Paludikultur: Budidaya di Kawasan Hutan Rawa Gambut

Dari Redaksi

Paludikultur adalah metode budidaya tanaman di lahan gambut yang selalu basah atau yang telah dibasahi, dengan memilih jenis tanaman yang dapat tumbuh subur dalam kondisi lahan tersebut. Paludikulture berasal dari bahasa Latin “palus” (rawa) dan “cultura” (budidaya). Paludikultur diterapkan di daerah yang memiliki lahan gambut dengan prinsip 3R yaitu:

  • Re-wetting : pembasahan agar lahan gambut dalam kondisi basah.
  • Revegetasi : penanaman jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan rawa gambut.
  • Revitalisasi mata pencaharian: agar menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat sekitar.

Paludikultur sebenarnya merupakan budidaya pertanian yang telah dipraktekan oleh masyarakat sejak dahulu, sebagai win-win solution bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut. Budidaya di rawa gambut dilakukan untuk jenis2 tanaman yang sesuai pada lingkungan rawa, sehingga  budidaya dengan sistem drainase bukanlah paludikultur (Shiel, 2009). Lahan rawa gambut/pasang surut makin penting peranannya dalam meningkatkan produktivitas tanaman untuk mendukung ketahanan pangan nasional, kesejahteraan petani secara merata dan berkelanjutan serta mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada tahun 2045 (Kementan 2017). Lahan rawa gambut/pasang surut merupakan salah satu lahan marginal yang mempunyai banyak keterbatasan namun karena ketersediaan lahannya cukup luas, ketersediaan air yang melimpah dan bentuk topografinya yang datar sehingga dianggap cocok sebagai lahan alternatif untuk mengatasi kebutuhan pangan nasional. Pemerintah telah membangun food estate di lahan rawa gambut/pasang surut untuk mengantisipasi krisis pangan, harapannya kegiatan restorasi gambut berjalan beriringan dengan upaya mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.

 

Paludikultur: Budidaya di Kawasan Hutan Rawa Gambut

Lahan rawa pasang surut telah dimanfaatkan petani sebagai penghasil bahan pangan sejak awal abad XIX. Pada saat itu, masyarakat yang umumnya adalah suku Bugis dan Banjar hanya memanfaatkan lahan rawa pasang surut dekat pantai dengan tanaman penciri nipah. Budidaya dalam skala kecil secara tradisional pada lahan rawa gambut tipis dilakukan dengan membangun saluran air, yang disebut dengan sistem handil di Kalimantan (Sandrawati, 2004; Noor, 2011), atau parit kongsi (di Sumatera dan Sulawesi). Handil merupakan parit atau anak sungai untuk sistem pengairan di kawasan pasang surut atau ekosistem rawa sehingga lapisan pirit tidak terusik, dan sekaligus dijadikan sarana transportasi bahan-bahan yang diperlukan dan produk yang dihasilkan dari budidaya tanaman. Namun saluran dangkal tidak menjamin ketersediaan air di kawasan yang lebih luas sehingga perluasan areal menjadi terbatas. Beberapa wilayah Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) di Kalimantan, lahan gambut menjadi sentral produksi pangan khususnya padi dan kedelai. Berkembang pula tumpang sari nenas dan tanaman karet dengan sistem polikultur.

Sejauh ini produktivitas lahan dan tanaman di kawasan rawa gambut / pasang surut masih rendah disebabkan oleh karakteristik lahannya, intensitas pertanaman hampir 90% khususnya di Kalimantan dan Sumatera Selatan yang hanya satu kali tanam padi setahun menggunakan varietas lokal yang umurnya 8-11 bulan. Baru sekitar 10% yang telah menerapkan pola tanam dua kali setahun (Wirosoedarmo dan Apriadi, 2012). Peluang untuk mengembangkan serta meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari satu kali setahun menjadi dua kali setahun atau lebih di lahan rawa gambut masih dimungkinkan, salah satunya dengan penerapan “pola tanam” (Arsyad, et al., 2014). Pola tanam juga menjadi salah satu landasan diversifikasi tanaman, serta untuk peningkatan produktivitas lahan dan tanaman. Beberapa keuntungan penerapan pola tanam tumpang sari (Agoestina, 2020), antara lain efisiensi penggunaan ruang dan waktu, pekerjaan bagi petani tersedia sepanjang tahun, pengolahan tanah lebih minimal dan biaya lebih efisien, sumber protein dan gizi masyarakat lebih beragam, pendapatan petani sepanjang tahun, hasil lahan beragam komoditas dan petani terhindar dari risiko kegagalan dalam sistem usaha tani. Pada pola tanam, pengaturan tata letak tanaman pada sebidang lahan dalam satu periode pertanaman akan memberikan hasil yang optimal serta meningkatkan pendapatan petani dalam sistem usaha tani. Ada tiga kunci keberhasilan dalam pola tanam di rawa gambut, yaitu (1) type tanaman, (2) lahan/tanah, dan (3) pengelolaan air.

Ada dua tipe tanaman yaitu (1) tanaman asli rawa dan (2) tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi gambut yang tergenang atau rawa gambut. Tanaman2 kayu2 an seperti jelutung, ramin dll, tanaman perkebunan seperti kopi liberika, sagu, kelapa, pinang dll, serta empat varietas padi Inpara atau Inbrida padi rawa yang diperkenalkan oleh Balitbangtan, nanas, lidah buaya, dll termasuk jenis2 tanaman asli rawa dan tanaman yang dapat beradaptasi dengan lahan rawa gambut sehingga dapat dibudidayakan pada kawasan rawa gambut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat juga perlu diperhatikan sebab terkait dengan budaya petani dalam memilih jenis tanaman. Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut dangkal/tipis dengan tebal lapisan < 50 cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan gambut dalam dengan lapisan > 200 cm (Widjaja Adhi, 1992). Pengembangan rawa gambut untuk pertanian tanaman hortikultura hendaknya dilakukan pada lahan gambut dangkal atau gambut tipis. Untuk budidaya tanaman keras hendaknya dilakukan pada lahan gambut dangkal dan gambut dalam, sedangkan lahan gambut sangat dalam (>3 m) dipertahankan sebagai kawasan konservasi. Petani di lahan rawa gambut/pasang surut lebih dahulu memanfaatkan lahan yang ketersediaan airnya lebih baik untuk membudidayakan tanaman pangan, sedangkan tanaman perkebunan dan kehutanan dikembangkan secara bertahap dengan menanam pada tukungan, kemudian apabila tanaman tersebut sudah mulai berkembang maka tukungan disatukan menjadi surjan. Oleh karena itu tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan lebih dahulu berkembang. Sementara untuk tanaman hortikultura berkembang lebih belakangan seiring dengan meningkatnya nilai ekonomi dan ketrampilan petani dalam budidaya tanaman hortikultura.

Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang dipengaruhi oleh pergerakan air di permukaan sungai akibat pergerakan bulan, terdiri dari lahan sulfat masam dan lahan gambut (Widjaja-Adhi, 1997; Masganti, 2013). Menurut Alihamsyah dan Ananto (1998) lahan rawa mempunyai sifat marginal dan rapuh, maka pengembangannya dalam skala luas perlu kehati-hatian. Pembukaan kawasan gambut untuk budidaya secara besar-besaran dilakukan dengan dukungan pengelolaan air seperti sistem kolam atau garpu yang dikembangkan di beberapa lokasi, namun sistem ini masih memerlukan penyempurnaan akibat terjadinya pemasaman di daerah dekat kolam, apalagi pada musim kemarau (Noor et al., 1993; Masganti et al., 1994; Sarwani et al., 1994). Pembukaan lahan rawa pasang surut harus memperhatikan aspek penataan lahan dan pengelolaan air secara menyeluruh, selain memperhatikan pula aspek sosial-ekonomi dan budaya masyarakat.

Tanah gambut mempunyai sifat2 fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah2 mineral. Karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah perlu diperhatikan sebab sangat erat kaitannya dengan kesuburan tanah, serta kesesuaian jenis dan varietas tanaman yang akan dikembangkan. Kendala utama dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut/gambut adalah adanya lapisan gambut tebal dan lapisan pirit atau sulfat masam. Pirit adalah mineral endapan marin yang terbentuk pada tanah yang jenuh air, kaya bahan organik dan diperkaya oleh sulfat larut yang berasal dari laut. Pirit mempunyai sifat unik tergantung pada keadaan air (Breemen dan Pons, 1978). Pirit di dalam tanah tidak akan menimbulkan masalah jika berada dalam kondisi tergenang. Tetapi jika mengalami kekeringan, baik akibat drainase yang berlebih atau akibat pengolahan tanah menyebabkan pirit tersingkap ke permukaan dan bereaksi dengan udara luar, maka pirit akan teroksidasi. Hasil oksidasi pirit ini adalah terbentuknya asam sulfat sehingga tanah menjadi lebih masam dan dapat bersifat racun bagi tanaman. Upaya untuk mencegah terjadinya oksidasi pirit yang berlebihan adalah menghindarkan terjadinya degradasi lapisan gambut pada batas antara 25 – 50 cm tergantung pada sistem usahatani yang dikembangkan, karena kehilangan lapisan atas gambut dapat mengakibatkan terjadinya pemasaman tanah dan pencemaran lingkungan.

Di samping itu, makin meningkatnya penyusutan kawasan gambut dapat mengakibatkan terganggunya tatanan tata air di kawasan gambut karena sifat gambut yang mampu menyimpan air antara 200 – 800 % dari bobotnya (Nugroho et al., 1997). Lahan rawa gambut/pasang surut termasuk datar di dataran rendah, namun pada saat musim kemarau diperlukan pengelolaan air yang sesuai dan tepat agar pasokan air terhadap tanaman dapat terpenuhi dengan baik. Drainase yang berlebihan memicu percepatan subsidensi dan munculnya tanah sulfat masam aktual dari bawah permukaan gambut yang bersifat racun bagi tanaman. Bila pengeloaan lahan gambut tidak berdasarkan atas sifat dan kelakuan inheren gambut menyebabkan terjadinya proses de-stabilisasi yang antara lain menyebabkan meningkatnya laju kehilangan C–organik dari tanah gambut serta berkurang atau hilangnya fungsi gambut sebagai media tumbuh tanaman dan penyimpan air, seperti melalui proses kering tak balik (Masganti, 2012). Kunci keberhasilannya adalah kemampuan pengelolaan air dan lahan/tanah agar dapat mengeleminasi sifat toksik tanah dan menjaga kesuburan tanah (Masganti dan Arifin, 1994; Masganti dan Yuliani, 2005; Masganti et al., 2015).

 

Leave a Reply