Rangkul Warga Lokal, 2.000 Mangrove Siap Ditanam di Pantai Bekasi

AGRONET – Dua ribu bibit mangrove siap ditanam dalam kurun waktu dua tahun di Pantai Bahagia di Kecamatan Muara Gembong, Bekasi. Dua penyelenggara yaitu Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ) dan Lingkungan Lestari (Lingkari) Institute, merangkul warga setempat untuk bersama merawat mangarove yang ditanam demi penghijauan yang berkelanjutan.

“Kami bekerja sama dengan Kelompok Tani Rawat Bumi dan warga setempat sehingga mereka ikut bersama kami menjaga dan merawat mangrove di desa mereka,” ujar Dr Arya Iwantoro, ketua Lingkari Institute yang saat ini juga peneliti senior di Coastal Marine Applied Research (CMAR), University of Plymouth, Inggris.

Pantai Bahagia dipilih karena hutan mangrove di sana telah terabrasi atau terkikis hebat. “Kami menduga, kondisi ini akibat faktor antropogenik,” kata Dr Harry Santoso, ketua Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan di Yayasan SWJ.

Menurut Harry, dampak dari abrasi pantai itu dirasakan masyarakat pedesaan setempat, yaitu banjir laut air pasang (rob) kerap terjadi. Banjir itu bahkan sudah menggenangi desa sehingga kehidupan warga terganggu dan pendapatan pun merosot. Sementara Arya menambahkan, abrasi di Pantai Bahagia mencapai luas 1.800 hektare.

Sementara Syukur Iwantoro, pendiri Yayasan Syukur Karunia Bumi Lestari yang menaungi Lingkari Institute, mengaku tersentuh oleh nasib Pantai Bahagia. Dulu, jarak pantai dari desa mencapai lima kilometer. “Saat itu, Pantai Bahagia itu sesuai namanya, membahagiakan warganya karena desa di sepanjang pantai adalah desa yang makmur dan memiliki sumber daya alam biota pantai yang berlimpah termasuk hutan mangrove yang lebat,” kata Syukur.

Kemakmuran Pantai Bahagia membuat warga pendatang membangun tambak. Langkah ini ternyata menarik minat warga setempat. Namun, tambak-tambak dibangun di sepanjang pantai akhirnya merambah ke wilayah hutan mangrove.

“Perubahan ekosistem menyebabkan pantai kehilangan penahan ombak. Akibatnya, pantai semakin tergerus abrasi dan muncullah fenomena banjir rob,” kata Syukur.

Menurut Syukur, saat ini banjir rob kadang terjadi tiga kali dalam sebulan. Air bahkan masuk dan menggenangi rumah warga hingga berhari-hari.

“Fenomana ini ternyata menyadarkan warga, sehingga mereka bertekad membangun kembali ekosistem mereka,” ujar Syukur. “Kami sudah memastikan lokasi dan kolaborasi dengan tokoh dan warga setempat pada 15 Februari lalu.”

Penanaman mangrove ini dipastikan akan bersanding dengan tambak yang masih bisa dipertahankan, tanpa menimbulkan risiko abrasi dan banjir rob. Penanaman perdana akan dilakukan 22 Februari mendatang sebanyak 250 bibit mangrove. Penanaman akan berlanjut setiap tiga bulan hingga mencapai target sekurangnya dua ribu pohon mangrove selama dua tahun. Dalam proses tersebut, pemantauan terus dilakukan.

 

Tantangan hanyut dan antropogenik

Banjir rob saat pasang dan gelombang laut yang kuat disebut Arya sebagai kondisi terkini yang menjadi tantangan dalam penanaman bibit mangrove. Menurutnya, bibit bisa saja jadi hanyut atau tenggelam.

“Untuk mengantisipasinya,  setiap bibit diberi ajir agar lebih kuat menahan terjangan banjir rob dan gelombang laut,” kata Arya.

Menurut Arya, posisi tanam di area bekas tambak dan jarak tanam yang rapat didesain sebagai tambahan proteksi untuk memperbesar kesempatan hidup bibit mangrove. “Penanaman mangrove dengan metode wanamina (integrasi tambak dan mangrove) ini nantinya saat mangrove dewasa dapat melindungi pantai dari abrasi dan banjir rob, juga dapat bermanfaat sebagai tempat berkembangbiak ikan sehingga lahan tambak dapat dimanfaatkan kembali dan meningkatkan perekonomian warga setempat,” paparnya.

Sementara Harry mengakui, “Tantangan terbesarnya adalah mengatasi faktor penyebab gangguan manusia (antropogenik). Faktor antropogenik ini menyangkut jalinan kompleks antara aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan.”

Pantai Bahagia adalah habitat bagi 38 spesies burung, tiga spesies mamalia, dan tiga spepies reptil. Sementara ekosistem mangrove ini pantai ini meliputi kepiting, moluska, dan udang.

Sedangkan Lingkari Institute adalah organisasi nirlaba yang berfokus pada konservasi dan penelitian di lingkungan sungai dan pesisir. Tujuannya adalah mendukung terciptanya komunitas yang tangguh terhadap perubahan iklim. Kegiatannya tak sebatas lingkungan, namun juga mendukung ekonomi hijau melalui potensi sumber daya lokal dan alam. Lingkari Institute telah melakukan penanaman ribuan mangrove, termasuk di Kumai, Kalimantan Tengah.

“Kami tak hanya menanam, namun juga melakukan pemantauan setelah proses tanam. Tujuannya untuk memastikan kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan evaluasi keberhasilan upaya restorasi ini,” kata Syukur sambil menekankan pentingnya melibatkan tokoh dan warga setempat dalam proses restorasi pantai ini. (yen)

Leave a Reply