Sektor kehutanan nasional dinilai sangat strategis dan harus ditingkatkan kontribusinya terhadap pembangunan nasional, terutama dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi hijau di era perubahan iklim. Bahkan, jika dihitung dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, subsektor kehutanan masih terlalu kecil mengingat kewenangannya yang sangat besar mengelola lebih 64% luas daratan nasional atau 125 juta hektare (ha) dari 191 juta ha luas total daratan Indonesia. Sektor Kehutanan kedepan perlu untuk terus diurus dan dikelola secara profesional, akuntabel dan berkelanjutan dalam Kementerian yang kuat dan mandiri.

Itulah kesimpulan yang bisa ditarik dari webinar yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut) Yayasan Sarana Wana Jaya (YSWJ) pada Kamis (8/8/2024), dibuka oleh Dr. Ir. Iman Santoso, MSc., Ketum YSWJ. Webinar reguler yang digelar Puskashut kali ini memang menampilkan topik menarik, yakni mengkaji “Peran Sektor Kehutanan dalam Mendukung Program Pembangunan Nasional” di tengah hangatnya suhu politik menjelang pergantian pemerintahan Presiden Joko Widodo ke tangan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

 

Bahkan, untuk memotret secara detil sumbangsih sektor kehutanan dalam pembangunan nasional, Puskashut mengundang Puji Agus Kurniawan, Direktur Neraca Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), yang belakangan berhalangan dan diwakili oleh Ria Arinda SST, M.Sc. Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) diwakili oleh Staf Ahli Menteri (SAM) bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Novia Widyaningtyas, S.Hut., M.Sc. Untuk memperkuat diskusi, Puskashut juga menghadirkan Prof. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc., IPU, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University.

 

“Pembangunan sektor kehutanan dalam pembangunan nasional dan global ternyata sangat strategis dan memiliki nilai penting yang tinggi. Hal itu bisa dilihat dari sisi historis, di mana pembangunan kehutanan tidak hanya menjadi komitmen nasional, tapi sudah menjadi komitmen internasional sejak tahun 1972 dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm sampai KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992,” ujar moderator yang juga Ketua Puskashut, Dr. Ir. Harry Santoso, IPU, saat membacakan poin-poin penting diskusi. Dia juga menyebut Perjanjian Paris dan UNFCCC serta UNCBD  dan UNCCD sebagai mandat internasional yang menjadi tanggung jawab kehutanan Indonesia.

Menurut Novia Widyaningtyas, kehutanan memang sudah menjadi isu penting di tataran global, terutama dikaitkan dengan perdagangan internasional. Dalam setiap perundingan perdagangan pada chapter Trade and Sustainable Development, masalah pengelolaan hutan yang lestari (SFM) dan konservasi hutan kerap dibahas.

Tapi yang paling penting, kata Novia, “Pengelolaan hutan yang lestari adalah pelaksanaan dari amanat konstitusi (UUD 1945) pasal 28 H dan Pasal 33. Ini yang jadi dasar buat kita mengelola hutan secara lestari,” ujarnya. Apalagi, tambahnya, hutan dan kehutanan tidak hanya tulang punggung pembangunan nasional tapi juga tulang punggung pencapaian komitmen internasional Indonesia.

Hanya saja, dia mengingatkan, sektor kehutanan harus membangun sinergi dan berkolaborasi dengan sektor lain untuk bisa terus melanjutkan kiprahnya dalam pembangunan nasional, terutama dalam mengoptimalkan manfaat ekonomi seraya tetap menjaga keseimbangan dengan kepentingan sosial dan lingkungan.

Dia mengakui bahwa banyak komentar pesimis terkait dengan sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB nasional karena terjadinya penurunan. Dia berharap rimbawan justru harus optimis mengingat peran kehutanan sangat penting dilihat dari target ekonomi 2024. Dari sisi ekspor kayu olahan diperkirakan meraup devisa 16 miliar dolar AS (sekitar Rp256 triliun dengan kurs Rp16.000/dolar AS). Perolehan itu berkat dukungan produksi kayu bulat 60 juta m3/tahun yang diolah 540 unit industri hasil hutan berkapasitas 106,02 juta m3/tahun.

Belum lagi dari investasi daur ulang sampah dan kehutanan, termasuk wisata alam, akan diperoleh pemasukan Rp17,91 triliun dengan menyerap tenaga kerja 307.000 orang. Sementara dari produksi barang dan jasa hasil hutan bukan kayu kelompok tani hutan juga diperkirakan terjadi transaksi keuangan sebesar Rp1,8 triliun.

 

PDB Kehutanan Menurun

Yang jadi pertanyaan, benarkah sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB menurun? Lalu, bagaimana cara meningkatkannya?

Dari data BPS memang terlihat bahwa sumbangan subsektor kehutanan (dalam masalah PDB, kehutanan masuk pada subkategori Kehutanan di bawah kategori Pertanian, Red.) terhadap PDB nasional mengalami fluktuasi dan cenderung terus menurun. Jika tahun 2010 sumbangan subsektor kehutanan dan penebangan kayu masih 0,82%, angkanya terus menurun menjadi 0,71% pada 2014 dan 0,66% pada 2019. Sempat rebound ke posisi 0,77% pada 2020, kontribusi itu kembali merosot ke posisi 0,60% pada 2022. Tahun lalu, 2023, angka kontribusi sedikit membaik menjadi 0,62%.

 

Fluktuasi itu juga terjadi ketika melihat kontribusi subsektor kehutanan pada PDB sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Jika tahun 2010 angkanya masih 2,83, maka lima tahun ke depan terus merosot tinggal 1,76 pada 2015. Bahkan, angka pertumbuhan pada 2016, 2020 dan 2022 mengalami kontraksi menjadi -1,03, -0,03 dan -1,26. Tapi tahun lalu angkanya melonjak lagi menjadi 2,61.

“Alasan terjadinya kontraksi -1,26% pada subkategori kehutanan waktu itu akibat belum optimalnya produksi kayu bulat di hampir semua IUPHHK, sehingga masih dibutuhkan terobosan dan relaksasi kebijakan,” papar Ria Arinda dari BPS.

PDB subsektor kehutanan sendiri dihitung dari aktivitas Pengusahaan Hutan, Penebangan dan Pemungutan Kayu, Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu serta Jasa Penunjang Kehutanan. Jika dimasukkan dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), maka kegiatan itu masuk dalam empat kode, yakni 021, 022, 023 dan 024.

 

Ketidakpuasan

Menurut Prof. Dodik Ridho Nurrochmat, untuk melihat kontribusi kehutanan dalam pembangunan juga perlu melihat PDB Satelit, PDB Kawasan dan PDB Hijau. PDB atau Neraca Satelit adalah neraca yang bertujuan mendalami isu spesifik yang lebih terkini, yang memperkenalkan konsep alternatif, seperti jasa yang disediakan oleh lingkungan, juga untuk membangun data supplementary selain Sistem Neraca Nasional (SNA SNN).

Mengapa perlu melihat PDB satelit dan kawasan? “Karena banyak suara ketidakpuasan jika melihat PDB subsektor kehutanan. Kok PDB kehutanan kecil? Banyak yang protes. PDB Kehutanan rendah karena industri pulp dan kertas serta furniture tidak dihitung. Itu sebabnya mari kita coba hitung dengan PDB Satelit dan PDB Kawasan,” papar Dodik.

Mantan Wakil Rektor IPB ini mengaku pernah membantu menghitung PDB Satelit kehutanan di KLHK bersama dengan BPS. Yang harus diingat, ketiga PDB itu memiliki konsep yang berbeda.

Dari data yang ada, nilai PDB subsektor kehutanan memang kecil dan terus menurun. Tapi begitu menghitung PDB Satelit, yakni sektor industri pengolahan berbasis kehutanan, perdagangan hasil hutan dan hasil industri berbasis kehutanan serta jasa perburuan dan jasa kehutanan lainnya (lihat tabel) dan kemudian digabungkan, diperoleh kenaikan yang lumayan besar. “Saat itu (2020), PDB Satelit kehutanan naik jadi 2,75. Jika dilihat kenaikannya bisa 400% dari 0,7 jadi 2,75.”

 

Hanya saja, kata doktor jebolan University of Gottingen, Jerman ini, meski terjadi kenaikan PDB Satelit, tapi jika dilihat dari sisi luasnya kawasan hutan (125 juta ha) dibandingkan kawasan daratan Indonesia (191 juta ha), angka itu tak ada apa-apanya. “PDB-nya cuma 2,75. Itu zolim kita. Mengapa zolim? Karena kita diberi kewenangan untuk mengelola sekitar 64 % kawasan hutan, tapi kok hanya sanggup menghasilkan 2,75% kesejahteraan, jika kesejahteraan itu dihitung dari PDB,” paparnya.

Sementara untuk PDB Kawasan, yang dihitung adalah kawasannya. Jika ada tambang ada di dalam kawasan hutan, maka dihitung sebagai PDB Kawasan hutan. Begitu juga dengan kilang minyak. “Jadi ini bisa lebih besar, memang, tapi juga bisa lebih kecil di daerah lain. Misalnya jika di suatu daerah ada pabrik pulp dan dan kertas tapi lokasinya di luar kawasan hutan, ya tidak dihitung sebagai PDB kehutanan. Begitu juga dengan pabrik furniture,” jelasnya.

Menurut Dodik, dari beberapa macam PDB tadi, yang berbeda secara substansial adalah PDB Hijau. PDB Satelit hanya mengubah voting tapi tak bisa mengubah penghitungan PDB konvensional. Selain itu, jika PDB Satelit ingin dijadikan standar nasional, pasti banyak yang protes dan tidak terima. “Misalnya industri pengolahan. Kita tahu dia masuk PDB perindustrian. Kalau dijadikan PDB Satelit kehutanan pasti protes.”

Berbeda dengan PDB Hijau. Dia punya perbedaan substansial dari cara pandang dan penghitungan.

 

BeyondGDP

Menurut Ria, PDB Hijau sendiri merupakan perkembangan dari banyaknya kritik bahwa PDB hanya membahas dari sisi ekonomi, sementara bagaimana dengan kondisi hutan yang sudah dieksploitasi manusia? Dari situlah sejak 10 tahun terakhir ini lahir gerakan #BeyondGDP, yakni dunia bergerak melampaui PDB.

“PDB masih penting, tapi kita butuh pengukuran lain yang bisa menjelaskan bagaimana kondisi kesejahteraan manusia, lingkungan dan sosial. Jadi, tidak semata-mata ekonomi. Ini yang melatarbelakangi mengapa pentingnya memperhatikan hubungan antara lingkungan dengan ekonomi, dan ini sudah dimasukkan dalam perjanjian lingkungan internasional dan nasional juga,” papar Ria.

Misalnya, kata Ria, Perjanjian Paris yang sudah memasukkan solusi berbasis lingkungan ke dalam neraca supaya bisa mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Pemerintah pun sudah menerjemahkan Perjanjianj Paris dan SDG’s ke dalam program prioritas dalam RPJMN 2020-2024, yaitu tentang penguatan lingkungan dan peningkatan ketahanan terhadap bencana alam dan perubahan iklim. Selain itu dalam Visi Indonesia 2045 juga ada pernyataan bahwa ekonomi hijau jadi salah satu dari enam strategi transformasi ekonomi Indonesia.

Menurut Ria, ekonomi hijau yang ada dalam Neraca Ekonomi Lingkungan sudah berdasarkan pedoman penghitungan statistik internasional, yakni SEEA-CF yang dirilis sejak 2012. Di pedoman ini ada empat neraca, di mana dua diantaranya terkait dengan kontribusi kehutanan dalam pembangunan, yakni neraca terintegrasi ekonomi-lingkungan serta neraca fungsional.

Neraca terintegrasi ekonomi-lingkungan akan menghasilkan PDB Hijau, yakni PDB konvensional yang sudah disesuaikan dengan deplesi lingkungan. “Jadi lebih fair karena kita tidak hanya memperhatikan ekonomi, tapi juga menghitung seberapa jauh perlindungan atau kerusakan lingkungan yang sudah terjadi,” katanya.

Sementara neraca fungsional akan menghasilkan informasi hijau berupa pengeluaran perlindungan lingkungan dan barang dan jasa lingkungan. Dengan demikian, kata Ria, kita bisa tahu berapa pengeluaran operasional suatu perusahaan yang sudah ramah lingkungan. “Atau perusahaan itu kira-kira sudah menghasilkan barang dan jasa yang ramah lingkungan atau belum,” tandasnya.

 

Cara Menaikkan PDB Kehutanan

Nah, terkait ekonomi hijau, BPS punya Sistem Neraca Ekonomi Lingkungan-Ekonomi Indonesia (Sisnerling), dan ini bisa menghitung PDB kehutanan yang sudah disesuaikan dengan deplesi lingkungan atau Produk Domestik Neto 1 alias PDN 1. Ringkasnya, PDN 1 adalah sama dengan PDB – Konsumsi Modal Tetap – Deplesi Sumberdaya Alam.

Dari penghitungan Sisnerling, PDB subsektor kehutanan secara nominal terlihat terus mengalami kenaikan setiap tahun.

“Tapi ketika sudah kita sesuaikan dengan deplesi yang sudah terjadi di sumberdaya kayu, grafiknya turun-naik. Bahkan, pada 2019 PDB hijau kehutanan terjadi penurunan tajam, begitu juga tahun 2021,” papar Ria.

Dia menyebut deplesi pada 2019 cukup besar, yang berasal dari angka ekstraksi dan kerusakan yang terjadi di sumberdaya kayu. “Jadi, deplesi 2019 cukup tinggi nilainya sebesar Rp88.487 miliar. Begitu juga pada 2021 deplesinya mencapai Rp55.087 miliar.”

 

 

 

BPS sendiri melihat kontribusi sektor kehutanan masih perlu ditingkatkan dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi hijau serta memastikan adanya hubungan yang saling mendukung antara subkategori kehutanan dengan sektor atau lapangan usaha lainnya. Caranya?

  • Meningkatkan produktivitas hutan melalui praktik-praktik pengelolaan yang berkelanjutan sehingga meningkatkan nilai tambah produknya juga;
  • Meningkatkan nilai tambah produk kehutanan seperti kayu, non-kayu, dan jasa lingkungan melalui kegiatan produksi yang ramah lingkungan;
  • Mendorong investasi dalam teknologi ramah lingkungan yang dapat meningkatkan efisiensi dan hasil dari sektor kehutanan;
  • Melakukan efisiensi sumber daya, dan pengurangan emisi karbon dalam semua kegiatan kehutanan;
  • Mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi keanekaragaman hayati melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan;
  • Membangun sinergi antara sektor kehutanan dengan lapangan usaha atau sektor lain untuk menciptakan manfaat ekonomi yang lebih luas. ***
Ditunggu, Kontribusi Sektor Kehutanan Melalui PDB Hijau

Post navigation


Leave a Reply