Pemerintah tetap optimis bisnis kehutanan masih berpeluang besar tumbuh dan berkembang ditengah gejolak politik dan ekonomi global. Syaratnya, bisnis kehutanan harus bertransformasi kearah regeneratif, inovatif, adaptif, unggulan lokal dan ramah lingkungan. Salah satu peluang, bahkan diharapkan dapat menjadi game changer di tengah hiruk-pikuk gejolak politik dan ekonomi dunia, adalah Perhutanan Sosial.
Perang atau konflik bersenjata yang terjadi antara Rusia-Ukraina dan di Timur Tengah, mendadak jadi perbincangan para rimbawan. Harap maklum, di tengah triple planetary crisis yang mengancam kelangsungan hidup manusia, dampak perang tersebut memang semakin menyulitkan dunia bisnis, termasuk bisnis kehutanan. Kondisi tersebut semakin parah dengan menguatnya sikap proteksionisme pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump — dengan mengenakan tarif tinggi terhadap barang yang masuk ke AS. Bahkan, kabar terbaru, mulai 1 Oktober 2025 produk furnitur Indonesia dikenakan bea masuk sampai 50%. Padahal, menurut Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), pasar AS menyerap 53%-54% ekspor mebel dan kerajinan Indonesia.
“Ini memang topik webinar yang menantang. Kondisi geopolitik dan ekonomi global, di mana perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestine (Hamas) masih terus berlangsung, tidak dapat dipungkiri membawa tekanan tak terelakkan terhadap kondisi ekonomi Indonesia dan mengganggu kepentingan pembangunan kehutanan,” ujar Dr. Ir. Harry Santoso, IPU., moderator webinar yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya (YSWJ) di Jakarta, Selasa (30/09/2025) yang dibuka dengan sambutan Ketua Umum Yayasan Sarana Wana Jaya, dan dibacakan oleh Ir. Masyhud, MM, Sekretaris YSWJ. Topik webinar tersebut adalah “Geostrategi Pembangunan Kehutanan dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Global.”
Untuk membahas topik ini, PUSKASHUT-YSWJ mengundang dan dihadiri Novia Widyaningtyas, S.Hut., M.Sc. Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang Revitalisasi Industri Kehutanan, Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi dan Pengembangan Agromaritim, IPB University, serta Awan Santosa SE, M.Sc., Direktur Mubyarto Institute, Yogyakarta.
Novia mengakui bahwa perang yang terjadi membuat krisis yang dihadapi dunia sangat rumit, penuh risiko dan pengusahapun mengeluh kesulitan. Apalagi, kinerja sektor kehutanan sendiri cenderung menurun, meski ada beberapa yang meningkat. Ini memang sangat terpengaruh oleh kondisi global. “Kata teman-teman pengusaha, pengaruh perang lumayan besar, karena awalnya bisa ekspor sekarang menjadi sulit. Tidak ada perang saja sulit, apalagi ada perang,” papar Novia.
Dia juga mengutip survey yang dilakukan World Economic Forum (WEF) terhadap 10 risiko global tahun 2025. Dari jawaban yang masuk, perang atau konflik bersenjata diyakini sebagai risiko yang paling memicu krisis dalam skala global.
“Jika dikaitkan dengan bisnis, termasuk bisnis kehutanan, maka dampaknya tentu saja soal terganggunya rantai pasok global. Selain itu biaya impor dan inflasi juga naik karena ada perang tarif dan sebagainya. Sementara demand global menurun akibat persaingan,” ujarnya.
Disamping itu, daya beli masyarakat, baik global maupun domestik juga merosot. Bagi negara-negara tertentu yang terlibat konflik, ketidakpastianpun meningkat dan menyusutkan investasi asing yang dampaknya mengurangi lapangan kerja.
Pemerintah sendiri, kata Novia, menyadari rumitnya persoalan, terutama dalam menghadapi triple planetary crisis. Itu sebabnya, Kementerian Kehutanan punya program prioritas, yakni digitalisasi layanan yang arahnya ke transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi tata kelola. Pemanfaatan hutan juga harus berkeadilan terkait dengan aspek sosial, dan kawasan hutan menjadi salah satu sumber pendukung swasembada pangan. “Terkait perubahan iklim, kita juga menjaga hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, di mana sektor kehutanan itu menyumbang 60% dari target penurunan emisi dari NDC kita,” papar Novia.
Dari program-program itu, katanya, disusun rencana strategis yang bertujuan merevitalisasi bisnis kehutanan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan lokal, nasional serta merespon tuntutan global. “Menurut kami, bisnis kehutanan yang berkelanjutan dalam merespon dinamika geopolitik dan geoekonomi saat ini adalah harus adaptif, inovatif, sustainable dan regeneratif. Oleh karena itu, kita perlu beberapa komponen revitalisasi untuk penguatan kinerja bisnis kehutanan berkelanjutan.
Perhutanan Sosial
Yang menarik, Perhutanan Sosial sebagai salah satu kekuatan baru dalam bisnis kehutanan selain korporasi swasta yang sudah ada selama ini. “Perhutanan Sosial kelihatannya kecil, tapi sesungguhnya punya daya dorong besar, bahkan mungkin suatu saat akan jadi salah satu game changer dari Indonesia di tengah hiruk-pikuk gejolak dunia,” paparnya.
Hasil penelitian yang dilakukan Ditjen Perhutanan Sosial, Kemenhut dan IPB University, Perhutanan Sosial punya peluang yang sangat besar. “Berkontribusi sebesar Rp. 5,88 triliun atau 4,6 % PDB Kehutanan, dan nilai NTB per kapita sekitar Rp. 4 juta” ujar Novia.
“Kontribusi ekonomi langsung Perhutanan Sosial berpeluang untuk ditingkatkan, di mana pendapatan rumah tangga bisa mencapai Rp7,4 juta/orang (optimis). Yang tak boleh dilupakan juga multiplier effect berupa penyerapan tenaga kerja, meski ini bukan tujuan utama,” paparnya.
Komoditas yang dihasilkan juga banyak dan sudah berkembang. Jika dilakukan hilirisasi bisa menghasilkan beragam produk, mulai dari madu, kopi, ekowisata dan nira aren.
Menurut Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi M.Agr, program Perhutanan Sosial memang patut disyukuri karena mencerminkan hutan untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya, meski share-nya masih kecil dibandingkan usaha korporasi.
“Namun, ini artinya masyarakat sekitar hutan bisa memanfaatkan kawasan hutan untuk berbagai kegiatan, terutama untuk pertanian yang notabene dihasilkan di kawasan hutan. Ini juga menunjukkan bahwa kehutanan harus lebih ke dimensi sosial dibandingkan dimensi ekonomi,” papar Wakil Rektor IPB University ini.
Menurut Ernan, sektor kehutanan memang tidak bisa hanya dilihat secara ekonomi atau mengukur kontribusi nilai ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai sektor hulu, kehutanan menciptakan forward linkage yang menumbuhkembangkan sektor-sektor hilirnya. Jadi, kontribusi sektor kehutanan juga harus dilihat bagaimana kontribusinya terhadap pertumbuhan sektor manufaktur, industri furniture, pemanfaatan air akibat jasa lingkungan ekosistem hutan dan sebagainya.
Dari data yang ada, sektor kehutanan memang menjadi input berbagai sektor hilir, misalnya industri konstruksi. “Jadi, 48% sektor kehutanan itu jadi input sektor industri. Untuk industri kayu 31% dan industri kertas 10%. Ini artinya sektor kehutanan menumbuhkan sektor-sektor industri hilir, ini yang kita sebut forward linkage,” papar Ernan.
Selain itu, sektor kehutanan juga punya multiplier effect (efek ganda) berupa output, nilai tambah bruto PDRB, pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja. “Di luar hal-hal yang sifatnya ekonomi, penyelenggaraan kehutanan itu berasaskan manfaat lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”.
Ekonomi Kerakyatan
Menurut Awan Santosa SE, M.Sc. pengelolaan hutan memang harus berbasis ekonomi kerakyatan untuk mengatasi adanya perang tarif maupun gejolak ekonomi global lainnya. Pasalnya, selain sudah termaktub dalam konstitusi, ekonomi kerakyatan ini basisnya adalah keswadayaan dan juga gotong royong.
“Instrumen ekonomi kerakyatan ini juga sudah ada sejak 80 tahun lalu, yakni pada penjelasan pasal 33 UUD 1945. Instrumen itu tak lain adalah Koperasi,” ujar Awan Santosa.
Menurut dia, sudah seharusnya Indonesia mencontoh Finlandia dan Swedia dalam mengimplementasikan ekonomi kerakyatan di sektor kehutanan. Di Finlandia, yang tiga-perempat wilayahnya adalah hutan, ada tiga grup usaha besar yang menguasai pengelolaan hutan, yakni Metsa, UPM dan Stora Enso. Metsa Grup adalah koperasi yang dimiliki oleh 103.000 anggota yang memiliki hutan di Finlandia. Berbeda dengan Indonesia, hutan di Finlandia memang banyak dimiliki swasta, yakni individu atau keluarga. Sementara swasta dalam konteks Indonesia adalah korporasi atau perusahaan.
Sementara di Swedia, mereka juga memiliki koperasi kehutanan bernama Sodra. “Ini koperasi terbesar dengan anggota 52.000 pemilik hutan swasta atau pemilik separuh hutan swasta di Swedia,” paparnya.
Yang menarik, kata Awan, ekonomi kerakyatan yang diterapkan oleh negara-negara Skandinavia ini ternyata identik dengan sustainability. Dari data tahun 2014, negara 10 besar terhijau di dunia basisnya adalah ekonomi kerakyatan yang basisnya adalah Koperasi.
“Elemen dasar koperasi adalah keswadayaan dan gotong-royong. Dan ini jadi solusi untuk menghadapi setiap perubahan, krisis maupun disrupsi. Jadi, dalam krisis koperasi selalu menjadi solusi dan berarti kita tidak perlu mencari solusi baru. Persoalannya apakah kita serius atau tidak dalam menjalankan apa yang sudah menjadi gagasan para pendiri bangsa serta sudah dicanangkan dalam konstitusi,” ujar Awan.
Menurutnya, ekonomi kerakyatan berhasil di banyak negara maju. Di Singapura ada FairPrice yang mengendalikan bisnis ritel, mulai dari minimarket sampai supermarket. Di Jepang, sektor pertaniannya dari hulu-tengah-hilir dikendalikan oleh jutaan petani yang terafiliasi dengan koperasi tani di sektor primer dan konfederasi tani yang menembus 10 besar koperasi tani dunia. Di Jerman, Amerika ataupun Inggris ekonomi kerakyatan juga sanggup dan mampu berkontribusi riil dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.
Hanya saja, Awan juga menyadari masih besarnya tantangan untuk membangun ekonomi kerakyatan di Indonesia. Perbedaannya sangat besar. Di negara maju keanggotaan koperasinya yang besar. Sementara di Indonesia jumlah koperasinya yang banyak, tapi dengan anggota hanya sedikit. “Jadi terfragmentasi. Ini masih jadi corak koperasi yang ada di Indonesia,” ujar Awan.
Ciri lainnya, struktur koperasi di negara maju umumnya hierarkis, yaitu primer, sekunder dan konfederasi. Mereka juga melakukan diversifikasi usaha serta sudah terdigitalisasi.
Kopdes Merah Putih
Menurut Awan, banyak peluang terkait dengan hutan, mulai dari perdagangan karbon sampai produk-produk yang lestari. Potensi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan juga sangat besar. Data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan 48,8 juta jiwa, di mana 9,8 juta jiwa digolongkan miskin.
“Jika yang miskin bersatu, maka Sodra dan Metsa tidak ada apa-apanya,” ujar Awan.
Sementara data Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan, dari seluruh desa tertinggal di Indonesia, 58% berada di sekitar hutan. Lalu, data Kementerian Kehutanan menyebutkan ada 12 juta masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar hutan dan mereka tergantung dengan sumber daya hutan.
“Data yang terbaru adalah adanya 15.000 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan sudah minta ditransformasikan ke Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Ini perlu didiskusikan karena ide dasar tentang 80.000 Kopdes Merah Putih adalah tentang fragmentasi, di mana masing-masing bisa mengurus usaha. Bagus memang ada keswadayaan, tapi jangan lupa elemen kedua, yakni gotong royong,” paparnya.
Menurutnya, perlu ada konsolidasi nasional, di mana 15.000 perwakilan KUPS dikumpulkan di Jakarta untuk menggelar kongres. “Mereka bicara masa depan koperasi perhutanan, masa depan ekonomi kerakyatan di hutan, masa depan masyarakat di sekitar hutan dan sebagainya.”
Awan menyebut beberapa pilar untuk mengembangkan koperasi ini. Pertama, penguatan tata kelola kerakyatan yang berbasis ekosistem. Kedua, melakukan diversifikasi produk, yang tak hanya bicara kayu tapi juga nonkayu. “Bentuknya melalui agroforestry, yakni bagaimana hutan berpadu dengan pertanian dengan orientasi keberlanjutan dan kesejahteraan sosial. Akan ada banyak varian produk yang lebih ramah lingkungan, ramah sosial dan ekonomi, ekowisata dan sebagainya. Ketiga, mengintegrasikan dengan ekonomi hijau, karbon, biomaterial, diplomasi ekonomi kehutanan di forum global, serta digitalisasi dan inovasi forest monitoring. Yang lainnya bagaimana membentuk platform pasar untuk mengakses pasar global, serta melakukan pendanaan inovatif seperti sukuk hijau, green bond dan CSR.
Untuk membangun koperasi ini, Awan menilai perlu pendekatan dari atas ke bawah secara simultan. Tidak bisa menunggu dari bawah, tapi dari atas juga bergerak. “Tapi dari atasnya bukan top-down yang kemudian melakukan mobilisasi. Tapi betul-betul bikin satu platform yang memungkinkan terjadinya gerakan sosial,” katanya. Webinar ditutup oleh Dr.Ir. Soedarto Kartodihardjo, MM., M. Ag., Ketua Pembina YSWJ. ***