PENDAHULUAN
Multiusaha kehutanan (selanjutnya disingkat MUK) khususnya
pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan telah di-launching oleh Dr.Ir. Siti Nurbaya Bakar, MSi, IPU., Menteri LHK pada 10 Mei 2019, diharapkan dapat menjadi tulang punggung (back bone) baru bagi perekonomian Indonesia (Justianto, A., Juli 2021). Melalui multiusaha dapat
diupayakan peningkatan produktivitas lahan hutan, jejaring pengaman pangan nasional, pengembangan industri pengolahan, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan serta sebagai upaya resolusi konflik hutan (APHI, Des. 2020). Terbitnya UU No. 11 Th. 2020 tentang Cipta Kerja
(UUCK) telah memberikan momentum yang baik bagi lahirnya model bisnis MUK melalui perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
*/ Tulisan ini dimuat pada Majalah Rimba Indonesia (MRI) Volume 70, Desember 2021
**/ Purnabakti Kementerian Kehutanan, Ketua Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (PUSKASHUT), Yayasan Sarana Wana Jaya, Dewan Pembina PP APWD-IPB, PP MKTI dan Dewan Pakar FORDASNAS.
UUCK tidak menyebutkan secara spesifik MUK pada pasal-pasalnya. Istilah MUK muncul pada PP No. 23 Tahun 2021, sekaligus sebagai penguatan/penyempurnaan terhadap Peraturan Dirjen PHPL No. P.1/PHPL/SET/KUM.1/5/2020 tentang Tata Cara Permohonan, Penugasan dan Pelaksanaan Model Multiusaha Kehutanan bagi Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi.
PP No.23 Th.2021 mendefinisikan MUK sebagai penerapan beberapa kegiatan usaha kehutanan berupa usaha pemanfaatan pengawasan, usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan/atau usaha pemanfaatan jasa lingkungan untuk mengoptimalkan kawasan hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi. MUK melalui Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (selanjutnya disingkat PBPH) dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMN, BUMD dan BUMS pada : (i). Hutan Lindung dapat diterapkan kegiatan usaha kehutanan berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan (ii).Hutan Produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Latar Belakang dan Basis Kebijakan
MUK menjadi opsi kebijakan guna mendorong usaha-usaha kehutanan yang selama ini telah berjalan, berdasarkan justifikasi bahwa : (i). nilai ekonomi riil lahan hutan sangat rendah (Nurrochmat, D., 2020); (ii). rendahnya persentase areal efektif; (iii). pasar kayu yang berasal dari hutan alam cenderung menurun; (iv). sebagai alternatif sumber PNBP selain hasil hutan kayu diperlukan optimalisasi ruang pemanfaatan kawasan hutan. (Justianto, A., 2021).
Kebijakan MUK, setidaknya telah menjawab penilaian eksklusivitas perizinan pemanfaatan hutan selama ini yang berbasis satu izin untuk satu kegiatan usaha. Hal ini menyebabkan tingginya biaya terluang (opportunity cost) dalam pemanfaatan Hutan Produksi akibat hilangnya manfaat terbaik yang mungkin untuk pemanfaatan HHBK (nabati, hewani, pangan, energi
biomasa, produk turunan dan budidaya non kayu), jasa lingkungan (wisata alam, wisata air, konservasi DAS, perdagangan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, bioprospecting dll.), yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang izin usaha yang lain termasuk masyarakat sekitar/di dalam hutan, pada areal konsesi IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT yang ada.
Pentingnya kebijakan MUK seperti diungkapkan Santoso, I. (2021) mengingat: (i). kontribusi kawasan hutan Indonesia yang luasnya 64 % dari total wilayah daratan terhadap PDB Indonesia sangatlah rendah, hanya sekitar 0,63 % (Statistik Kementerian Kehutanan, 2013); dan (ii). pemanfaatan potensi sumber daya hutan Indonesia baru sekitar 5 % dalam bentuk hasil hutan kayu, sedangkan sisanya belum dimanfaatkan dan dikelola secara terencana (Darusman, D., 2017).
Kebijakan MUK juga dilandasi aksi korektif kebijakan pembangunan kehutanan sebagaimana dirilis Menteri LHK sebagai isu strategis 2020-2024 mencakup tata kelola, sosial, lingkungan dan ekonomi yaitu : (i). ketahanan iklim dan pengendalian deforestasi termasuk lahan gambut; (ii). pengelolaan hutan berbasis ekosistem sumberdaya hutan dan masyarakat; (iii). pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai nationally determined contribution (NDC) bekerjasama dengan lembaga internasional dan dunia usaha; (iv). RKTN 2011-2030 sebagai arahan makro spatial; (v). konservasi keanekaragaman hayati; (vi). aktualisasi penerapan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan;
(vii). pencegahan Karhutla; (viii). penurunan signifikan deforestasi serta degradasi hutan dan lahan; (ix). pertimbangan SDG’s, Paris Agreement, Aichi Target Biodiversity, pengendalian degradasi lahan dll.
Justifikasi
Seperti halnya pembentukan peraturan per-UU-an, urgensi MUK dapat ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Secara filosofis, bahwa sumber daya hutan Indonesia yang dikuasai negara, seharusnya diurus, dikelola, dimanfaatkan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Uraian singkat pada Bab sebelumnya di atas telah menunjukkan bahwa hal tersebut memang belum dapat dicapai.
Dari aspek sosiologis, bahwa kawasan hutan negara sesuai fungsinya seharusnya mampu memberikan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat secara optimal termasuk masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hal inipun dinilai juga belum dapat diwujudkan. Telaahan aspek yuridis terkait pengaturan ijin usaha kehutanan seharusnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam berusaha. PBPH melalui MUK diatur dalam satu perijinan berusaha untuk semua kegiatan usaha kehutanan. Hal ini menyempurnakan peraturan yang ada selama ini yaitu satu ijin untuk satu kegiatan usaha kehutanan, yang dinilai kurang memadai ditinjau dari azas keadilan dan manfaat ekonomi/finansial karena bersifat eksklusif, juga dari aspek kemudahan berusaha dan optimalisasi pendayagunaan potensi sumberdaya hutan.
MUK yang dikemas dalam satu perijinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) untuk semua jenis kegiatan usaha, merupakan terobosan kebijakan/regulasi yang radikal namun cukup rasional. MUK lahir dari proses evolusi kebijakan pengelolan hutan yang telah berlangsung lama, diawali dari (i). dekade produksi kayu bulat yang sentralistis, lahirnya HPH, HPHH dan HTI
dengan satu ijin untuk satu kegiatan usaha (1967-2007); (ii). dekade optimalisasi pemanfaatan hutan, kebijakan pembangunan kesatuan pemangkuan hutan (KPH), penerapan sistem multisilvikultur dan silvikultur intensif (SILIN) dengan satu ijin untuk satu kegiatan usaha (2007-2020); dan kemudian (iii). pemanfaatan hutan untuk perijinan berusaha (PHPB) melalui
MUK dengan satu perijinan berusaha untuk semua kegiatan usaha.
Pada sektor pertanian dikenal istilah multiusaha pertanian dengan sistem usaha tani terpadu (integrated farming system), dimaksudkan sebagai upaya peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan hasil usahatani. Dalam perspektif tata kelola pemanfaatan hutan, MUK menjadi harapan banyak pihak sebagai upaya reformasi struktural dengan maksud untuk : (i). memberikan kemudahan berusaha dan investasi kelola hutan multifungsi; (ii). menggeser paradigma timber management yang kental selama ini kearah forest-landscape management; (iii). mendorong terbangunnya wirausahawan yang kreatif dan inovatif; (iv). menguatkan bisnis kehutanan dengan mengintegrasikan hulu-hilir-pasar; dan (v). meningkatkan efek pengganda
(multiplier effect) dalam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan;
Perubahan paradigma manajemen hutan melalui MUK ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya berbagai model kelola hutan multifungsi. Sehingga spektrum jenis dan jumlah opsi usaha yang dapat dilaksanakan, semakin luas. Oleh karena itu dalam implementasi MUK perlu menerapkan rezim pengelolaan yang tepat guna sesuai kondisi setempat (location specific) mencakup daya dukung/tampung lingkungan, kesesuaian lahan, agroklimat dan kelembagaan sosial ekonomi. MUK juga perlu dimaknai bukan semata model bisnis eksploitatif, melainkan harus mampu mengakomodasikan ragam kepentingan lokal, daerah, nasional dan bahkan internasional. Dengan beragam usaha saling terkait serta peluang besarnya manfaat yang akan diperoleh, untuk mengukur kinerja MUK perlu pula ada indikator seberapa besar dampak keterkaitan kedepan dan keterkaitan kebelakang (forward/ backward linkages).
Suatu unit PBPH melalui MUK dapat mencakup beberapa sub sistem yaitu pemasokan bahan baku, proses produksi, penyimpanan dan distribusi produk, dalam satu rangkaian sistem rantai pasok (supply chain). Guna memastikan sistem bisnis MUK itu berjalan dengan baik dan lancar serta menguntungkan pengelola, diperlukan manajemen rantai pasokan yang
manageable dan solid agar mampu menjamin efisiensi dan efektivitas pada keseluruhan sub sistem dalam sistem tersebut.
Peluang dan Tantangan
Dari uraian di atas, pelaksanaan PBPH berbasis MUK ini disatu sisi akan membuka berbagai peluang usaha dan disisi lain juga menghadapi beberapa tantangan.
Peluang usaha yang hakekatnya merupakan insentif bagi pemegang perijinan berusaha, antara lain adalah : (i). memungkinkan bagi pemegang perijinan berusaha untuk bekerjasama investasi dengan para pihak/investor terkait sesuai ragam bisnis yang ada; (ii). mendukung program ketahanan pangan melalui budidaya tanaman semusim/setahun; (iii). mendukung pengembangan energi terbarukan melalui budidaya hutan tanaman energi dan pemanfaatan biomasa hutan/non hutan lainnya (wood chip, wood pelet, cofiring-batubara, sampah/limbah, dll.); (iv). mendukung kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan serat kayu, panel kayu, pangan, bioenergi, pakan ternak dan obat-obatan; (v). mengembangkan klaster bisnis kehutanan terpadu hulu-hilir-pasar di kawasan industri (KI), kawasan ekonomi khusus (KEK), dan kawasan lainnya; (vi). menjamin keberlanjutan usaha dengan panjangnya jangka waktu perijinan berusaha serta adanya insentif bebas pengenaan dana reboisasi (DR) yang tidak lagi berdasarkan ijin; (vii). meningkatkan produktivitas hasil hutan kayu dengan teknik MSS dan SILIN serta reduced impact logging sesuai kondisi setempat; (viii). mengembangkan industri pengolahan hasil hutan di areal kerja perijinan berusaha; dan (viii). mengembangkan usaha kehutanan bermitra dengan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), UKM, koperasi dan masyarakat
lainnya.
Sedangkan tantangan bagi pemegang perijinan berusaha adalah seperti berikut ini : (i). mengkaji dengan seksama dan kemudian memetakan potensi sumber daya alam (hutan, biodiversity flora-fauna, keindahan alam dll.) pada areal kerja sebagai dasar permohonan perijinan berusaha; (ii). menyesuaikan/merevisi rencana kerja usaha berbasis MUK; (iii). melaksanakan penataan batas areal kerja dengan teknologi informasi; (iv). merealisasikan MUK mencakup beragam komoditas dari HHK, HHBK, dan
jasa lingkungan; (v). menjalin jejaring kerja lintas sektor dan pemangku kepentingan guna mendukung keberhasilan rantai pasok dari hulu-tengah-hilir; (vi). membangun sistem evaluasi kinerja PBPH berbasis PHPL (adaptasi dan mitigasi perubahan iklim); dan (vii). mengintegrasikan kegiatan penyimpanan dan penyerapan karbon menjadi salah satu kegiatan MUK.
Prospek Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim
Meskipun tidak semua pihak senang dengan Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) hasil KTT (COP)-26 Perubahan Iklim di Glasgow-UK pada1-12 November 2021 baru-baru ini, semua negara termasuk Indonesia menyepakati untuk menghentikan pemakaian energi batu bara secara bertahap. Hasil ini menjadi peluang bagi pengembangan bisnis MUK, khususnya biomasa hutan tanaman energi (HTE) seperti kaliandra, gamal, eucalyptus, akasia, jabon, sengon dll. sebagai bahan bakar pengganti partial
atau bahan campuran kedalam boiler PLTU batubara (co-firing). Pasar sangat terbuka, dari 52 PLTU di Indonesia, sudah terlaksana 6 PLTU yang menerapkan co-firing batubara, dan 17 PLTU lainnya akan uji coba dan implementasi pada tahun 2021. Dibutuhkan 12 juta ton biomasa hutan untuk substitusi batubara PLTU (Dirut PLN, 2021). Pada Januari 2021 antara Perum Perhutani, PTPN III dan PLN telah ditandatangani MOU penyediaan biomasa untuk PLTU tersebut.
Pemerintah, dunia bisnis dan pemangku kepentingan lainnya menghadapi tantangan dan sekaligus peluang seberapa jauh PBPH-MUK dapat berkontribusi efektif mendukung keberhasilan kebijakan mengatasi isu perubahan iklim di Indonesia yaitu :
1. FOLU Carbon Net Zink 2030 (Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Lahan Lainnya), dengan lebih banyak emisi karbon (CO2) yang diserap daripada yang dilepaskan pada tahun 2030.
2. LTS-LCCR 2050 (Strategi Jangka Panjang – Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim 2050), dan
3. Pakta Iklim Glasgow (2021).
Hal ini tergantung banyak faktor yang akan mempengaruhi besaran penyerapan karbon bersih (net zink) yang dapat dihasilkan dari aktivitas PBPH-MUK, utamanya yaitu : (i). komitmen/kesungguhan dan kualitas rencana kerja usaha (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT) yang diajukan perusahaan pemohon perijinan berusaha ybs.; (ii). kecermatan dalam penilaian dan persetujuan pemberian perijinan berusaha tersebut butir-(i) tersebut; (iii). profesionalitas SDM dan kinerja perusahaan pemegang perijinan berusaha tersebut di lapangan, dan (iv). iklim usaha yang sehat dan kondusif.