Yayasan Sarana Wana Jaya Dukung Program Pangan dan Energi Pemerintah

Optimalisasi penguatan ketahanan pangan dan energi di kawasan hutan: Mungkinkah? Jawabannya tegas: Bisa! Karena itu, Yayasan Sarana Wana Jawa (SWJ) pun akan mendukung program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Pembina Yayasan SWJ Dr. Ir. Boen M. Purnama yakin bahwa kawasan hutan dapat mendukung program Asta Cita. Keyakinan itu muncul setelah mendengar pemaparan Sesditjen (Sekretaris Direktur Jenderal) Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, Enik Eko Wati S.Si, ME, MSE dalam webinar yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan SWJ di Jakarta, Kamis (27/2/2025).

Puskashut setiap bulan menyelenggarakan kegiatan rutin diskusi yang membahas berbagai isu penting dengan mengundang narasumber yang kompeten di bidangnya.

Webinar kemarin menghadirkan Enik selaku Sesditjen Perhutanan Sosial mewakili Dirjen Perhutanan Sosial Dr. Ir. Mahfudz M.P. yang berhalangan hadir. Selain Enik, hadir pula Dr. Betha Lusiana mewakili Dr. Sonya Dewi, Direktur wilayah Asia (CIFOR/ICRAF) selaku pembicara, serta Purwadi Soeprihanto S.Hut ME. IPU selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).

Acara webinar dipandu langsung Dr. Ir. Harry Santoso, IPU selaku Ketua Puskashut, yang didampingi sekretaris Puskashut Dra. Setiasih Irawanti M.Si. Acara dibuka Dr. Ir. Iman Santoso M.Sc selaku Ketua Umum Yayasan SWJ sekaligus Pimpinan Webinar. Acara yang berlangsung tiga jam itu ditutup Dr. Ir. Boen M. Purnama mewakili ketua pembina Yayasan SWJ.

Boen sangat percaya penggunaan kawasan hutan 20 juta hektare (ha) yang disediakan untuk program ketahanan pangan, energi serta air bukanlah deforestasi kawasan hutan. Untuk itu, YSWJ akan mendukung sepenuhnya program pemerintah sekarang.

Dia memberi contoh sudah banyak kelompok masyarakat pemanfaat lahan hutan melalui program Perhutanan Sosial yang mendapat penghargaan emas dan akan terus bertambah. Justru yang perlu dikaji dan dipikirkan demi pencapaian ketahanan pangan dan energi di kawasan hutan adalah uluran tangan pemerintah, terutama dalam hal pemberian subsidi untuk energi terbarukan.

Hanya saja, Boen tetap mengingatkan kepada pemangku kepentingan sektor kehutanan agar tetap berhati-hati dalam masalah penggunaan atau pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini mengingat hutan merupakan penyeimbang ekosistem alam yang harus tetap dijaga serta dilestarikan keberlanjutannya.

Dr. Ir. Iman Santoso selaku Ketua Umum Yayasan SWJ menjelaskan bahwa Yayasan SWJ didirikan tahun 1973 oleh rimbawan angkatan 45. Yayasan dibentuk nonprofit dan tetap sebagai mitra kehutanan. Dengan mengemban misi mengkaji hutan dan ekosistemnya. Soal program pemerinatah, Yayasan SWJ mendukung penuh guna mensukseskan program Asta Cita Kabinet Merah Putih, terutama untuk mewujudkan kemandirian pangan dan energi di Indonesia.

YSWJ sebagai perkumpulan rimbawan senor tetap memegang falsafah hutan sebagai penyeimbang kehidupan yang harus diselamatkan, termasuk melalui praktik agroforestri yang baik. Jangan sampai kawasan hutan digunakan secara sembarangan, mengingat peran hutan menyimpan fungsi dan peran bagi kehidupan manusia dan alam semesta.

Lima program Kehutanan
Menurut Sesditjen Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan (PSKL), Enik Eko Wati, program prioritas jangka menengah (2025-2029) Kementerian Kehutanan adalah mewujudkan Asta Cita pada poin (2), yakni untuk memantapkan sistem pertahanan keamanan nasional dengan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, serta ekonomi kreatif, ekonomi hijau dan ekonomi biru.

Untuk mencapai program tersebut, Menteri Kehutanan telah menetapkan lima program kerja. Kelima program kerja itu meliputi: Pertama, digitalisasi layanan transparansi, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi tata kelola. Kedua, penguasaan hutan yang berkeadilan. Ketiga, hutan sebagai sumber swasembada pangan; dan keempat menjadikan hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia dengan Indonesia memiliki kebijakan satu peta (one map policy).

Dengan demikian, Perhutanan Sosial telah masuk dalam program kerja untuk mensukseskan program strategis dalam mendukung ketahanan negara melalui terwujudnya swasembada pangan nasional dan energi baru terbarukan.
Dasar hukumnya, kata magister ekonomi UI ini, adalah UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja (Pasal 29a dan 29b. PP No:23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan (Bab IV). Permen LHK 9/2023 tentang pengelolaan perhutanan sosial pada KHDPK. Peraturan Presiden No28/2023 tentang perencanaan terpadu percepatan pengelolaan perhutanan sosial. Kepmen LHK No:109/2024 tentang mekanisme pengembangan pengelolaan perhutanan sosial.

Adapun Perhutanan Sosial sesuai Permen LHK No.9 Tahun 2021 berbunyi sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau untuk meningkatkan kesejahteraan keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya sedangkan taerget pemberian akses perhutanan sosial mencapai 12,7 juta ha.
Adapun Perhutanan Sosial dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) ketahanan pangan dan energi melalui perhutanan berbasis masyarakat sesuai Perpres No.12 tahun 2025 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN). Sedangkan target yang ingin dicapai angka kemiskinan 0% dari target tahun 2029 kini baru mencapai 80,79% di 298 kabupaten/kota dan 2.250 desa serta 8.001 kelompok. Sasarannya adalah meningkatkan ketahanan pangan, kemandirian desa, komoditas usaha KTH serta potensi lahan pangan di kawasan hutan.

Capaian program Perhutanan Sosial hingga Februari 2025 meliputi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) 15.105 kelompok dan luasan kelompok usaha hutan adat 207 KUPS adat serta capaian sekitar 4.300 pendamping.

Prinsip pelestarian hutan dan sektor kehutanan mendukung ketahanan pangan, energi, dan air melalui pola agroforestri, silvopastura dan silvofishery yang bertujuan meningkatkan produktivitas hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan. Tujuannya agar hutan sebagai sumber pangan dan energi melalui pengelolaan yang berkelanjutan sekaligus membantu pengentasan kemiskinan di sekitar hutan.
Adapun komoditas agroforestri KUPS adalah startup PS yang merupakan kelompok usaha yang dibentuk oleh kelompok PS yang akan dan telah melakukan usaha, baik usaha dalam pengelolaan HHK, HHBK maupun lingkungan — yang salah satunya adalah ekowisata.

Birokrasi sulit

Sementara Dr Betha Lusiana dari CIFOR-ICRAF memperkenalkan lembaganya tentang CIFOR, yang merupakan sebuah lembaga penelitian internasional kehutanan dan ICRAF sebuah lembaga yang menghimpun peneliti pertanian internasional. Kedua lembaga adalah lembaga penelitian internasional di bawah naungan CGIAR. Sejak tahun 2019, CIFOR dan ICRAF bergabung dan berkantor di Bogor, Indonesia dan Nairobi, Kenya.

Menyinggung permasalahan ketahanan pangan (food security), menurut Betha sesungguhnya bukan hanya menjadi masalah Indonesia, tapi sudah jadi isu internasional. Misalnya soal nihil kelaparan menjadi beban moral global. Komitmen global atau sustainable development goals (SDG) yang telah diratifikasi oleh 193 negara, termasuk oleh Indonesia.

Menurut catatan, dari 82 juta orang ternyata yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan mencapai 8,5%, dan kekurangan gizi 20%, serta balita mengalami stunting (gizi buruk). Bahkan berdasarkan Global Hunger Index tahun 2023, Indonesia berada pada urutan ke-77 dari 125 negara dengan nilai indeks di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik.

Ketahanan pangan di Indonesia belum merata dan masih perlu ditingkatkan. Masih menurut catatan Badan Pangan Nasional (Bapanas), dari 514 kabupaten/kota yang ada, sebanyak 68 kabupaten/kota masih rawan pangan atau 13%.

Menyinggung aspek ketahanan pangan, Betha menguraikan, dari sisi ketersediaan — baik produksi dan produktivitas lahan pertanian di beberapa wilayah di dunia — telah menurun dikarenakan perubahan iklim lokal dan degradasi lahan dalam skala luas.

Di sisi lain, akses pangan tidak merata karena kemiskinan dan faktor geografis yang terkait erat dengan distribusi bahan makanan bisa menjadi kendala terutama bahan makan pokok bila harus didatangkan dari sentra produksi yang secara geografis berjauhan letaknya dari area yang membutuhkan pangan tersebut. Sedangkan keamanan dan kualitas disebabkan oleh keterbatasan jenis yang dihasilkan serta kendalanya adalah akses, budaya, kebiasaan sanitasi serta pemahaman pola pangan sehat.

Membahas soal pemasalahan ketahanan energi, Betha mengemukakan ketahanan energi Indonesia menurut Dewan Energi Nasional, Indonesia berada di penilaian 6,6 yang termasuk katagori Tahan (6-7,99). Sementara menurut World Energy Index para periode 2023, Indonesia berada di urutan ke-58 dari 127 negara. Penilaian itu berdasarkan tiga dimensi, keamanan energi, kesetaraan energi dan keberlanjutan lingkungan.

Kemudian Betha menguraikan soal permasalahan ketahanan energyi fosil, terletak pada cadangan batubara dan gas melimpah sehingga lebih mudah untuk mengandalkan energi fosil dibandingkan energi terbarukan. Apa lagi dengan adanya subsidi bahan bakar fosil membuat bahan bakar konvensional lebih murah dibandingan energi bersih. Selama ini infrastruktur energi masih didominasi berbasis pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan berbahan bakar batubara.

Di samping itu juga masih lambatnya transisi ke energi terbarukan karena regulasi yang belum stabil dan sering berubah-ubah sehingga investor enggan berinvestasi. Biaya awal untuk pengembangan energi terbarukan masih tinggi dibandingkan energi fosil. Insfrustruktur untuk energi terbarukan seperti jaringan transmisi dan penyimpanan energi masih minim.

Kesenjangan akses energi di wilayah geografis Indonesia yang luas dan terdiri dari kepulauan menyebabkan distribusi energi tidak merata  sehingga investor di bidang ini masih enggan bergerak berinvestasi khususnya di daerah terpencil.

Kendala lain, belum lagi seringnya terjadi perubahan kebijakan energi sehingga investor dan industri sulit membuat perencanaan dalam jangka panjang. Proses proyek energi terbarukan masih komplek dan birokratis serta masih ada konflik kepentingan antara energi fosil dan energi bersih.

Di samping itu juga masih adanya efisiensi yang rendah dan masih banyak industri dan rumah tangga yang boros energi karena kurangnya kesadaran dan teknologi hemat energi. Infrastruktur transparasi di Indonesia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil serta kurangnya insentif untuk penggunaan teknologi hemat energi seperti kendaraan listrik dan bangunan hijau.

Padahal, penggunakan batubara sebagai sumber utama energi listrik menghasilkan emisi karbon tinggi. Sisi lain kurangnya mitigasi dampak lingkungan dalam pengembangan infrastruktur energi dan konflik lahan dengan masyarakat hingga kini juga masih berlanjut.

Betha juga mengupas soal agroforestri di Indonesia yang berintegrasi dengan pertanian dan pepohonan pada tiga skala, yaitu pada skala plot, pada skala bentang lahan dan pada tataran kebijakan.

Skala plot, agroforestri merupakan pengelolaan pepohonan dan tanaman semusim secara bersamaan untuk menghasilkan pangan. Pakan ternak, bahan bakar, bahan bangunan, maupun pendapatan.

Skala bentang lahan/lansekap agroforestri adalah kombinasi penggunaan lahan pertanian dan kehutanan secara bersama-sama pada satu unit lahan yang sama yang bisa menghasilkan jasa ekosistem. Sedangkan dalam tataran kebijakan agroforestri merupakan keterkaitan antara penggunaan lahan perdagangan komoditi, perubahan iklim dan pemasalahan lingkungan lainnya.

Mengenai tren agroforestri di Indonesia, Betha mengakui punya data yang agak lama, di mana berdasarkan pemetaan citra satelit luasan agroforestri diduga mencapai 20 juta ha (1990) dan turun menjadi 16,5  juta ha (2005) dan 12 juta di tahun 2010. Kondisi penurunan luasan agroforestri diakibatkan oleh alihguna lahan menjadi lahan pertanian intensif atau menjadi pemukiman atau infrakstrutur (ICRAF 2011).

Manfaat adanya agroforestri pada skala plot dan bentang lahan meningkatkan produktivitas kelestarian, resilience dan mempunyai adaptabilitas yang tinggi. Pada skala plot, produktivitas per unit lahan dalam bentuk land equivalent ratio lebih tinggi dibandingkan praktik monokultur apabila agroforestri dirancang dengan baik.

Pada tingkat bentang lahan, agroforestri memberikan solusi multifungsi antara produksi, lindung dan konservasi. Bahkan dengan agroforestri juga memelihara keanekaragaman hayati serta berbagai jasa yang lain, di antaranya menjaga dan memperbaiki kesuburan tanah. Adapun potensi agroforestri dalam meningkatkan ketahanan pangan dari aspek ketersediaan pangan bisa menjawab tantangan kendala produksi dalam keterkaitan dengan keterbatasan lahan.

Untuk itu, pemilihan jenis komoditi yang bisa dicampur serta pengaturan jarak perlu dirancang dengan baik. Mengenai potensi agroforestri dalam menawarkan solusi lokal yang adaptif, sesungguhnya bisa meningkatkan peran penyuluh yang harus ditunjang oleh pengetahuan maupun tools yang memadahi menjadi krusial. Misalnya mulai pembuatan kebun percontohan untuk mendongkrak peminat petani.

 

Masih terbuka          

Sementara Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto S.Hut., ME., IPU menyatakan peluang pengembangan usaha pangan, energi, di kawasan hutan masih terbuka luas. Dia melihat data dari Ditjen Planologi, Kementerian kehutanan masih adanya area hutan 4,5 juta ha yang belum memiliki perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH).

Area tersebut masih sangat memungkinkan untuk mengembangan usaha pangan dan energi. Di luar itu, masih ada areal izin PBPH hutan tanaman yang belum termanfaatkan sepenuhnya oleh pemilik lahan. Kawasan itu masih berupa semak belukar dan mungkin masih adanya kawasan yang belum clear dan clean perizinannya karena sengketa dengan masyarakat.

Purwadi menjelaskan, pemanfaatan kawasan hutan di Indonesia saat ini untuk PBPH HA dan HT mencapai 28,84 juta ha dan potensi untuk agroforestri intensifikasi lahan seperti jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu (HHBK) sekitar 1 juta ha. Sedangkan total kawasan hutan yang ada seluas 118 juta ha.

Mengenai hutan tanaman energi yang kini menjadi konsentrasi presiden, APHI telah didorong  untuk mengembangkan hutan tanaman energi melalui beberapa unit usaha HTI pengalokasian lahan hutan untuk tanaman energi, namun belum sepenuhnya beroperasi.

Target alokasi HTE per tahun seluas 20.000 ha, dari tahun 2015-2020 baru tercapai seluas 115. 000 ha dan tahun 2022 realisasi HTE seluas 860,12 ha dari target 14.591 ha dan tahun 2023 realisasinya 1.416, 9 ha dari target 3.746,2 ha.

Sedangkan sampai tahun 2024 terdapat 24 PBPH-HT yang telah merencanakan alokasi tanaman energi jenis jabon dengan realisasi seluas 6.468,62 ha jenis tanaman kaliandra dengan realisasi tanaman seluas 13.004 ha serta lamtoro dengan realisasi tanaman 31,56 ha.

Di samping pembangunan hutan tanaman energi, dukungan sektor kehutanan lainnya dalam transformasi menuju energi hijau adalah melalui kemudahan berusaha para pemegang perijinan berusaha pengolahan hasil hutan kayu (PBPHH) dalam pengolahan hasil hutan kayu menjadi ragam produk bioenergi berupa wood pellet, serpihan kayu dan serbuk gergaji.

Dalam kesempatan itu, Purwadi juga menguraikan tentang prakondisi percepatan HTE dalam era transisi energi. Mulai intensif PNPB dan pajak dalam pengembangan HTE.  Perlu analisis kesesuaian lahan untu pengembangan HTE skala luas  khususnya untuk biofuel dari tanaman nyamplung, malapari, aren dan kesiapan pasar/off-taker. Agroforestri HTE, nonrotasi — potensi untuk mitigasi penanaman/ARR — potensi kredit karbon. Revegetasi areal eks tambang, ditanami tanaman untuk energi, bio energi, jenis biomassa atau bioenergi lainnya.

Masih ada lagi perlu kemudahan regulasi pemanfaatan limbah tebangan hutan alam, hutan tanaman, salah satunya adanya SNI limbah kehutanan. Alokasi pemanfaatan dana BPDLH untuk pembangunan HTE dan sumber pendanaan lainnya – serta intensif tingkat suku bunga. Harga biomassa yang wajar dan bisa memberikan pengembalian investasi yang layak.

Ada seperti perbaikan terhadap tata usaha hasil hutan kayu energi guna peningkatan produktivitas pemanenan dan akurasi nilai produksi. Dan percepatan pengenaan pajak karbon, untuk mendorong PLTU PLN/IPP swasta untuk melakukan cofiring/percampuran  biomassa.

Yang lainnya perlu adanya revisi PMK 174/2019 jo PMK 178/2021 untuk implementasi Permen ESDM No. 12tahun 2024. Pengenaan kewajiban PLTU IPP/swasta untuk melakukan cofiring — menciptakan pasar dalam negeri dengan harga lebih baik.

Serta yang terakhir CSR dari  perusahaan kehutanan diprioritaskan untuk mendukung energi dan pangan dalam mendukung Asta Cita pemerintah. Kampanye dan promosi diperlukan bahwa HTE dikembangkan di areal terdegradasi dengan pola agroforestri — bukan driver deforestasi. ***

Leave a Reply