Kementerian Kehutanan (Kemenhut) disarankan untuk menarik Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari jutaan hektare (ha) perkebunan sawit yang ditanam di kawasan hutan. Jika Kementerian Keuangan menyetujui, maka ada potensi pendapatan belasan triliun rupiah per tahun dari kebun sawit seluas 3,7 juta ha yang terlanjur ditanam di kawasan hutan, dan ini sangat berguna untuk pembangunan sektor kehutanan, terutama masalah pengawasan yang butuh anggaran besar.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk memasukkan sawit dalam sistem kehutanan dengan pendekatan lanskap yang berkelanjutan, mengingat kehutanan dinilai paling siap dalam manajemen lanskap, yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat tapak.
Usulan itu mengemuka dalam forum diskusi kelompok terarah (FGD) tentang “Di Balik Kontroversi Sawit sebagai Tanaman Hutan dan Penertiban Kawasan Hutan”, yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ) di Wisma YSWJ, Jakarta pada Kamis (24/4/2025). Acara dibuka Ketua Umum Yayasan SWJ, Dr. Iman Santoso, MSc. sedangkan sebagai moderator FGD adalah Dr. Harry Santoso, IPU., Ketua Puskashut YSWJ.
Diskusi bulan ini digelar Puskashut dengan menampilkan narasumber yang menarik — karena mewakili yang pro dan kontra sawit sebagai tanaman hutan. Mereka adalah Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dari Fakultas Kehutanan IPB University dan Dr. Ir. Agus Justianto, MSc., IPU., Analis Kebijakan Ahli Utama, Kementerian Kehutanan serta Dr. Ir. Agus Setyarso, MSc., Direktur Pusat Sains Lanskap Berkelanjutan, Institut Pertanian (INSTIPER), Yogyakarta — yang hadir secara daring.
Usulan penarikan PNBP muncul ketika mantan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban yang hadir menyatakan bahwa komando pengelolaan kawasan hutan — yang saat ini ditanami sawit — harus tetap di tangan Kemenhut. “Meskipun saat ini lahan-lahan tersebut sebagian sudah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara (BUMN) oleh Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan, tapi dia harus tetap dalam pengelolaan kehutanan.”
“Untuk itu, Kementerian Kehutanan harus aktif meminta kepada Presiden dan Kementerian Keuangan agar PNBP minimal 10% bisa kembali ke kehutanan,” katanya.
Kaban punya hitungan sederhana untuk menaksir besaran PNBP dari sawit di kawasan hutan. Menurutnya, jika tiap hektare (ha) lahan sawit itu menghasilkan 1 ton, maka dari 3,5 juta ha lahan sawit di kawasan hutan dihasilkan 3,5 juta ton/bulan tandan buah segar (TBS) atau 3,5 miliar kg TBS. “Harga TBS hari ini sekitar Rp3.000/kg. Maka artinya sudah hampir Rp11 triliun, dan dalam satu tahun sudah lebih dari Rp120 triliun,” ujarnya.
Pertanyaannya, kata Kaban, berapa yang diterima kehutanan selama ini? “Zero kan? Kalau saja dibikin PNBP-nya 10%, paling tidak masuk ke kehutanan Rp12 triliun/tahun. Dengan dana itu kan bisa dilakukan berbagai kegiatan, seperti penanaman, penghijauan dan perbaikan kawasan. Berarti dalam 5 tahun akan ada dana Rp50 triliun lebih yang masuk kembali ke kehutanan,” ujarnya.
Untuk itu, katanya, tak perlu ada kontroversi karena pengelolaannya di kawasan yang statusnya masih hutan.
Sejauh ini, PNBP sektor kehutanan ada belasan jenis, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif Atas PNBP yang Berlaku pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jenis-jenis PNBP itu mulai dari iuran perizinan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan sampai denda administrasi dan keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah.
Kementerian Kehutanan sendiri mengakui penyelesaian masalah keterlanjuran tanaman sawit di kawasan hutan sangat kompleks. “Butuh pendekatan multidimenasi serta harus menimbang aspek ekonomi, sosial dan lingkungan,” ujar Dr. Ir. Agus Justianto, MSc., IPU., Analis Kebijakan Ahli Utama, Kementerian Kehutanan.
Langkah pembenahan ini juga bukan mengikuti tuntutan internasional, tapi respon positif negeri ini untuk tidak mengabaikan adanya pasar yang membutuhkan produk komoditas sawit yang tidak merusak lingkungan. Dia sependapat bahwa kebijakan apapun yang diambil, kata kuncinya adalah untuk kemakmuran rakyat. “Ini tantangan kita ke depan,” tandas Agus.
Luas Sawit Bertambah
Yang jelas, dalam pembacaan kesimpulannya, Harry Santoso selaku moderator FGD mengakui bahwa soal pemungutan PNBP dari sawit di hutan sangat penting. “Kami akan bersurat kepada Menteri Kehutanan karena dengan terbitnya Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, maka pengelolaan sawit di kawasan hutan yang bermasalah tersebut diserahkan kepada BUMN pertanian (PT Agrinas) sedangkan sektor kehutanan tidak dapat apa-apa,” ujar Harry.
Usulan pengenaan PNBP ini juga mendapat tanggapan positif dari peserta lainnya dengan dalih Kemenhut tidak dapat apa-apa dari kegiatan keterlanjuran perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Apalagi, luasan kebun sawit di kawasan hutan terus bertambah dari semula 3,3 juta ha menjadi 3,7 juta ha atau bertambah 400.000 ha. Hal ini diungkapkan Sekretaris Utama Badan Informasi Geospasial (BIG), Dr. Ir. Belinda Arunarwati Margono, MSc. Namun belum diumumkan oleh Kementerian Pertanian selaku wali data.
“Data luas perkebunan sawit (nasional) di BIG saat ini 17,2 juta ha, dan yang ada di dalam kawasan hutan seluas 3,7 juta ha. Tapi Kementan selaku wali data sawit belum declare, namun Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan sudah menggunakan data 3,7 juta ha tersebut,” jelas rimbawan yang pindah ke BIG ini.
Dia membenarkan bahwa luas hutan yang dipakai kebun sawit memang terus bertambah dan tentunya harus ada manfaat yang diterima sektor kehutanan.
Kementerian Kehutanan harus bersuara (speak-up) agar mendapat perhatian. Seperti dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) kehutanan tidak disebutkan sebagai sektor, maupun subsektor. “Hanya disebutkan kawasan hutan saja, tidak ada penjelasan lebih jauh. Padahal, kehutanan bukan hanya menanam dan koservasi saja,” katanya.
Pengenaan PNBP terhadap sawit di hutan juga mendapat dukungan dari Prof. Yanto Santoso selaku narasumber. Dia menilai kebijakan itu lebih baik dan menguntungkan sektor kehutanan dan tidak perlu mengganggu tanaman sawit yang ada. “Saya sependapat dengan Pak Kaban agar ditarik saja PNBP-nya. Jadi, jangan ganggu sawitnya. Biarkan dia selama satu rotasi,” papar Yanto.
Dia justru prihatin dengan kondisi kehutanan. “Karena ibarat orang hajatan, tidak terima amplop tapi harus berbenah. Terjadi kebakaran hutan, orang kehutanan yang sibuk, sementara yang lainnya senang-senang terima amplop,” ujarnya.
Diskriminasi Sawit
Hanya saja, pembicaraan menjadi sedikit panas ketika pembahasan masuk ke masalah sawit yang sampai sekarang tidak diakui sebagai tanaman hutan. Bahkan, Prof. Yanto mengaku terkejut karena diundang untuk berbicara di tengah orang-orang kehutanan, “yang jujur saja, membenci saya gara-gara bicara sawit sebagai tanaman hutan. Padahal, jujur, banyak teman-teman kehutanan di daerah yang memiliki kebun sawit,” seloroh doktor kehutanan jebolan Universite Paul Sabatier Toulouse III, Prancis ini.
Padahal, katanya, selama ini yang dia bahas adalah perbandingan mana yang lebih menguntungkan antara menanam sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) atau tanaman karet di lahan kosong, bukan hutan alam. Bahkan untuk masalah itu sudah ada Naskah Akademik tentang Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi atau Kritis, yang menuai kecaman dari kalangan kehutanan.
“Jadi, baseline kami adalah, pada saat bicara manfaat dan mudharat, ‘ini ada tanah kosong, sebaiknya ditanami sawit, HTI atau karet?’ Itu bicaranya. Jadi, tidak valid jika orang bicara, ‘lebih bagus mengelola hutan ketimbang sawit.’ Ya, iyalah. Jangan bandingkan sawit dengan hutan alam, tidak fair,” paparnya, seraya mengaku dirinya adalah orang kehutanan asli dan tidak paham budidaya sawit. Dia banyak main di sawit justru untuk menggarap konservasi keanekaragaman hayati.
Menurut Yanto, tanaman sawit mengalami diskriminasi hebat sampai saat ini, baik nasional maupun internasional, dan dinyatakan bukan tanaman hutan karena tidak berkambium, tidak berkayu. Bahkan, pemerintah juga sempat membuat keputusan aneh. Permenhut No. 62/2011 tanggal 25 Agustus 2011 sempat dikeluarkan, yang menyatakan tanaman sawit termasuk dalam tanaman hutan campuran. Namun, sebulan kemudian keluar Permenhut No. 64/2011 tanggal 26 September 2011 yang membatalkan Permenhut 62/2011.
“Nah, tanaman jenis lainnya ada disebutkan kelapa, pinang, aren (keluarga palma), bahkan rumput gajah, sorghum adalah tanaman hutan (bukan kayu). Sementara sawit yang sama-sama palma tidak dimasukkan. Ini sangat menarik sekali karena dalam bahasa ilmiah ada apa kok sawit didiskriminasi sebagai tanaman yang tidak boleh masuk hutan?” tanya Yanto.
Padahal, sawit sama dengan tanaman hutan (di Afrika) yang kemudian didomestifikasi. Perbedaannya terletak pada tingkat intensitas pengelolaan tanaman dan fungsinya terhadap ekosistem. “Tanaman hutan intensifnya hanya dua tahun, selebihnya terserah Tuhan. Sementara sawit harus dikelola intensif,” paparnya.
Yanto juga menjelaskan isu panas yang beredar luas selama ini, yakni sawit adalah tanaman boros air. Padahal, klaim itu bukan hasil eksperimen dan sains. Tapi hasil wawancara ahli antropologi asing dengan ibu-ibu di Sumatera Utara, yang menanyakan bagaimana dampak sawit. “Si ibu jawab, gara-gara sawit sungai jadi kering, danau menyusut. Isu ini dikembangkan dan terus dipakai di mana-mana.”
Menurutnya, hasil penelitian dari BRIN, IPB dan USU menunjukkan sawit tidak menyerap air lebih banyak dari tanaman hutan lainnya atau tanaman pangan lainnya. Bahkan dia mengaku LSM Norwegia pernah mendatangi dan memeluknya, seraya mengakui dapat data yang salah.
Hal ini juga dibenarkan oleh MS Kaban, yang mengaku didatangi banyak pihak terkait sawit boros air. “Saya jawab, gini aja. Silakan Anda jalan ke seluruh Indonesia, di daerah yang paling banyak kebun sawitnya. Coba sebutkan kepada saya, sungai mana yang kering. Karena di areal saya itu, ada puluhan ribu hektare kebun sawit, dan air sungainya jernih, bening dan anak-anak saya suruh mandi di situ,” tutur Kaban, yang memiliki kebun sawit.
Pendekatan Lanskap
Namun, beda dengan Kaban, keluh-kesah Yanto mendapat reaksi ‘dingin’ dari narasumber lain: Dr. Ir. Agus Setyarso, MSc. Menurut peneliti senior Institut Pertanian Stiper Yogyakarta ini, tidak perlulah mempersoalkan sawit itu tanaman hutan atau tidak.
“Yang lebih penting menurut saya adalah bagaimana kehutanan itu bisa memasukkan atau menginternalisasikan sawit ke dalam sistem kehutanan. Untuk itu, pendekatan yang saya tawarkan adalah pendekatan lanskap, sehingga multidimensionalitas, kompleksitas, di internalisasikan ke dalam keberlanjutan lanskap. Jadi, muaranya, ulimate goal-nya adalah landscape sustainability. Kenapa begitu, karena ke depannya sustainability tidak bisa dicapai oleh individual komoditi, individual land use,” urainya.
Dia menilai lembaga paling siap untuk landscape management adalah kehutanan. “Ada KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Dengan demikian, kehutanan bisa menjadi pemain, mulai dari menempatkan KPH sebagai the leader, komandan dalam tata kelola lanskap di tingkat tapak,” ujar Agus.
Data juga membuktikan bahwa sentralisasi, rule-based policies tidak mencukupi, harus disertai dengan evidence-based policy. Kebijakan berbasis bukti atau fakta di lapangn. “Fakta di lapangan yang ada sekarang ini adalah ada KPH di situ. Meski KPH bervariasi kapasitasnya, tapi itu bisa diatasi melalui capacity building.”
Menurut Agus, kelestarian lanskap berbasis hutan dan kehutanan harus bisa diselamatkan guna mencegah kehancuran. “Dan itu bisa kita mulai dengan sawit. Saya tak peduli apakah nanti sawit itu dikelola Agrinas, tapi Kehutanan harus menentukan. Sawit di hutan itu kemana, sawit di KPH itu kemana, sawit di Padang Lawas harus seperti apa. Itu kehutanan yang menentukan, dan kehutanan itu ada di daerah,” tandasnya.
Terkait sawit di hutan, ada beberapa opsi solusi yang bisa ditawarkan dari perspektif akademik. Pertama, tetapkan unit lanskap berkelanjutan di tapak dengan kelembagaan co-governance antara KPH, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian. Integrasikan lanskap geografis, lanskap penggunaan lahan, lanskap ekonomi, lanskap sosial.
Kedua, pelepasan kawasan hutan bisa dilakukan untuk luasan kebun yang kompak, produktif, luasannya besar dan sudah dilengkapi dengan pabrik kelapa sawit (PKS), dengan syarat pengetatan konservasi tanah dan air. “Perlakukan sawit hutan sebagai tanaman industri, bukan HTI, di bawah tatakelola kelestarian lanskap di tapak oleh KPH — mengikuti skema PPKH (Perizinan Penggunaan Kawasan Hutan),” urainya.
Terkait politik kehutanan, Agus menilai kehutanan harus berubah dari pendukung kehidupan menjadi pemain kehidupan. “Tegaskan politik kehutanan sebagai pemain pembangunan nasional berkelanjutan. Karena keberlanjutan itu adalah agamanya kehutanan sejak awal,” tandasnya. ***