Dari redaksi
Di era perubahan iklim, krisis air menjadi tantangan global seiring dengan intensifikasi pertanian untuk pangan yang membutuhkan air dalam proses produksi. Sebagai gambaran global adalah 80% air digunakan untuk pertanian dalam memproduksi pangan (Millenium Ecosystem Assesment) dan juga 30% konsumsi energi global diperuntukan bagi sektor produksi pangan (FAO) (Aris Sudomo, https://www.kompas.com/sains/read/2023). Artinya bila kawasan hutan dapat berfungsi maksimal dalam menjaga kelestarian pasokan air berarti sektor kehutanan sudah berkontribusi 80% dalam produksi pangan.
Air tanah dari kawasan hutan sangat diperlukan dalam proses produksi pangan serta untuk menghasilkan energi melalui Pambangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Di Indonesia air dari kawasan hutan pegunungan di wilayah hulu digunakan untuk mengairi lahan pertanian dalam memproduksi pangan di wilayah hilir dan menghasilkan energi melalui PLTA. Dengan tata kelola hutan yang baik akan diperoleh hutan yang lebat dengan pepohonan dan vegetasi lainnya untuk berkontribusi dalam ketahanan air, ketahanan pangan dan ketahanan energi tanpa harus mengalokasikan kawasan hutan khusus untuk produksi pangan dan energi.
Tata Kelola Hutan Kawasan hutan daratan dan perairan di Indonesia luasnya 125,79 juta hektar terdiri dari kawasan hutan di daratan seluas 120,47 juta hektar dan kawasan perairan 5,32 juta hektar (Menteri LHK, 2023). Kawasan hutan daratan Indonesia seluas 120,47 juta hektar, terdiri dari hutan produksi 68,8 juta hektar, hutan konservasi 22,1 juta hektar dan hutan lindung 29,6 juta hektar. Hutan lindung adalah hutan yang dilindungi keberadaannya karena bermanfaat dalam menjaga ekosistem, yang penetapannya didasari oleh fungsinya sebagai penyimpan ait tanah untuk cadangan air bersih, mencegah erosi, banjir dan longsor dengan akar pohon yang kuat dalam menyerap air hujan, memelihara kesuburan tanah dengan bahan organik dan hutan, sebagai habitat flora dan fauna, serta kawasan penelitian dan wisata. Hutan konservasi mempunyai fungsi melindungi flora dan fauna dari kerusakan, kelangkaan, atau deforestasi, menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan hutan produksi mempunyai fungsi menghasilkan kayu atau hasil hutan bukun kayu (HHBK), seperti hasil industri kayu dan obat-obatan, serta menghasilkan getah getahan. Secara keseluruhan pohon-pohon hutan dan vegetasi lain yang lebat memiliki perakaran yang kuat, dapat menyerap air hujan untuk disimpan sebagai air tanah serta mencegah erosi, banjir dan longsor. Vegetasi di kawasan hutan menjadi penguat struktur tanah saat terjadi hujan deras, sehingga air tidak langsung mengenai tanah sebab akar pohon akan menjadi penyerap air hujan.
Kerusakan hutan menyebabkan makin sedikit jumlah pohon yang tumbuh di hutan. dan makin sedikit air hujan yang diserap oleh akar-akar pohon, sehingga dapat menimbulkan bencana bagi kehidupan seperti banjir besar, banjir bandang, tanah bergerak/longsor dan kekeringan. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang belum sepenuhnya mampu ditangani dengan baik juga berpotensi menambah luas hutan yang terdegradasi. Lahan kritis yang menjadi sasaran rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) untuk meningkatkan tutupan hutan masih sangat luas, agar tata air di daerah aliran sungai (DAS) efektif mencegah bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Pada tahun 2022 luas lahan berhutan Indonesia adalah 96,0 juta ha, di mana hanya 88,3 juta ha yang berada di dalam kawasan hutan (Humas KLHK, 2023) atau hanya 73,3% dari luas kawasan hutan di daratan. Untuk itu, pembangunan kehutanan seharusnya tidak hanya fokus pada kegiatan ekstraktif produksi hasil hutan kayu dan HHBK melainkan juga kegiatan untuk meningkatkan tutupan hutan.
Pentingnya kesadaran tata kelola kehutanan yang baik dimulai sejak pertemuan pembangunan berkelanjutan yang merupakan hasil dari KTT Bumi di Rio de Jainero pada tahun 1992, yang tercantum dalam “Forest Principle 19” yang memberikan arahan pembangunan sumberdaya hutan secara holistik bagi seluruh elemen ekosistem demi keberlanjutan.
- Negara memiliki hak yang berdaulat dan tidak dapat dicabut untuk memanfaatkan, mengelola, dan mengembangkan hutannya sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan tingkat pembangunan sosial ekonominya, serta berdasarkan kebijakan nasional yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan perundang-undangan, termasuk konversi kawasan tersebut untuk penggunaan lain dalam keseluruhan rencana pembangunan sosial ekonomi dan berdasarkan kebijakan penggunaan lahan yang rasional (prinsip 2a).
- Pemerintah harus mendorong dan menyediakan kesempatan bagi partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat lokal dan masyarakat adat, industri, tenaga kerja, organisasi nonpemerintah dan individu, penghuni hutan dan perempuan, dalam pengembangan, implementasi, dan perencanaan kebijakan kehutanan nasional (prinsip 2d).
Meskipun “Forest Principle” tidak bersifat mengikat secara hukum (non legally binding), tetapi prinsip ini merupakan norma dasar bagi tata kelola yang harus dilaksanakan oleh negara-negara yang menandatanganinya. Tata kelola kehutanan meliputi proses pengambilan keputusan dari institusi lokal, nasional, regional dan tingkat global, seperti:
- Siapa yang memutuskan tentang kehutanan
- Bagaimana mereka mengambil keputusan
- Bagaimana mereka mengimplementasi dan menjalankan kebijakan, hukum dan peraturan
- Bagaimana menjadikannya akuntabel
Tata kelola hutan penting karena hutan adalah sumber penerimaan negara yang vital. Tata kelola hutan juga penting bagi masyarakat lokal karena berpengaruh langsung pada mata pencaharian mereka. Tata kelola hutan juga penting untuk masyarakat regional dan internasional karena peran hutan dalam penyerapan karbon dan siklus air. Banyak negara yang mengelola hutan sebagai sumber daya negara, sehingga negara dapat memberikan hak pengelolaan dan eksploitasi kepada swasta. Pemberian hak pengelolaan dari pemerintah kepada swasta dapat menyebabkan timbulnya konflik atas sumber daya hutan, seperti menguntungkan kelompok yang kuat secara tidak adil, membahayakan kelompok lemah/marginal, dan dapat merusak sumber daya alam karena pengelolaan tidak berkelanjutan dan tidak berpikir jangka panjang.
Apa yang membuat tata kelola menjadi baik:
- Koordinasi. Departemen pemerintahan berkomunikasi dan berkoordinasi untuk berbagi
informasi, menginformasikan satu sama lain dan dengan demikian meningkatkan penegakan
hukum secara keseluruhan dalam sektor ini.
2. Akuntabilitas. Masyarakat ikut mengambil tanggung jawab. Tanggung jawab institusional
jelas dan dapat diartikulasikan. Sistem tersebut diawasi oleh pemeriksa independen.
Pemerintah menangani persoalan masyarakat sipil dan orang-orang yang mempunyai
keluhan agar mempunyai akses terhadap perbaikan dan penanganan.
3. Kapasitas. Stakeholders memiliki waktu, uang, keterampilan dan pengetahuan yang mereka
butuhkan untuk membuat dan melaksanakan keputusan. Kemampuan untuk menjalankan
sistem yang dapat berkontribusi terhadap pengelolaan sektor kehutanan baik juga telah ada.
4. Kejelasan. Letak keberadaan legislatif, peranan dan tanggung jawab institusional adalah jelas
untuk semua stakeholders.
5. Kredibilitas. Sistem memiliki dukungan yang luas dari para stakeholders dan terbuka untuk
pemantauan dan pelaporan independen.
6. Transparansi. Pemerintah dan perusahaan membuat informasi yang dapat diakses oleh
publik, serta proses pengambilan keputusan yang terbuka dan inklusif.
7. Partisipasi. Perwakilan stakeholders dapat mengambil bagian dalam proses pengambilan
keputusan.
8. Penegakan hukum. Pelanggaran ditangani secara transparan.
9. Keadilan. Kebijakan dan hukum memperlakukan para stakeholders secara adil dan
mencakup langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat miskin.
Menghormati hukum tidaklah merugikan.
10. Bebas, peringatan masyarakat sipil. Warga dan media mendapat informasi, sadar dan bebas
untuk mempertanyakan pemerintah dan perusahaan tanpa takut akan adanya tekanan.
Tata kelola hutan yang baik, mempertimbangkan kebutuhan dan pandangan kelompok yang terpinggirkan, seperti perempuan atau masyarakat rentan. Misalnya, perempuan sering kali mengandalkan hutan untuk mendukung mata pencaharian keluarga mereka, namun mereka menghadapi kendala dalam keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan karena norma budaya, keterbatasan akses terhadap pendidikan, dan dinamika kekuasaan yang tidak setara. Demikian pula, masyarakat adat dan kelompok etnis minoritas memiliki wawasan berharga yang penting untuk disumbangkan. Dengan menyertakan suara-suara mereka, keputusan terkait hutan dapat menjadi adil, efektif, dan bermanfaat bagi semua. Diharapkan dengan implementasi tata kelola hutan yang baik akan menurunkan laju deforestasi, mengurangi degradasi hutan, meningkatkan konservasi hutan, meningkatkan penerapan (best practice) pengelolaan hutan lestari dan meningkatkan upaya penanaman/rehabilitasi hutan.