Perhutanan sosial dulu dan sekarang
Social forestry, past and present
Pada umumnya masyarakat desa-desa di dalam dan sekitar kawasan hutan adalah masyarakat yang tertinggal, hidup di sektor tradisional, memiliki tatanan sosial yang lokal spesifik, dan sangat tergantung pada sumberdaya hutan. Terkait keberadaan masyarakat, Perhutanan Sosial telah diperkenalkan sejak tahun 1976 di India untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan (Wiersum, 1990), melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai kegiatan kehutanan (Sallata, 2000), merupakan interaksi dari tiga komponen lahan (bio-physical system), teknologi (technology system) dan manusia (social system) yang dipengaruhi oleh beberapa karakteristik lingkungan bio-fisik dan sosial budaya (Rebugio, 1984). Karenanya perhutanan sosial dipandang sebagai ilmu pengetahuan dan seni menumbuhkan pohon-pohon dan vegetasi lain di dalam dan di luar areal hutan, dikelola dengan melibatkan masyarakat secara intim, serta terintegrasi dengan berbagai kegiatan, agar diperoleh tataguna lahan yang seimbang dan saling melengkapi, yang menghasilkan barang dan jasa secara luas untuk individu maupun masyarakat (Tiwari 1983). Berdasarkan beberapa definisi pada tahun 1970-an sampai 1980-an tersebut, Perhutanan Sosial terutama bertujuan mengoptimalkan hasil lahan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat lokal.
Berbeda dengan Perhutanan Sosial di Indonesia dewasa ini, selain upaya mengoptimalkan hasil lahan secara berkelanjutan, juga diupayakan implementasi penanganan paska panen dan pemasaran hasil lahannya agar dapat memaksimalkan manfaat yang diterima oleh masyarakat setempat. Sesuai Peraturan MenLHK P.83/2016, Perhutanan Sosial dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan, penggangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan.
Selengkapnya klik link berikut.