Info Puskashut – Pemanfaatan dan Pengelolaan Kawasan Gambut

Dari Redaksi

Indonesia memiliki kawasan gambut tropis terbesar di dunia, dengan total luasan 13,3 juta hektar, berdasarkan peta lahan gambut skala 1:50.000 luasnya 13,4 juta hektar, berdasarkan State of Indonesia’s Forest (2018) luasnya 14,9 juta hektar dan berdasarkan BBSDLP (2019) luasnya 13,9 juta hektar. Kawasan gambut ini tersebar di tiga pulau besar Sumatera (5,8 juta hektar), Kalimantan (4,5 juta hektar), dan Papua (3 juta hektar). Sebaran kawasan gambut di Sumatera terdapat di provinsi Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan, di Kalimantan terdapat di provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara, serta di Papua terdapat di berbagai wilayah di Papua. Indonesia memiliki Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) sebanyak 865 KHG dengan luas total 24,67 juta hektar. KHG adalah kawasan ekosistem gambut yang secara alami dibatasi oleh sungai dan/atau laut. Kawasan gambut memiliki peranan penting dalam menyimpan karbon dan membantu mitigasi perubahan iklim, serta dalam menjaga keseimbangan hidrologi dan menjaga keberlanjutan.

Selama lebih kurang 33 tahun luasan kawasan gambut telah berkurang hampir setengahnya dari luasan awal (BRG, 2020). Sejalan dengan usaha restorasi kawasan gambut, pemerintah telah memiliki program food estate dengan memanfaatkan kawasan gambut yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan demi mencapai visi lumbung pangan. Namun kerentanan kawasan gambut terhadap kebakaran masih tinggi ketika dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, pemukiman, atau perkebunan.

Pemanfaatan dan Pengelolaan Kawasan Gambut

Kawasan gambut merupakan kawasan pasang surut yang dipengaruhi oleh pergerakan air di permukaan sungai akibat pergerakan bulan. Ekosistem gambut terdiri atas empat komponen utama yaitu vegetasi, hidrologi, lahan gambut dan lahan sulfat masam yang sepanjang tahun atau selama jangka waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air atau tergenang. Kawasan gambut telah dimanfaatkan oleh petani sebagai penghasil bahan pangan sejak awal abad XIX, dengan luasan terbatas. Dengan menjaga kelestarian kawasan lindung ekosistem gambut, maka masyarakat setempat mampu bertahan hidup dari usahatani di lahan gambut. Pembukaan kawasan gambut oleh suku Bugis dan Banjar menggunakan teknologi sederhana, membuat saluran dangkal atau tabat agar lalu lintas air terkendali, sehingga lapisan pirit tidak terusik, dan sekaligus menjadi sarana transportasi bahan-bahan yang diperlukan dalam budidaya tanaman. Kawasan gambut yang dibuka oleh masyarakat biasanya dekat dengan laut, karenanya pasokan air lebih terjamin dan kesuburan tanah lebih baik (Sawiyo et al., 2000; Masganti dan Yuliani, 2005; Suriadikarta dan Sutriadi, 2007). Namun saluran yang dangkal tidak dapat menjamin ketersediaan air di kawasan yang lebih luas, sehingga pembukaan areal secara besar-besaran perlu dukungan pengelolaan air dengan sistem kolam atau garpu yang dikembangkan di beberapa lokasi. Namun sistem ini perlu disempurnakan karena terjadi pemasaman di daerah dekat kolam terutama pada musim kemarau (Noor et al., 1993; Masganti et al., 1994; Sarwani et al., 1994). Hal ini membuat petani sadar bahwa kunci keberhasilan budidaya tanaman di kawasan gambut adalah pengelolaan air. Keterbatasan tenaga dan modal usahatani juga menyebabkan wilayah yang terjangkau paling jauh dua kilometer kearah pedalaman. Input yang terbatas dan penggunaan varietas lokal yang berumur panjang juga menyebabkan produktivitas padi hanya 0,8-1,0 ton/ha dengan IP (indek pertanaman) satu kali padi per tahun (Masganti, 2013).

Pemanfaatan kawasan gambut yang lebih luas terjadi sejak ditemukannya hutan gambut tropika yang sangat luas di dataran pantai timur Sumatera pada tahun1895 (Notohadiprawiro, 1994). Pembukaan kawasan gambut secara besar-besaran mulai dilakukan pada Pelita I, sekitar tahun 1968-1980 melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) yang diimplementasikan di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Jambi melalui Program Transmigrasi dan Peningkatan Produksi Beras Nasional. Pada tahun 1982-1986 dilakukan penelitian dan pengembangan kawasan gambut secara luas di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat melalui Proyek Adaptasi dan Mitigasi Lahan Basah Berkelanjutan (SWAMP) I, dilanjutkan dengan SWAMP II pada 1986-1992 di provinsi yang sama ditambah dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau. Proyek Pengembangan Sosial Terpadu (ISDP) pada 1993-2000  di kawasan gambut Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Barat. Keberhasilannya ditandai oleh berubahnya bentuk rumah transmigran, seringnya transmigran pulang kampung, dan makin banyak putra-putri transmigran kuliah di perguruan tinggi. Selanjutnya pemerintah mengembangkan potensi kawasan gambut melalui Proyek Sistem Usaha Pertanian (SUP) lahan rawa pasang surut pada 1998-2000, dan inisiasi Mega Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1996.

Program transmigrasi tersebut telah membentuk 1.567 desa, 466 kecamatan, 114 kabupaten/kota, serta tiga provinsi, yakni Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Kalimantan Utara, dan Provinsi Papua Selatan. Saat ini terdapat 619 unit areal transmigrasi di seluruh Indonesia di luar wilayah Jawa dan Bali dengan luasan 3,1 juta hektar, yang diperoleh melalui Izin Pelaksanaan Transmigrasi (IPT) yang mirip dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Kementerian Kehutanan, dimana seluas 2,7 juta hektar berlokasi di kawasan gambut atau pasang surut. Kawasan gambut yang telah dimanfaatkan oleh pemerintah dan penduduk setempat sekitar 5,7 juta hektar (Mauladi, Viva Yoga, 2025).

Kawasan gambut juga telah dieksploitasi melalui izin Hak Penguasaan Hutan (HPH), selanjutnya  eksploitasi makin intensif melalui izin pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit skala besar. Pada eksploitasi oleh HPH, dibangun kanal2 berdimensi lebar, dalam dan rapat pada kawasan gambut untuk mengeluarkan kayu bulat dari dalam kawasan hutan. Perusahaan HTI dan perkebunan sawit skala besar juga memasifkan pembangunan kanal2 untuk mengeringkan kawasan gambut agar tanaman lahan kering akasia dan sawit dapat tumbuh di kawasan gambut. Lokasi perusahaan besar HTI dan perkebunan kelapa sawit umumnya di wilayah hulu sungai atau pada gambut dalam atau “kubah gambut”. Hal ini karena di wilayah pesisir/hilir telah terlebih dahulu berkembang pemukiman penduduk, desa, atau kota serta lahan garapan masyarakat berskala kecil, luas antara 2 s/d 4 hektar yang berada di dekat pemukiman. Di pedalaman yang jauh dari pantai, lahan gambut berada di atas lapisan tanah mineral dari endapan air sungai sehingga relatif lebih subur.

Namun berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut untuk pengembangan tanaman lahan kering dalam skala besar di wilayah hulu telah menurunkan kualitas lingkungan, merusak tata air atau hidrologi rawa gambut. Kanal-kanal masif yang dibuat untuk mengeluarkan log dari dalam kawasan hutan bersama-sama dengan kanal2 besar untuk mengeringkan rawa gambut agar dapat ditanami akasia dan sawit, telah mengalirkan air rawa gambut ke laut melalui sungai2 alami, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Akibatnya air tidak dapat lagi menggenangi rawa gambut baik di wilayah hulu maupun hilir, akibatnya terjadi banjir pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau serta terjadi subsidensi lahan gambut.

Pengelolaan kawasan gambut perlu memperhatikan aspek penataan lahan dan pengelolaan air secara menyeluruh. Upaya revegetasi atau budidaya tanaman kehutanan, perkebunan, pertanian, perlu menerapkan teknologi pengendalian kimia tanah, pengelolaan hara, pemupukan, dan ameliorasi untuk perbaikan kesuburan tanah. Kawasan Tarantang (Kalimantan Selatan) dan Muara Telang (Sumatera Selatan) berhasil mengembangkan sistem surjan dan tukungan/gulutan yang mengintegrasikan tanaman padi dan jeruk. Kawasan Barambai dan Tabunganen berhasil menjadi salah satu sentra produksi padi di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, etnis Tionghoa berhasil mengembangkan tanaman lidah buaya di kawasan gambut (Masganti, 2013). Di Tanjung Jabung Timur Jambi dan Dadahup Kalimantan Tengah, di kawasan gambut dikembangkan tanaman padi, kemudian menjadi salah satu lumbung beras di provinsi tersebut.

Belajar dari Mega Proyek Lahan Sejuta Hektare (Kalimantan Tengah) perlunya memperhatikan karakteristik bawaan inherensi kawasan gambut. Drainase yang berlebihan memicu percepatan subsidensi dan munculnya tanah sulfat masam aktual dari bawah permukaan gambut. Selain itu, perlu memperhatikan aspek sosial dan koordinasi Dinas Pekerjaan Umum, Kehutananan, Pertanian, dan Transmigrasi dalam penempatan transmigran dan pembinaan lanjutan yang menjadi penyebab sebagian petani pergi. Pentingnya memperhatikan daya dukung hidrologi dan tata air, kimia dan kesuburan tanah, biodiversiti dan biologi tanah, emisi GRK serta aspek ekonomi dan sosial. Meski dinilai gagal, namun sebagian petani “pionir” berhasil memanfaatkan lahan tersebut secara baik dan masih eksis hingga saat ini. Kunci keberhasilannya adalah kemampuan pengelolaan air dan lahan untuk mengeliminasi sifat toksik tanah dan menjaga kesuburan tanah (Masganti dan Arifin, 1994; Masganti dan Yuliani, 2005; Masganti et al., 2015). Petani di kawasan gambut lebih dahulu memanfaatkan lahan yang ketersediaan airnya lebih baik untuk membudidayakan tanaman pangan, sedangkan tanaman perkebunan/kehutanan seperti kelapa/jelutung dikembangkan secara bertahap dengan menanamnya pada tukungan. Apabila tanaman tersebut sudah mulai berkembang, maka tukungan disatukan menjadi surjan. Oleh karena itu tanaman pangan dan tanaman perkebunan/kehutanan lebih dahulu berkembang. Penanaman tanaman hortikultura lebih belakangan seiring dengan meningkatnya nilai ekonomi dan keterampilan petani dalam budidaya tanaman hortikultura. Pengelolaan tata air di kawasan gambut adalah salah satu faktor kunci terwujudnya pengelolaan kawasan gambut yang lestari.

Leave a Reply