Pembukaan tambak untuk budidaya udang dan perikanan telah menghancurkan kawasan ekosistem mangrove nasional seluas 570.774 hektar (ha) atau 16,57% dari total tutupan mangrove seluas 3,44 juta ha. Bahkan, deforestasi hutan mangrove itu diperkirakan bakal lebih luas lagi karena rendahnya produktivitas tambak.

“Perubahan dari hutan mangrove menjadi tambak merupakan mayoritas permasalahan saat ini dan itu jadi tantangan kita bersama,” ujar Ketua Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut) Yayasan Sarana Wanajaya (YSWJ), Dr. Harry Santoso, IPU saat membacakan hasil Webinar Puskashut bertema “Manajemen Adaptif dalam Restorasi Mangrove dan Gambut di Tingkat Lokal” yang digelar Kamis (11/7/2024).

Webinar kali ini diselanggarakan Puskashut dengan mengundang narasumber dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), serta guru besar silvikultur IPB, Prof. Dr. Cecep Kusmana. Kepala BRGM Ir. Hartono, MSc berhalangan hadir dan diwakili Kepala Kelompok Kerja (Pokja) Teknik Restorasi BRGM, Agus Yasin, MSc. dan Kepala Pokja Edukasi dan Sosialisasi BRGM, Dr. Suwignya Utama.

Berdasarkan data yang disampaikan BRGM, deforestasi mangrove memang didominasi oleh aktivitas pembukaan tambak. Ekosistem mangrove yang berubah fungsi menjadi tambak mencapai 570.774 ha. Dari luasan itu, mangrove di kawasan hutan, baik di hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi, berubah menjadi hamparan tambak seluas 218.119 ha atau 38,2% dari luas total deforestasi mangrove. Rinciannya, di hutan konservasi 37.595 ha, hutan lindung 59.931 ha dan hutan produksi 120.593 ha.

Kondisi di luar kawasan hutan atau areal penggunaan lain (APL) jauh lebih parah. Dari ekosistem mangrove di luar kawasan ini, seluas 352.665 ha atau 61,8% telah berubah menjadi tambak. “Produktivitas tambak yang rendah diperkirakan bakal menambah luas deforestasi mangrove seluas 600.000 ha,” ujar Agus Yasin dalam paparannya.

Bahkan, kata Yasin, berdasarkan proyeksi tahun 2024 dan 2030, luas ekosistem mangrove yang musnah juga masih akan bertambah. Padahal, itu pun sudah dengan memasukkan pertimbangan upaya pemulihan lingkungan. Dari skenario net, bakal ada kehilangan mangrove seluas 51.272 ha dan pada tahun 2030 hilangnya mangrove mencapai 128.180 ha atau laju kehilangan mencapai 12.818 ha/tahun.

Kondisi tersebut bakal menjadi lebih buruk jika dibiarkan tanpa upaya pemulihan (skenario gross). Tahun ini diperkirakan akan terjadi kehilangan mangrove seluas 104.456 ha atau dua kali lipat dari skenario net, dan tahun 2030 luasan mangrove yang musnah mencapai 261.140 ha atau laju kerusakan mencapai 26.114 ha/tahun.

Deforestasi kawasan mangrove maupun ekosistem gambut jelas berdampak negatif buat lingkungan maupun kehidupan. Pasalnya, kedua ekosistem ini memegang peran penting dalam siklus hidrologi, selain keberadaan biodiversitas, jasa lingkungan dan mitigasi perubahan iklim.

Kawasan mangrove Indonesia menyimpan karbon sebesar 3 miliar ton (Gton) setara CO2, bahkan kawasan gambut lebih besar lagi sebesar 40 Gton setara CO2. “Bahkan dalam literatur lain potensinya ada yang menyebut 50 miliar ton karbon,” ujar Yasin.

Dengan terjadinya deforestasi di dua ekosistem tersebut, maka emisi gas rumah kaca Indonesia pun meningkat. Peningkatan emisi gas rumah kaca ini menyebabkan peningkatan suhu Bumi dan memicu krisis iklim global.

“Emisi akibat deforestasi mangrove adalah 1.000 ton/ha, serta potensi serapan emisi yang hilang dari mangrove yang telah dikonversi adalah 50 ton/ha/tahun,” ujar Yasin.

Sementara dari sisi masyarakat, rusaknya ekosistem mangrove juga makin banyak dirasakan. Menurut Suwignya, rusaknya ekosistem mangrove di Desa Kuala Selat, Indragiri Hilir, Riau menyebabkan hancurnya perkebunan kelapa rakyat seluas 1.500 ha. Selain itu, dampak rusaknya ekosistem ini juga memicu terjadinya abrasi dan intrusi air laut di wilayah pesisir serta rusaknya fasilitas sosial.

Dia menyebut kasus mundurnya garis pantai jauh ke daratan yang terjadi di Demak serta abrasi di sepanjang pantai Bengkalis. “Luas kawasan di Demak yang terkena erosi mencapai 2.116,4 ha dan ini menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5,1 km,” ujar Suwignya.

Sementara di Bengkalis, panjang pantai yang terkena dampak abrasi mencapai 40 km, dengan panjang daerah kritis mencapai 11 km, di mana laju rata-rata abrasi per tahun sudah sangat mengkhawatirkan karena mencapai 3-5 meter, katanya.

 

Luas kawasan di Demak yang terkena erosi mencapai 2.116,54 ha yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5,1 km dari garis pantai. Foto: Detik.com

Harus Dikelola

Itu sebabnya, guru besar silvikultur IPB, Prof. Dr. Cecep Kusmana memandang pentingnya Indonesia untuk mengelola ekosistem mangrove karena selain untuk menghindari bencana, juga menghasilkan berbagai jenis barang yang bernilai ekonomi tinggi serta jasa lingkungan yang bermanfaat untuk menunjang sistem kehidupan.

Menurut ITTO, kata Cecep, pendugaan nilai ekonomi ekosistem mangrove mencapai 2.000-9.000 dolar AS/ha/tahun.

Selama ini, mangrove memang sudah menjadi penyedia sumberdaya buat masyarakat, seperti bahan pangan, sandang dan obat-obatan. Ekosistem ini juga memberi jasa lingkungan berupa sistem penyangga kehidupan, seperti proteksi terhadap abrasi, angin topan, intrusi air laut, habitat satwa liar, memurnikan air terpolusi, pembentuk sedimen dan penahan unsur hara, serta penyerap dan penyimpan karbon.

Yang tidak kalah penting mengapa ekosistem ini perlu dikelola, kata Cecep, terutama dalam kondisi perubahan iklim saat ini, adalah potensi serapan dan simpanan karbonnya yang tinggi.

Menurut Cecep, mangrove adalah salah satu tipe ekosistem pesisir, selain padang lamun dan terumbu karang, yang memiliki produktivitas tinggi dibandingkan dengan tipe-tipe ekosistem lainnya. “Simpanan karbonnya 3-5 kali dari simpanan karbon hutan daratan. Jadi, jika kita kehilangan mangrove 1 ha, konsekuensinya kita kehilangan hutan daratan 5 ha. Itu sebabnya, mangrove kini juga penting dan diperhitungkan dalam FOLU Net Sink 2030 (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan dalam menyerap karbon dari atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk biomassa dan tanah, Red.),” ujar guru besar silvikultur ini.

 

“Jika kita kehilangan mangrove 1 ha, konsekuensinya kita kehilangan hutan daratan 5 ha,” Prof. Cecep

 

Selain nilai ekonomi dan lingkungan, ekosistem mangrove juga penting secara geopolitik. Bahkan ini salah satu alasan yang sangat penting mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan 17.504 pulau, di mana ada 92 pulau kecil terluar. Dari luas Indonesia 9 juta km2, luas daratan hanya 2 juta km2 dan lautan mencapai 7 juta km2.

Nah, eksistensi pulau-pulau kecil terluar itu mengandalkan pada dua tipe hutan, yakni hutan pantai dan hutan mengrove. “Jika hutan mangrove-nya rusak, otomatis pulau-pulau itu tenggelam. Kalau tenggelam, artinya batas teritorial kita mundur karena batas teritorial negara itu ditentukan oleh pulau terluarnya,” papar Cecep.

 

Lima Pilar Pengelolaan Mangrove

Dalam kesempatan itu, Prof. Cecep juga memberi catatan mengenai pengelolaan mangrove saat ini. Karena hutan mangrove merupakan bagian integral dari dua bagian ekosistem, yakni ekosistem pesisir dan di lain pihak bagian integral dari daerah aliran sungai (DAS), maka kedua ekosistem itu harus sama-sama dikelola.

“Kalau mengelola mangrove yang diurus hanya pesisirnya, sementara DAS-nya tidak diperhatikan, ya percuma,” tandasnya. Dia memberi contoh Segara Anakan di Cilacap. Yang diperhatikan hanya Segara Anakan saja, sementara DAS Citanduy jarang tersentuh. “Jadi yang lestari proyek pengerukan saja, sementara tata ruang di DAS Citanduy tidak dibereskan,” katanya seraya menyebut jangan heran jika masalah di Segara Anakan tidak akan pernah selesai.

Dia juga menyebut pengelolaan hutan mangrove harus dengan filosofi konservasi, yakni save it, study it, use it. Mangrove yang saat ini masih belum ditentukan penggunaan dan pemanfaatannya, maka lebih baik disimpan dulu. Setelah diselamatkan, maka dipelajari dulu, baru bisa dimanfaatkan. “Ini dalam rangka mengoptimalkan bagaimana kita menemukan keperluan konservasi dengan penyediaan barang dan jasa untuk masyarakat,” paparnya.

Untuk kepentingan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan, dia menyebut para rimbawan tidak bisa memaksimalisasikan sustainable forest management (SFM), tapi hanya mengoptimalkannya saja. Jadi, bagaimana mengoptimalkan fungsi lingkungan, fungsi sosial dan fungsi ekonomi dari hutan mangrove. Bahkan, kata dia, untuk mangrove perlu ditambah dua pilar lagi, yakni kelembagaan dan regulasi.

“Mana kala kelembagaan tidak terbentuk, tidak akan tercapai sustainability. Kalau kelembagaan ada, tapi regulasi amburadul, tidak akan tercapai juga. Jadi, lima pilar itu jadi syarat tercapainya sustainability,” ujar Prof. Cecep. ***

 

 

Budidaya Tambak Konversi Terbesar Ekosistem Mangrove

Post navigation


Leave a Reply