Revisi UU No.41/1999 demi Selamatkan Hutan Nasional

Indonesia harus memuat kembali batasan luas kawasan hutan minimal 30% untuk setiap daerah aliran sungai (DAS) atau pulau di dalam revisi UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dihapus dalam UU Cipta Kerja (UU. No. 6 Tahun 2023 tentang Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja). Angka minimal tersebut punya sejarah panjang dan sangat vital mengamankan keberadaan kawasan hutan. Apalagi, perkembangan politik dewasa ini sangat mudah mengkonversi hutan untuk kepentingan lain, termasuk dengan dalih ketahanan pangan maupun energi nasional.

Seperti sudah bisa diterka, diskusi kelompok terarah (FGD) pembahasan tentang perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut) Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ), riuh oleh pembahasan hilangnya “angka keramat” 30% luas minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan. Angka minimal itu secara mengejutkan dihapus oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang kemudian diubah dengan UU No. 6/2023 tentang penetapan Perppu No. 22/2022 tentang Cipta Kerja sebagai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020).

Dalam FGD kali ini, Puskashut memang mendiskusikan isu panas. Maklum, topik yang dipilih sangat penting terkait dengan “nyawa” pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Indonesia: Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kedua UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Program Legislasi Nasional 2024-2029. Bahkan, dalam diskusi pun terjadi perbedaan diametral antara mengubah sebagian atau mengganti total UU. 41/1999 oleh dua narasumber yang ada.

Ya, UU 41/1999 akhirnya masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2024-2029 sebagai usulan DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk diubah. DPR dalam situsnya menyatakan sebagai RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diusulkan pada 19 November 2024. UU 41/1999 ada di urutan 99 dari 176 UU dan RUU Prolegnas 2024-2029. “Secara judul ini sudah betul karena memang perubahan kedua UU 41/1999.  Artinya, dari sisi formil ini adalah perubahan kedua karena yang diubah UU 41/1999. Tapi secara substansi UU ini sudah empat kali diubah. Bahkan UU No. 18/2013 pun secara tak sengaja sudah mengubahnya, apalagi UU Cipta Kerja,” jelas Dr. Budi Riyanto, salah satu narasumber, saat menjelaskan soal tema diskusi.

Diskusi yang dibuka Ketua Umum Yayasan SWJ Dr. Ir. Iman Santoso, MSc. ini menghadirkan banyak tokoh senior kehutanan, termasuk mantan Menteri Kehutanan MS Kaban. Sementara narasumber diskusi yang dimoderatori Ketua Puskashut Dr. Ir. Harry Santoso, IPU adalah Dr. Drs. Budi Riyanto, SH., MSi selaku pengajar Hukum Lingkungan dan Kehutanan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), dan guru besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, MSc, yang hadir secara daring.

“Misi utama diskusi kali ini adalah mengumpulkan butir-butir penting yang bisa jadi masukan dalam penyusunan naskah akademik RUU pengganti UU 41/1999. Ini merupakan tindak lanjut dari hasil audiensi kami dengan Komisi IV DPR bulan lalu, di mana kami diminta ikut urun rembuk dalam pembahasan revisi UU 41/1999,” jelas Iman Santoso dalam pembukaan diskusi yang digelar di Wisma Yayasan SWJ, Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Persoalan hilangnya angka 30% muncul ketika Budi Riyanto menyentil masalah keseimbangan pemanfaatan kawasan antara manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi. “Ini penting,” katanya. “Jika kita memang berorientasi pada ekosistem, maka harus ada kecukupan luas kawasan hutan. Lalu bagaimana dengan nasib (luas minimal) 30% itu?

Budi, mantan inspektur di Kementerian Kehutanan, mengaku sampai kini masih terus mencari alasan atau rasio legis (niat atau tujuan di balik suatu undang-undang atau peraturan) dari pencantuman angka minimal 30%. “Kami ini orang hukum kan harus diberi pengertian. Apakah angka itu hasil penelitian badan dunia IUCN, misalnya. Atau sekadar perkiraan-perkiraan saja, atau bagaimana?” Hal itu penting, kata Budi, karena itu bisa dimasukkan dalam naskah akademik soal luasan minimal 30%.

Seperti diketahui, UU No.41/1999 pasal 18 ayat (1) dan (2) menyebutkan “Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.”

Namun, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut dan hanya menyebutkan “Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau. Ketentuan lebih lanjut mengenai luas Kawasan Hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tiga Kriteria

Namun, dalih perlu adanya rasio legis ini yang kemudian memantik diskusi seru. Harry Santoso selaku moderator sempat menjelaskan mengapa angka minimal 30% itu sangat penting dan perlu dipertahankan dalam UU. Apalagi, jika menimbang perkembangan dinamika politik dalam satu dasawarsa terakhir. “Kita khawatir, takut, bahkan sudah ada buktinya, ketika masalah pangan dan energi menjadi program prioritas pemerintah,” kata Harry.

Dia menyebut program lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah — kawasan yang pernah jadi proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektare era Soeharto. Belum lagi di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang hasilnya tidak sesuai harapan. “Sekarang malah ada food estate Merauke yang akan membuka kawasan 2 juta ha lebih. Itu kawasan hutan. Jadi, kita khawatir dengan hal-hal seperti itu, sehingga mengapa perlu digarisbawahi perlunya kawasan hutan minimal 30%,” tandas Harry.

Harry menyebutkan, kalaupun tidak ada alasannya saat ini, maka yang patut digunakan adalah analogi yang sama saat merumuskan kriteria hutan lindung ataupun hutan produksi. “Ada tiga kriteria, yakni intensitas hujan, jenis tanah dan topografi. Bahkan (alm.) Prof. Tejo Juwono bilang ada 10 faktor,” paparnya.

Dia menyebut masalah ini tidak akan selesai sampai kapanpun jika terus mempertanyakan alasan kualitatif 30%. “Saya cenderung mengatakan minimal 30% itu untuk mengamankan kawasan hutan dan itu bisa dilihat dari penjelasan pasal 18 di UU 41/1999,” katanya.

UU No. 41/1999 memang memberi penjelasan perlunya angka minimal 30% di pasal 18 ayat 2. “Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupate /kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya, di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkoversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaiknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.”

Dari Jerman

Budi mengakui dirinya setuju angka minimal 30%. Hanya saja demi mulusnya diskusi di DPR, maka perlu diberi contoh-contoh jika memang belum ada alasan ilmiahnya.

Dalam kesempatan itu, Dr. Ir. Boen M Purnama, MSc. menuturkan pengalamannya. Dia mengaku juga tidak paham dari mana angka itu muncul. “Dulu senior kami pernah cerita bahwa angka itu 30% itu berasal dari Jerman. Nah, waktu saya ke Jerman, saya tanya orang Jerman apakah mereka pernah punya angka 30% untuk luas minimal kawasan hutan, ternyata tidak ada,” katanya.

Itu sebabnya, ini menjadi tugas orang kehutanan untuk menentukan berapa angka minimal luas kawasan hutan. “Buat saya angka 30% untuk sementara sudah bagus walaupun bukan hasil kajian,” ujar mantan Sekjen Kementerian Kehutanan ini.

Namun, Ir. Titus Sarijanto, MSc menguatkan asal-usul angka 30% itu dari Jerman. Dia mengaku dulu bertindak sebagai ketua tim materi UU 41/1999. “Kami pelajari UU kehutanan milik Malaysia, Jerman dan Inggris dan kebetulan ada DFID (Departement for International Development) Inggris yang memberi bantuan. Memang mereka bilang bahwa asalnya (angka 30%) dari Jerman,” tutur Titus. Mantan pejabat eselon I Kemenhut ini menegaskan, lepas dari manapun asalnya, angka 30% itu sudah sangat berguna untuk membatasi jangan sampai luas hutan di bawah 30%. Dia juga mengaku khawatir jika tidak ada batasan minimal tadi, terutama dengan pesatnya program food estate. “Apa perlu kita menambah produksi pangan dengan (membuka) food estate? Mengapa tidak memanfaatkan HTI, tumpang sari, bahkan di perkebunan sawit pun bisa saat tanaman masih belum besar,” tandasnya.

UU No.5/1967

Penegasan menohok datang dari Prof. San Afri Awang. Dia mengatakan, angka 30% itu sumbernya memang bermacam-macam. Namun, dia menegaskan angka itu memang berasal dari Jerman. “Saya baca jurnal Tectona, dan saya rasa para senior saya tahu semua jurnal itu,” katanya.

Sebagai informasi, jurnal atau Buletin Tectona adalah buletin yang diterbitkan para ahli kehutanan tahun 1908 seperti yang ditulis oleh Rattah Handisa (pustakawan) di Kompasiana.com dengan judul “Tectona, Merekam Jejak Perkembangan Keilmuan Hutan Tropis”.

Menurut Prof. Awang, angka 30% memang dari orang Jerman dan sampai hari ini luas hutan Jerman memang 30%. “Jadi, ketika orang Jerman ditanya oleh orang Belanda berapa luas hutan Anda saat itu — karena ahli-ahli Jerman kan mengurusi hutan di Indonesia, bukan orang Belanda. Hutan kami di Jerman memang 30% dan hari inipun hutan di Jerman 30%. Jadi angka itulah yang dipakai.”

Dia juga menyebut Indonesia setuju menggunakan angka minimal 30% sejak tahun 1967 sampai 2020. “Dan angka itu betul-betul dirujuk orang,” katanya.

Harry sendiri dalam bincang-bincang usai diskusi mengatakan, untuk melacak angka 30% memang sebetulnya cukup melihat UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Dia mengatakan, dirinya selaku sekretaris-I Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan ikut mendapat tugas menyusun materi draf awal UU 41/1999 saat era Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution.

Menurut Harry, angka 30% itu ada di penjelasan pasal 7 UU 5/1967 yang menyebutkan: “Untuk mencapai usaha-usaha pemanfaatan hutan seperti tercantum pada pasal 6 sub a s/d d, maka dalam pasal ini ditegaskan, bahwa Pemerintah perlu menetapkan adanya Kawasan Hutan yang luasnya cukup dengan penjabaran dan letak yang tepat, agar secara merata dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan hasil hutan dan manfaat-manfaat lainnya. Berdasarkan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia dan pertimbangan-pertimbangan mengenai keadaan fisik, iklim dan pengaturan tata-air maka luas minimum tanah yang harus dipertahankan sebagai Kawasan Hutan diperkirakan kurang lebih 30% dari luas daratan.”

“Nah, materi dalam penjelasan UU5/1967 inilah yang waktu kami pandang penting untuk  dimasukkan dalam batang tubuh UU 41/1999,” katanya.

Latar Belakang Penghapusan

Dalam kesempatan itu, Prof. Awang juga menceritakan penolakannya terhadap perubahan angka minimal 30%. Bahkan dia mengaku tidak mengetahui kalau angka tersebut diusulkan diubah. “Saya ribut waktu itu, sehingga saya dipanggil di Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama almarhum Prof. Hariadi Kartodihardjo untuk menjelaskan. Di Baleg ini saya tegaskan tidak boleh angka 30% dihilangkan,” ujar mantan pejabat eselon I Kemenhut ini.

Perdebatan saat itu, kata Awang, adalah kondisi hutan di enam provinsi yang tidak sampai 30%, yakni di Pulau Jawa, Bali dan Lampung. “Saya kira UU 41/1999 menyisa keenam provinsi itu, sehingga saya usulkan di 6 provinsi itu boleh luas hutannya tidak 30% karena ada hutan rakyatnya. Apalagi hutan rakyat di Jawa yang mencapai 3 juta ha itu lebih bagus kondisinya daripada hutan negara. Dengan begitu, meski hutannya tidak 30%, tapi dalam konteks ekosistem, yakni hutan sebagai ekosistem penyedia air di Jawa, sampai saat ini masih tercukupi karena ada hutan rakyat tadi.”

Tapi untuk hutan di luar Jawa, tandas Awang, wajib tetap harus minimal 30%. “Itu yang saya katakan dan sudah tok, disetujui Baleg. Tapi ini ternyata persoalan politik. Tahu-tahu angka itu di-drop. Saya pun bertanya kenapa hilang? Ternyata para ketua partai memanggil mereka semua dan perintahkan semua itu harus dihilangkan,” papar Awang.

Menurut Awang, angka 30% itu bisa dimasukkan dengan pendekatan ilmiah yakni jenis tanah, kemiringan dan curah hujan. Bahkan di Fakultas Kehutanan UGM sudah ada disertasi doktor bahwa kawasan hutan suatu wilayah itu memang harus di atas 35% dan ini harus  dipertahankan.

Itu sebabnya, Awang mengusulkan agar UU 41/1999 juga tidak sekadar diperbaiki, tapi harus diganti. Dia berpendapat sudah sekian tahun UU 41/1999 berjalan, tapi kondisi hutan tidak bertambah baik. “Ini ada datanya dan artinya banyak hal yang kurang. Nah, kalau perubahannya lebih dari 50%, maka bukan berubah namanya. Terlalu banyak kan,” katanya.

Karbon Harus Diatur

Dia menyebutkan salah satu hal yang tidak banyak diatur dalam UU Kehutanan, padahal ini justru masa depan ekonomi dunia, adalah masalah karbon.

“Ekonomi karbon di masa depan akan melaju pesat, bukan ekonomi yang lain. Ekonomi tambang sunset, ekonomi minyak juga sunset. Di seluruh dunia, menurut keputusan COP-29 Azerbaijan, karbon boleh diperdagangkan. Indonesia ini turah-turah (melimpah) karbonnya dan itu harus diatur oleh kehutanan,” tandas Awang.

Dia menyayangkan jika kehutanan tidak mengatur masalah ini karena stok karbon paling besar ada di hutan, yang sudah tertata dan terhitung. Tapi pada saat bicara keekonomian, malah ditarik dan diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup. “Kehutanan gigit jari saja dari sisi keuangan, padahal karbonnya ada di hutan.”

Jangan sampai kehutanan hanya menanam terus. Tapi jika ada kebakaran selalu disalahkan. “Gagal dimarahin. Nanti orangnya ditangkap dengan tuduhan korup. Giliran hutannya jadi, uangnya diambil LH. Bagaimana ini?” 

Untuk itu, katanya, UU yang baru nanti harus cukup membicarakan persoalan karbon. Menurut dia, apa yang namanya FOLU Net Sink 2030 itu sebetulnya persoalan rehabilitasi.

Namun dalam pembacaan rumusan hasil FGD, Harry mengingatkan agar semua pihak perlu berhati-hati jika ada keinginan mengganti UU No. 41/1999 secara keseluruhan. Pasalnya, hal itu bisa jadi ajang terbuka bagi berbagai kepentingan yang ingin mengkonversi hutan untuk penggunaan-penggunaan lain secara besar-besaran tanpa kajian ilmiah dan akuntabel.

Selain itu, revisi UU No. 41/1999 itu juga perlu memastikan terlaksananya amanat Pasal 33 UUD 1945 secara lebih nyata dalam bentuk pengaturan agar sumberdaya hutan benar-benar diurus, dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Juga perlu mengisi adanya kekosongan hukum serta harmonisasi pengaturan yang tumpang-tindih dengan UU sektoral yang lain. ***

Leave a Reply