PERKEMBANGAN ILMU EKONOMI
Mengulas sistem ekonomi Pancasila akan lebih bermakna apabila diawali dengan meninjau secara ringkas historis perkembangan ilmu ekonomi, agar bermanfaat sebagai bahan pembanding.
Capra, F. dalam Ramelan (2002), menyatakan bahwa semua ilmu termasuk ilmu ekonomi pada kenyataannya tidak bebas nilai. Asumsi-asumsi ilmu ekonomi didasari atas nilai-nilai budaya manusia ketika dan dimana ilmu tersebut dikembangkan. Ilmu ekonomi berkembang bersamaan dengan munculnya budaya inderawi. Tidak mengherankan, ilmu ekonomi dewasa ini lebih menekankan nilai materi, berorientasi teknologi dan mendewakan kompetisi.
OBSESI PERTUMBUHAN DAN EKONOMI LINGKUNGAN
Paradigma Newton yang diadopsi oleh ilmu ekonomi menggiring kearah keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi terus menerus dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan. Bahwa kekayaan materi akan menetes kebawah dari si kaya kepada si miskin, dan tanpa ada pertumbuhan ekonomi, tidak ada yang bisa dibagikan. Namun kemajuan ekonomi tersebut lebih banyak diukur dari konsumsi materi, bukan kualitas hidup. Keyakinan mengejar pertumbuhan/materi itu menstimulir terjadinya pemborosan konsumsi dan produksi yang terkadang dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam.
Pertumbuhan teknologi bukan tidak penting, namun terkadang dapat menghilangkan rasa kemanusiaan. Selain itu, kemajuan teknologi ternyata lebih menguntungkan masyarakat yang lebih maju. Terbukti, hingga era digital industri 4.0 dan bahkan 5.0 dewasa ini, masih adanya kemiskinan, kekurangan pangan, penyakit menular dan bencana alam.
Pertumbuhan korporasi (bisnis besar) yang tak terkendali, tumbuh meraksasa bahkan ada yang melintasi batas negara, dan mengeksploitir sumber daya alam di negara lain. Dampaknya lebih banyak menimbulkan efek pengurasan sumberdaya alam (back wash effect) daripada efek menetes kan manfaat kebawah (trickle down effect) yang menguntungkan setempat.
Dalam enam dekade terakhir kesadaran pelestarian lingkungan mulai meningkat baik di tingkat nasional dan global. Historis ringkasnya diawali sejak terbitnya Silent Spring oleh Rachel Carson (1960), Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm dan dibentuknya UNEP (United Nations Environmental Programme) di Nairobi, Kenya (1972), Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Langka (CITES) di Washington DC (1973), pembentukan World Commision on Environment and Development oleh PBB yang diketuai Ny. Gro Bruntland (1983); publikasi Our Common Future oleh Komisi Brundtland (PBB) (1987), The Rio Declaration on Environment and Development, KTT Bumi (1992), Kyoto Protocol (1997), hingga Paris Agreement tentang Perubahan Iklim tahun 2015. (Santoso, H., 2013).
Meningkatnya kepedulian manusia terhadap pelestarian lingkungan, mendorong berkembangnya ilmu ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. Ilmu ini menerapkan pendekatan transdisipliner dalam teori ekonomi dengan tujuan mempelajari perilaku kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan yang keadaannya terbatas agar fungsi dan peranannya dapat dipertahankan/ditingkatkan.
Ilmu ekonomi lingkungan didasarkan pada penerapan beberapa teori dan prinsip ekonomi arus utama masalah lingkungan, terdiri dari 4 (empat) konsep : (i).teori eksternalitas lingkungan; (ii). pengelolaan optimal tentang sumber daya milik umum (common property resources) dan barang publik (public goods); (iii). pengelolaan optimal sumber daya alam dari waktu ke
waktu; dan (iv). valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan. (Harris, J.M. and B.Roach, 2018).
SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA
Terkait dengan uraian perkembangan ilmu ekonomi di atas, para pendiri bangsa Indonesia dan para ahli menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia berada di tengah antara sistem kapitalis dan sistem komunis/sosialis. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 menegaskan bahwa demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi dan keadilan sosial hanya akan menyuburkan kapitalisme. Bung Hatta mempelajari keberhasilan Koperasi sebagai bangun usaha di beberapa negara Scandinavia (Eropa) untuk merumuskan model demokrasi ekonomi Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945.
UUD 1945 (pasca amandemen keempat tahun 2002) adalah konstitusi negara atau hukum tertinggi (supreme law) di Indonesia. Pasal 33 (1) menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dalam Pasal 33 (4) dinyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945, terlihat jelas bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi.
Spancana, IBR (2008) menguraikan keterkaitan antara hak penguasaan negara dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat, akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut : Pertama, segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta hasil yang didapat dari kekayaan sumber daya alam, harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; Kedua, melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam atau diatas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat, dan Ketiga, mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang pernah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang terkait dengan sumber daya alam (UU Migas, UU Ketenagalistrikan dll.) bahwa “hak menguasai negara” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichhoundendaad). Dengan demikian, makna hak menguasai negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan ataupun swasta untuk berperan, sepanjang 5 (lima) peran negara tersebut diatas masih dipenuhi dan pemerintah/pemerintah daerah belum mampu melaksanakan. Perihal sistem ekonomi yang relevan bagi Indonesia, merupakan perdebatan yang tak pernah selesai hingga hari ini, karena banyak kepentingan ekonomi, sosial dan politik. Wacana ekonomi Pancasila yang digagas Mubyarto tahun 1980-an, menginginkan agar sistem ekonomi nasional diarahkan oleh 5 (lima) prinsip dasar yaitu : Pertama, roda pemerintahan digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; Kedua, kehendak kuat dari seluruh masyarakat kearah pemerataan sosial (egalitarianisme) sesuai asas-asas kemanusiaan; Ketiga, prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi; Keempat, koperasi merupakan saka guru perekonomian dan merupakan bentuk paling konkrit dari usaha bersama; dan Kelima, adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan sosial. (Kagama.co, 2018).
IMPLEMENTASI SISTEM EKONOMI PANCASILA
Indonesia telah memiliki Pancasila dan demokrasi ekonomi, sebagai landasan konstitusional ekonomi Indonesia, namun penerapannya masih menjadi tantangan besar bangsa Indonesia. Padahal agar ekonomi Indonesia dapat berkelanjutan (sustainable), perlu menerapkan ekonomi Pancasila, karena sistem ekonomi tersebut pro-pengentasan kemiskinan, pro-pemerataan dan pro-lingkungan. Ekonomi Pancasila yang berbasis demokrasi ekonomi, bertumpu pada asas kekeluargaan, kolektivitas dan gotong royong sehingga memungkinkan masyarakat tumbuh dan berkembang bersama-sama.
Demokrasi ekonomi seharusnya mencakup demokratisasi intelektual berupa sumberdaya manusia, demokratisasi institusional berupa organisasi/ kelembagaan, dan demokratisasi meliputi lahan, teknologi, infrastruktur, keuangan dll. (Santosa, A., 2021). Adapun kerangka ekonomi Pancasila berdasarkan UUD 1945, meliputi : usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, perwujudan demokrasi ekonomi, penguatan koperasi atau bentuk gotong royong lainnya, pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, pemeliharaan fakir miskin dan anakanak terlantar, pengakuan/penghormatan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, jaminan hak-hak sipil dan politik, serta jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Terdapat 3 (tiga) jalur untuk mewujudkan konstitusionalisme agraria dan kawasan hutan, yaitu politik redistribusi, politik rekognisi, dan politik representasi/partisipasi. Penguatan koperasi rakyat dan forum-forum masyarakat lokal menjadi model yang integratif dalam menjalankan ketiga pilar demokrasi ekonomi di atas. (Shohibuddin, M., 2021).
DEMOKRASI EKONOMI DAN KOPERASI DI NEGARA MAJU
Santosa, A. (2021) memaparkan kajian angka Gini Index, semakin tinggi demokrasi ekonomi suatu negara, semakin rendah tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat di negara tersebut. Berdasarkan Index Keragaan Lingkungan (environmental performance index) tahun 2014 dan tahun 2020, 10 Negara Paling Hijau di dunia (Top Ten Greenest Countries in the World) sebagian besar di Scandinavia (Eropa), menerapkan demokrasi sosial yang bertumpu pada kekuatan kolektif ekonomi masyarakat dalam wadah Koperasi.
Di negara-negara maju lainnya, Koperasi juga merupakan bangun usaha ekonomi yang kuat sebagai pengendali sektor-sektor perdagangan/ritel (Singapura), pertanian (Jepang, Denmark, Swedia dan Norwegia), industri (Spanyol), keuangan dan perbankan (Jerman). Catatan penting dari uraian-uraian di atas, Indonesia perlu menerapkan sistem ekonomi yang relevan dengan konstitusi UUD 1945 Pasal 33 dan landasan moral Pancasila, kemudian konsisten menerapkan demokrasi ekonomi bukan hanya demokrasi politik, serta terus serius mengembangkan Koperasi menjadi saka guru perekonomian nasional, daerah dan perdesaan.
PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN DAN SISTEM EKONOMI PANCASILA
Usaha-usaha pada sektor kehutanan selama ini telah banyak dilaksanakan baik terkait hutan alam maupun hutan tanaman, seperti pemanfaatan hasil hutan kayu/non kayu/jasa lingkungan serta industri kehutanan, juga perhutanan sosial seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat dan kemitraan kehutanan beserta usaha turunannya.
Mengamati pengelolaan kawasan hutan dikaitkan dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila, menarik untuk mencermati data yang dirilis Shohibuddin (2021) dan Santosa, A. (2021) tentang perbandingan alokasi peruntukan kawasan hutan bagi kepentingan para pihak (Tabel-1).
Timpangnya alokasi pemanfaatan kawasan hutan, terlihat pada Tabel-1 yaitu dominasi oleh pengusaha swasta (95,76 %), dan sisanya untuk kepentingan masyarakat dan umum. Data ini dapat menjadi bahan refleksi bagi upaya penerapan sistem ekonomi Pancasila yang lebih baik kedepan.
PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI PROYEK STRATEGIS NASIONAL
Program Perhutanan Sosial merupakan kebijakan Kementerian LHK yang baik dan perlu terus dikembangkan. Kegiatan Perhutanan Sosial, selain menciptakan lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan dan berwawasan lingkungan, juga memeratakan pembangunan ke pelosok-pelosok kawasan hutan pada hampir semua provinsi di Indonesia.
Dalam Rapat Terbatas Kabinet Kerja tanggal 3 November 2020, Presiden memaparkan capaian Perhutanan Sosial hingga September 2020 adalah seluas 4,2 Juta Ha dari target 12,7 Juta Ha. Sisa seluas 8,5 Juta Ha ditargetkan terealisasi dalam 4 (empat) tahun masa pemerintahan ini dengan arahan perlu memperkuat pendampingan untuk program lanjutannya. Menyadari kelompok sasaran (target group) yang umumnya masyarakat disekitar kawasan hutan yang kondisinya amat terbatas, maka dukungan Pemerintah terhadap Perhutanan Sosial dirasakan perlu lebih komprehensif-integral, yaitu mencakup penguatan SDM melalui pendidikan/pelatihan /penyuluhan, bina usaha, bina kelembagaan, serta akses pada teknologi, infrastruktur dan permodalan/lembaga keuangan. Dengan penguatan seperti itu, Pemerintah dapat mengandalkan program Perhutanan Sosial
selain Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) untuk pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang seharusnya diakomodir dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana diatur dalam Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2016.
Perhutanan Sosial merupakan kebijakan/program Kementerian LHK yang telah dirintis sejak tahun 2007 dan hingga sekarang mencakup hutan kemasyarakatan (HKM), hutan desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA) dan kemitraan kehutanan (KK), hingga tahun 2018 telah tersebar pada 28 provinsi di Indonesia.
PENGUATAN KOPERASI DALAM PERHUTANAN SOSIAL
Mensukseskan program Perhutanan Sosial tidak cukup hanya memfasilitasi perangkat kegiatan usahanya saja, tetapi perlu terus memperkuat kelembagaan usahanya yaitu Koperasi. Sebagaimana diulas pada Bab di muka, Koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai dengan demokrasi Presiden Jokowi menyerahkan sertifikat Perhutanan Sosial (39 HD dan HKM, dan 2 HA) sebanyak 20.890 KK, seluas 73.670 Ha di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim, Kabupaten Siak (Riau), 21 Februari 2020 ekonomi dalam sistem ekonomi Pancasila dan telah terbukti sukses menopang perekonomian di negara-negara Scandinavia (Eropa).
Cerita kegagalan Koperasi (KUD) di masa lalu harus dijawab dengan menampilkan kebijakan konkrit tentang membangun etos kerja dan integritas manajemen serta membenahi tata kelola koperasi yang lebih profesional berbasis kekeluargaan, kolektivitas dan gotong royong para pengurus dan anggotanya.
Koperasi Perhutanan Sosial yang dimaksudkan di sini bukan koperasi-koperasi kecil partial di perdesaan yang ternyata kurang efisien dan kurang efektif, tetapi mempersatukan mereka menjadi koperasi yang lebih besar (amalgamasi). Koperasi yang besar ini harus merupakan korporasi usaha yang lebih kuat dan lebih profesional, agar memiliki posisi tawar kuat ‘menghadapi’ korporasi perusahaan swasta. Disamping itu pemerintah perlu mewujudkan adanya lembaga keuangan non-bank guna mendukung kinerja Koperasi dan mampu menggantikan peran tengkulak/pengijon/pengepul. Selain itu juga sebagai opsi lain menggantikan peran bank-bank konvensional yang ada sekarang ini, yang umumnya beraliran liberal. Tanpa membangun korporasi koperasi yang kuat di daerah/perdesaan tersebut, sulit diharapkan untuk mampu berkompetisi, maju dan berkembang.
Jika satuan desa setempat sudah memadai untuk menjadi satu kesatuan ekonomi yang memungkinkan berbagai kegiatan usaha dapat dikembangkan lebih efisien dan efektif, maka koperasi besar tersebut dapat dibentuk per desa. Koperasi besar ini juga dapat menjadi embrio Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat, jika belum dibentuk. Apabila diperlukan dapat dibentuk
koperasi besar antar/lintas beberapa desa disekitarnya, yang terpenting batasannya adalah skala ekonomi (economic of scale) usaha yang efisien dan efektif.
Koperasi Perhutanan Sosial tersebut sebagai koperasi serba usaha, merupakan organisasi ekonomi yang berwatak sosial, bukan organisasi sosial apalagi organisasi politik. Agar perkembangannya menjadi pesat, maka Pemerintah/Pemerintah Daerah harus mendorong, memfasilitasi dan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki, mengajak petani Perhutanan Sosial membentuk Koperasi, Banyuwangi, 3 Oktober 2020 melindungi Koperasi Perhutanan Sosial tersebut sebagai lembaga ekonomi
yang bakal mampu mensejahterakan masyarakat/anggotanya. Pada saat yang sama pemanfaatan kawasan hutan untuk Perhutanan Sosial di berbagai provinsi dapat tetap terus terjaga dan produktif, sehingga dapat dikelola secara lestari.