor beras Indonesia pada 2023.

Selain itu, pemerintah juga berencana menanam pohon aren sebagai sumber bioetanol.

“Satu hektare aren mampu menghasilkan 24.000 kiloliter bioetanol. Jika kita menanam 1,5 juta ha aren, kita bisa menghasilkan 24 juta kiloliter bioetanol, yang dapat menggantikan impor BBM sebesar 26 juta kiloliter,” katanya seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, konsep ini akan mendukung ketahanan pangan nasional dengan memperluas food estate hingga ke tingkat desa. “Ini bukan hanya food estate besar, tapi juga lumbung pangan kecil di kabupaten, kecamatan, bahkan desa,” katanya.

Meskipun tugas utama swasembada pangan dan energi tetap berada di Kementerian Pertanian dan ESDM, Kementerian Kehutanan akan berperan sebagai penyedia lahan untuk program ini.

Revisi UU 41/1999

Rencana besar pemerintah dengan dalih pangan dan energi ini sudah diperingatkan rimbawan senior beberapa hari sebelumnya karena akan memakan korban kawasan hutan. Itu sebabnya, revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendesak dilakukan untuk memasukkan kembali batasan luas hutan minimal 30% untuk setiap daerah aliran sungai (DAS) atau pulau.

“Angka keramat” luasan hutan minimal 30% dihapus melalui UU Cipta Kerja (UU. No. 6 Tahun 2023 tentang Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja). Padahal, angka minimal tersebut punya sejarah panjang dan sangat vital mengamankan kawasan hutan.

Seperti diketahui, UU No.41/1999 pasal 18 ayat (1) dan (2) menyebutkan “Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.”

Namun, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut dan hanya menyebutkan “Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau. Ketentuan lebih lanjut mengenai luas Kawasan Hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

“Kita khawatir, takut, bahkan sudah ada buktinya, ketika masalah pangan dan energi menjadi program prioritas pemerintah,” kata Ketua Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ), Harry Santoso dalam acara diskusi kelompok terarah (FGD) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kedua UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Program Legislasi Nasional 2024-2029.

Dia menyebut program lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah — kawasan yang pernah jadi proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektare era Soeharto. Belum lagi di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang hasilnya tidak sesuai harapan. “Sekarang malah ada food estate Merauke yang akan membuka kawasan 2 juta ha lebih. Itu kawasan hutan. Jadi, kita khawatir dengan hal-hal seperti itu, sehingga mengapa perlu digarisbawahi perlunya kawasan hutan minimal 30%,” tandas Harry di Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Seperti diketahui, UU 41/1999 memang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2024-2029 sebagai usulan DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk diubah. DPR dalam situsnya menyebutnya sebagai RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diusulkan pada 19 November 2024. UU 41/1999 ada di urutan 99 dari 176 UU dan RUU Prolegnas 2024-2029.

Kekhawatiran itu juga disuarakan Titus Sarijanto, mantan pejabat Kemenhut. Menurutnya, angka 30% itu sudah sangat berguna untuk membatasi jangan sampai luas hutan di bawah 30%. Dia juga mengaku khawatir jika tidak ada batasan minimal tadi, terutama dengan pesatnya program food estate. “Apa perlu kita menambah produksi pangan dengan (membuka) food estate? Mengapa tidak memanfaatkan HTI, tumpang sari, bahkan di perkebunan sawit pun bisa saat tanaman masih belum besar,” tandasnya. AI

Sumber artikel: Agro Indonesia

 

Leave a Reply