Berdasarkan dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC), target pengurangan emisi GRK ditetapkan sebesar 29 % tanpa syarat atau dengan usaha sendiri dan 41 % bersyarat atau dari dukungan internasional pada tahun 2030. Kontributor utama atau tulang punggung dalam pengurangan emisi GRK sebesar 29 % tersebut yaitu sektor kehutanan dan energi. Untuk mencapai target 29 % tersebut, sektor kehutanan berkontribusi mengurangi 497 juta ton CO2e (sekitar 60 %), sedangkan sektor energi sebesar 314 juta ton CO2 (Wamen KLHK. 2022).
Dalam dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) dinyatakan bahwa puncak emisi terjadi pada tahun 2030, dengan kata lain pada tahun tersebut tidak boleh menambah jumlah emisi lagi melainkan harus diturunkan. Estimasinya emisi puncak pada tahun 2030 adalah sebesar 1,24 milyar ton CO2e.
Dalam rangka mengatur mekanisme perdagangan karbon telah diterbitkan Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang bertujuan untuk mengatur pengurangan Emisi GRK dan peningkatan Ketahanan Iklim, serta NEK dalam rangka pencapaian target NDC 2030. Merujuk kepada Baseline Emisi GRK pada tahun 2O3O adalah sebesar 2.869 juta ton CO2e, sedangkan pengurangan Emisi GRK 29 % sebesar 834 juta ton CO2e (usaha sendiri) atau 41 % sebesar 1.185 juta ton CO2e (kerjasama internasional). Strategi Pengendalian Emisi GRK Sektor Kehutanan pada tahun 2O3O adalah menerapkan pendekatan carbon net sink dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU Net Sink 2030).
Terdapat dua hal penting yang perlu antisipasi dan perhatian serius yaitu : (1). Dengan tingginya potensi nilai ekonomi perdagangan karbon yang dimiliki Indonesia, pemerintah perlu mengoptimalkan atau merebut pasar karbon yang diawali dengan cara mendaftarkan seluruh perdagangan karbon pada Sistem Registri Nasional (srn.menlhk.go.id), baik yang tidak dijual maupun yang dijual didalam negeri dan di luar negeri. Perdagangan karbon dari sumber daya hutan, mangrove dan gambut Indonesia dapat mencapai nilai lebih dari Rp. 8.000 Triliun (USD $ 565,9 Milyar) (KADIN, 2022); (2). Urgensi mengatasi persoalan dominasi pasar perdagangan karbon global oleh negara-negara maju, selain itu juga adanya ketimpangan harga jual karbon antara negara maju dan negara sedang berkembang.
Selengkapnya klik link berikut