UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menambahkan ketentuan didalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang mengatur mengenai penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha di kawasan hutan yaitu pada : (i). Pasal 110 A, bagi kegiatan yang sudah memiliki izin usaha namun tidak memiliki izin di bidang kehutanan, wajib membayar PSDH dan DR untuk mendapat persetujuan pelepasan kawasan hutan atau dengan mekanisme persetujuan melanjutkan usaha di kawasan hutan; dan (ii). Pasal 110 B, bagi yang tidak memiliki izin usaha dan izin bidang kehutanan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan, membayar denda administratif atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan.
Melalui peraturan turunannya yaitu PP No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP dari Denda Administrasi Bidang Kehutanan, penyelesaian kegiatan usaha yang telah terbangun di kawasan hutan wajib diselesaikan maksimal 3 (tiga) tahun setelah terbitnya UU Cipta Kerja. Namun selain sanksi administratif, belum diatur mengenai kewajiban pemulihan lingkungan.
Kegiatan usaha atau penggunaan kawasan hutan untuk non kehutanan antara lain diperuntukkan : perkebunan, pertanian, pertambangan, migas, panas bumi, permukiman, industri, wisata, infrastruktur/sarana prasarana lainnya. Disamping itu juga dapat berupa kegiatan strategis dan tak terelakkan, serta kepentingan umum. Keterlanjuran kegiatan usaha di kawasan hutan tersebut dapat berada di hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi yang kemungkinan telah berlangsung lama misalnya lebih dari 5 (lima) tahun yang dilakukan baik oleh badan usaha/korporasi maupun perorangan. Hal ini sudah tentu memerlukan solusi yang seharusnya tidak digeneralisasi.
Dampak keterlanjuran kegiatan usaha di kawasan hutan selain manfaat yang dinikmati pengguna kawasan hutan ybs., dapat mengakibatkan kerugian besar bagi kelestarian hutan dan lingkungan, kerugian negara/pemerintah /pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat. Solusi penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha di kawasan hutan tersebut haruslah memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang terkait dan mampu mencegah/mengeliminir timbulnya kerusakan hutan dan lingkungan yang lebih besar. Termasuk adanya wacana forest amnesty sebagai salah satu solusi keterlanjuran kegiatan usaha di kawasan hutan dengan maksud untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara, juga harus berkeadilan dan berwawasan lingkungan. Demikian pula penerapan instrumen pembayaran DR dan PSDH serta pemulihan kerusakan lingkungan haruslah tepat dan berimbang sebagai bagian dari sanksi administratif atau kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pengguna kawasan hutan yang bersangkutan.
Selengkapnya klik link berikut.