Potensi Bambu Dunia di Tangan Indonesia

Indonesia belum memanfaatkan kekayaan bambu nasional yang berpotensi besar sebagai penyumbang devisa miliaran dolar AS selain produk kayu. Apalagi, bambu merupakan bahan baku banyak industri, terdiri dari furnitur, konstruksi, pulp dan kertas, energi (arang dan pelet), veneer, chips, makanan, minuman, fitofarmaka, pupuk, tekstil dan potensi untuk kredit karbon. Ekspor bambu nasional masih 0,015% dari permintaan dunia sebanyak 15 juta ton/tahun, yang mayoritas dipasok China dengan devisa USD 40 miliar.

Fakta menarik ini mengemuka dalam webinar “Strategi Pengembangan Bambu sebagai Komoditas Komersial yang Terabaikan” yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ) di Jakarta, Rabu (18/6/2025). Bahkan, dalam diskusi yang dibuka Ketua Yayasan SWJ, Dr. Iman Santoso, MSc. terungkap bahwa potensi bambu dunia sebetulnya ada di tangan Indonesia.

“Indonesia memang sudah tidak boleh lagi mengabaikan bambu karena komoditas ini pantas menjadi komoditas strategis nasional. Apalagi, dari paparan yang ada menunjukkan potensi bambu dunia sebetulnya di tangan Indonesia,” ujar Ketua Puskashut yang juga moderator webinar, Dr. Ir. Harry Santoso, IPU saat membacakan kesimpulan diskusi.

Dalam diskusi daring kali ini, Puskashut mengundang 3 (tiga) narasumber yaitu Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Ir. Putu Juli Ardika, MA yang berhalangan hadir dan diwakilkan kepada Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Dr. Krisna Septiningrum. Hadir pula peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Ir. I Putu Gede P. Damayanto, MSi. serta Direktur PT. Bambu Nusa Verde (BNV), Marc Peteers.

Masih kecilnya potensi bambu dalam perekonomian nasional diakui oleh Kementerian Perindustrian. Berdasarkan data survei World Bamboo di 68 negara, tanaman bambu di Indonesia memang mencapai 2,4 juta ha. Namun, mayoritas atau 2,2 juta ha adalah kebun bambu alami dan hanya 0,2 juta ha dalam bentuk kebun budidaya.

Kondisi ini menyulitkan industri bambu dalam negeri berkembang dan kalaupun ada, maka para pelakunya didominasi oleh industri kecil menengah (IKM). “Dari data SIINas (Sistem Informasi Industri Nasional) Kemenperin, baru 70 perusahaan yang terdaftar, meski saya yakin masih banyak yang tidak tercatat di luar. Dari profil yang ada, industri bambu ini juga didominasi IKM dan hanya satu perusahaan berskala menengah-besar,” papar Krisna Septiningrum.

Padahal, Indonesia sendiri salah satu negara dengan jenis bambu yang melimpah. Dari 1.642 jenis bambu yang ada di seluruh dunia dan tersebar di Asia, Amerika Latin dan Afrika, jenis bambu di China tercatat paling banyak, yakni 837 jenis, disusul Jepang (230 jenis) dan India (145 jenis). Indonesia tercatat memiliki 162 jenis bambu, di mana 124 jenis di antaranya merupakan spesies asli Indonesia.

Dari ratusan jenis bambu yang ada, secara umum hanya 11 jenis bambu yang digunakan industri. Dari jumlah itu, empat di antaranya merupakan jenis yang paling banyak dipakai, yakni bambu petung, bambu ater, bambu ampel dan bambu tali.

Potensi Bambu Indonesia

Namun, kata Krisna, industri masih kesulitan berkembang karena adanya kendala penyediaan bahan baku yang tidak optimal. Ibaratnya, sektor hulu masih menunggu kepastian permintaan dan pasar untuk memproduksi bahan baku. Hal ini terjadi karena budidaya bambu masih terbatas karena karena beberapa alasan. Misalnya soal pembibitan, lahan yang sesuai, serta minat masyarakat membudidayakan karena anggapan bambu komoditi kurang bernilai.

Masalah ini dibenarkan oleh peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Dr. Ir. I Putu Gede P. Damayanto, MSi. Menurutnya, meski budidaya bambu menjanjikan, namun untuk menghasilkan keuntungan dan pengembalian modal cukup lama. “Menurut literatur, keuntungan dan pengembalian modal terjadi di tahun ke-9. Meski menguntungkan tapi buat petani jadi kendala karena mereka ingin dapat hasil segera. Akibatnya, mereka lebih memilih komoditas lain dan tak mau berkecimpung di komoditas bambu,” paparnya.

Jadi, katanya, budidaya bambu memang butuh waktu sebelum menghasilkan keuntungan. Tanpa pendekatan yang menjelaskan manfaat jangka panjang, maka masyarakat cenderung memilih komoditas lain, katanya.

Dia juga mengakui masih terbatasnya hasil litbang budidaya bambu di Indonesia. “Jika kita cari di Google scholar saja soal menanam bambu atau budidaya bambu, hasilnya tak seberapa. Yang ada soal taksonomi atau pemanfaatan. Jadi lebih ke produk, bukan budidayanya. Hal yang sama juga terjadi pada researchgate, platform yang khusus mempublikasikan hasil-hasil litbang, hasilnya mengecewakan.”

Jika di hulu saja seret, tidak heran di hilir pun mampet. Akibatnya, utilisasi industri bambu yang ada juga sangat rendah, hanya 30%-40% pada 2024. Kemenperin sendiri, kata Krisna Septiningrum, sudah punya program untuk meningkatkan utilisasi industri dalam 5 tahun ke depan sebesar 60%-70%. “Kita juga akan tingkatkan ekspor dari USD 16,5 juta menjadi USD 19,1 juta dengan menyerap tenaga kerja 1,2 juta orang dan investasi Rp. 3 Triliun pada 2029.

Peluang Tingkatkan Ekspor

Rendahnya nilai ekspor bambu itu memang tidak seberapa dan sangat kontras dengan potensi yang dimiliki Indonesia. Menurut Direktur PT Bambu Nusa Verde (BNV) Marc Peteers, kebutuhan bambu dunia mencapai 15 juta ton/tahun, sementara volume ekspor Indonesia hanya 2.491 ton dengan devisa USD 2,186 juta. Dengan kata lain, Indonesia hanya berkontribusi 0,015%. “Jadi, ada peluang yang sangat besar untuk meningkatkan ekspor,” ujar Peteers.

Selain ekspor, banyak pula komoditi yang bisa dihasilkan untuk pasar dalam negeri dari bambu yaitu kertas dan tekstil. Tekstil kebanyakan impor dan kalau ada cukup bambu, maka bisa kita bikin sendiri untuk rayon. Pasar domestik tahun 2020 saja mencapai USD 1,7 miliar.

“Belum lagi untuk energi, bambu bisa jadi satu solusi. Juga, untuk panel dan produk engineered sangat besar. Selain itu kemungkinan untuk co-firing dengan batubara guna  mengurangi emisi CO2 serta karbon kredit,” jelasnya.

Semua itu bisa dicapai Indonesia karena negeri ini memiliki lahan yang luas. Saat ini, dari 2,1 juta ha lahan bambu yang ada, kondisinya memang menyebar dalam skala kecil dan tidak terkonsentrasi. Hal ini menyulitkan industri berorientasi ekspor, mengingat mereka butuh pasok bahan baku yang terencana, kontinyu dan terpusat.

“Jadi, ada hambatan untuk industri karena yang dibutuhkan adalah pasok terencana, terpusat dan konsisten. Padahal, lahan di Indonesia cukup besar, tapi budidaya bambu tidak ada,” katanya.

Dia mengingatkan bahwa Indonesia dulu punya pabrik kertas dari bambu di Gowa, Sulawesi Selatan, tapi sekarang sudah tidak ada. “Basuki Rahmat juga bikin kertas dari bambu. Tapi semuanya berhenti karena bahan baku bambu tidak ada. Sayang sekali akibat kelangkaan  bahan baku, industri yang ada hilang,” paparnya.

Padahal, tambahnya, Indonesia punya bambu jenis unggul yang berumpun dan lebih mudah dikendalikan serta cocok untuk perkebunan bambu skala besar. “Penanaman bambu ini juga cocok jika dikembangkan dengan sistem agroforestry,” tandasnya.

Jadi, meski Indonesia punya lahan, spesies unggul, serta tenaga kerja, “Semunya belum menjadikan satu sistem industri yang terintegrasi. Kuncinya adalah bagaimana regulasinya, bagaimana skalanya dan bagaimana hilirisasi,” ujar pria asal Belgia yang fasih berbahasa Indonesia ini.

Belajar ke China

Itu sebabnya, dia menilai Indonesia perlu belajar dari China dalam masalah bambu. Menurut Peteers, China memiliki lahan bambu seluas 6,5 juta ha dan industri bambu nasionalnya mencapai USD 74,2 miliar. Dari data tahun 2021, industri bambu yang ada mampu menyerap 10 juta tenaga kerja.

“Dari luas lahan bambu tersebut, China bisa mengekspor berbagai produk berbasis bambu, seperti papan komposit, kertas dan pulp, tekstil dan energi, yakni arang dan pelet. Devisa ekspor yang diraih tahun 2023 mencapai USD 40 miliar,” ujar Peteers.

Keberhasilan China itu tidak lepas dari kebijakan pemerintahnya. Menurut Peteers, kunci keberhasilan China adalah bambu diklasifikasikan sebagai pengganti kayu. Pemerintah China, katanya, menerapkan larangan penebangan pohon melalui program perlindungan hutan alam (NFPP) dan sebagai substitusi kayu adalah bambu.

Selain itu, pemerintah juga punya rencana aksi yang mendorong penelitian dan pengembangan serta menggunakan bambu sebagai produk pengganti plastik. “Mereka juga aktif melakukan agroforestry, di mana panen bambu tiap tahun tanpa replanting. Selain itu, mereka melakukan sentralisasi dan klasterisasi zona industri bambu di beberapa provinsi tertentu.”

Bahkan, tambah Peteers, kini ada pasar kredit karbon untuk bambu.

Peteers juga membandingkan kondisi Indonesia dengan China dalam masalah perbambuan. Dari data yang ada (lihat tabel), maka Indonesia punya lahan 30-40 juta ha (hutan kayu) sementara China (hutan bambu) hanya 6,5 juta ha. Tapi dari pendapatan tahunan Indonesia hanya 5-10 ton/ha (selama 20-30 tahun), sementara hutan bambu China menghasilkan 20-30 ton/ha (setiap 3-5 tahun).

Nilai ekonomi ekspor kayu Indonesia hanya USD 20 miliar, sementara industri bambu China USD 40 miliar. Dari sisi serapan tenaga kerja Indonesia 3,6-5 juta orang, sedangkan China 8-10 juta orang. Dampak lingkungan akibat deforestasi serta hilangnya keanekaragaman hayati dari hutan kayu sangat tinggi sementara bambu jauh lebih rendah (panen yang lestari).

Jadikan Bambu non-HHBK

Menurut Peteers, Indonesia bisa sukses dalam industrialisasi bambu seandainya mau merevisi aturan yang ada saat ini. Dia mengatakan, bambu harusnya tidak lagi masuk dalam klasifikasi hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dengan klasifikasi itu, maka bambu memiliki nilai ekonomi yang rendah. “Seperti banyak dikatakan orang bahwa bambu adalah produk orang miskin, padahal tidak demikian,” katanya, seraya menyebut China mampu membuat 1.000 jenis produk dari bambu.

Selain itu, klasifikasi HHBK juga sulit untuk masuk dalam skema investasi industri jangka panjang. Dia juga menyebut HHBK membuat perijinan jadi tumpang tindih antara Kementerian Kehutanan, Pertanian dan Perindustrian. “Untuk industri, maka bambu harus diklasifikasikan sebagai rumpun dan pohon. Dengan demikian, bambu bisa dipakai industri untuk bahan baku, selain juga untuk program reforestasi secara fleksibel,” paparnya.

Agar tercipta industri yang efisien, dia juga menyebutkan perlunya kedekatan industri dengan sumber bahan baku. Jika tidak, katanya, maka kisah pabrik kertas Gowa dan Basuki Rahmat akan terus terjadi. “Industri mati karena tidak cukup bahan baku,” paparnya.

Untuk mensukseskan terjadinya industrialisasi bambu, Peteers mengaku bambu harus dijadikan tanaman industri seperti yang terjadi pada kelapa sawit, karet dan sebagainya.

“Kalau itu terjadi, maka bisa didorong untuk dapat kerjaan, banyak fasilitas, bisa bikin hijau bumi Indonesia. Ini juga menarik untuk investor datang. Karena banyak investor yang datang kepada kami atau mengontak kami, tapi masih ada sedikit regulasi yang kurang jelas. Abu-abu. Pasar saat ini juga belum stabil karena butuh bahan baku bambu yang cukup.”

Selain itu pemerintah juga perlu mendorong penerbitan izin penggunaan lahan bekas tambang untuk budidaya bambu melalui Kementerian Kehutanan, ESDM dan Perindustrian sebagai tanaman rehabilitasi lahan yang tidak produktif.

Bambu Akademi

Kementerian Perindutrian sendiri sudah punya program peningkatan industri berbasis bambu 2025-2029 dengan fokus pada tiga sasaran, yakni peningkatan bahan baku, hilirisasi bambu serta promosi dan branding. Menurut Krisna Septiningrum, peningkatan bahan baku bambu ditempuh melalui ekstensifikasi, intensifikasi, peningkatan kualitas benih bambu, organisasi petani,  pendampingan, praktik pertanian berkelanjutan, serta sistem agroforestry.

Sementara hilirisasi bambu dilakukan dengan menciptakan jaminan ketersediaan bahan baku bambu, peningkatan utilisasi dan investasi, adopsi teknologi, jaminan kualitas, penumbuhan wirausaha baru, praktik berkelanjutan dan sirkular.

“Dalam promosi dan branding dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk berbasis bambu serta diversifikasi produk,” ujarnya.

Sebagai strategi awal, katanya, Kemenperin membentuk Pusat Logistik Industri Bambu, di mana lokasinya berdekatan dengan sentra bahan baku serta industri berbasis bambu yang eksisting. “Ada beberapa lokasi — yang masih perlu kajian lebih lanjut, sehingga Pusat Logistik ini bisa lebih powerful dari sisi fungsinya — di daerah yang sudah kami identifikasi, yakni  di Jabar (Tasikmalaya), Banten, DIY dan NTT,” katnya.

Menurut Krisna, produk yang dipilih adalah yang punya nilai tambah tinggi, yakni furnitur, bahan bangunan (dalam hal ini konstruksi), juga kerajinan. “Agar bisa tercipta hal itu, maka perlu dibangun dan dibina dulu SDM bambu yang cukup banyak, agar kita bisa memiliki banyak ahli-ahli yang memahami bambu, sehingga mereka bisa mengelola Pusat Logistik tadi.

Bahkan, Kemenperin juga akan mengembangkan program Bambu Akademi. “Konsep ini sedang dibahas. Bambu Akademi ini kalau dikaitkan dengan Pusat Logistik Bambu, maka kita akan dapat membangun SDM yang kompeten dibidang bambu, baik di sektor hulu, sektor antara maupun sektor hilir,” pungkasnya. ***

Leave a Reply